Suamiku Bukan Suamiku (episode 10)

Suamiku Bukan Suamiku (episode 10)

Suamiku Bukan Suamiku 10

Oleh: Tutukz Nury Firdaus

Ibu masuk mendekati kami yang sedang bertikai dengan sorot mata tajam ke arah Mas Pras, kemudian beliau mengambil alih Alya dari gendongan Mas Pras yang terlihat ketakutan karena pertengkaran kami. Ibu mencoba menghibur Alya. Sedangkan aku dan Mas Pras diam seribu bahasa, tak berani memulai pembicaraan sebelum Ibu buka suara.

“Kalian ini seperti anak kecil, ribut di depan anak,” ucap Ibu kesal kepada kami.

“Eyaaanggg…,” suara cempreng Aya dari arah luar. Dia berlari memeluk Ibu yang masih menggendong Alya, mencium tangannya, dan beralih kepadaku kemudian duduk di pangkuan Mas Pras dengan manja. Untuk sementara pembicaraan kami terhenti karena Aya. Dia anak yang kritis. Aku takut dia terluka, jika tahu yang sebenarnya terjadi di antara kedua orang tuanya.

“Nanti malam kalian ke rumah, Ibu mau bicara,” Ibu berkata datar, kemudian pulang setelah asisten rumah tangga Ibu datang menjemputnya.

***

“Ibu sudah tau, ada yang tidak beres pada rumah tangga kalian,” Ibu berkata dengan nada datar tapi tegas. Mas Pras melirik tajam ke arahku. Mungkin dia menganggap aku yang telah menceritakan badai rumah tangga kami pada Ibu.

“Bukan Ratih yang memberi tau Ibu, Pras,” rupanya Ibu juga menangkap maksud lirikan Mas Pras padaku. “Semua orang waras pasti mengira demikian, untuk apa tiap malam kamu cekikikan di kamar belakang toko? Dengan siapa kamu bicara? Kamu pikir Ibu tidak tau? Jika Ibu tanya, kamu pura-pura serius, lalu menjawab sibuk. Kamu pikir Ibu bodoh?” cecar Ibu pada Mas Pras, rupanya sekian lama Ibu hanya diam mengetahui ulah anaknya, dan sekarang Ibu tumpahkan semuanya. Namum, Mas Pras tidak menjawab dia hanya tertunduk semakin dalam.

“Pras. Tolong, jujurlah pada Ibu,” ujar Ibu dengan lembut.

“Maafkan, Pras, Bu…,” gumamnya lirih.

“Kau tidak perlu meminta maaf pada Ibu, minta maaflah pada Ratih dan anak-anakmu. Kau sudah menelantarkan mereka gara-gara wanita itu,” Ibu berkata dengan datar. Namun kelihatannya Mas Pras sedikit tersinggung dengan ucapan ibunya, raut wajahnya menunjukkan itu.

“Bu, kapan Pras menelantarkannya? Ibu jangan berlebihan. Pras masih bertanggung jawab pada keluarga Pras, Bu,” sanggah Mas Pras mencoba membela diri. Sedangkan aku hanya diam saja menyimak pembicaraan ibu dan anak ini. Tanpa menyela sedikitpun.

“Pras, yang namanya bertanggung jawab bukan hanya urusan makan dan selangkangan. Tapi juga rasa aman, damai dan ketentraman dalam keluarga itu lebih penting dari semua itu,” ucap Ibu sengit.

“Kalau kamu tiap malam keluar rumah sampai larut, kapan waktumu untuk anak dan istrimu, Nak. Seharian kamu sudah bekerja, meninggalkan rumah. Malam adalah waktunya kamu bersama istri dan anak-anakmu. Kalau terjadi apa-apa di rumah, saat kamu keluar. Bagaimana dengan menantu dan cucu-cucu Ibu? Apa kamu pernah berpikir sampai sejauh itu,” lanjut Ibu yang lebih terdengar seperti ceramah daripada sekadar omelan.

“Tapi nyatanya kan, gak terjadi apa-apa, Bu,” sanggah Mas Pras dengan santai memasang wajah tak berdosa.

“Apa? Tidak terjadi apa-apa? Jadi, Ratih yang kecelakaan sampai hampir mati, itu karena siapa? Karena kamu! Jangan kamu pikir Ibu tidak tau,” Ibu mulai naik pitam. Nada suaranya meninggi.

“Itu kecelakaan, Bu,” sergah Mas Pras menenangkan Ibu.

“Alasan! Ibu minta mulai detik ini tinggalkan wanita itu.”

“Bu, tolong, aku sudah dewasa. Biarkan aku menentukan jalan hidupku sendiri.”

“O ya, jalan hidup yang bagaimana maksudnya?” tanya Ibu tanpa menoleh ke arah Mas Pras.

“Aku mau menikahinya, Bu,” Mas Pras menjawab pendek. Pedih kurasa saat mendengar Mas Pras mengutarakan keinginannya. Air mataku jatuh tak tertahankan lagi. Ibu mengernyitkan dahi. Memandang Mas Pras dengan tatapan marah.

“Ratih?” Ibu menoleh ke arahku. Meminta pendapatku, walaupun sebenarnya Ibu tahu jawabannya hanya dengan melihat air mata di pipiku. Aku tak menjawab, hanya menunduk sambil mengusap air mataku.

“Kau lihat, Ratih tidak setuju, begitu pula Ibu. Jadi tidak ada acara cerai tidak ada acara menikah lagi. Titik, Ibu tidak mau dibantah,” ujarnya dengan tegas. Ibu mengakhiri bicaranya. Mas Pras beralih mendekat pada Ibu. Dia berlutut di depan Ibu yang duduk di kursi. Tangan Ibu dipegangnya erat.

“Ibu, dari dulu aku selalu menuruti keinginan Ibu. Apa pun itu, bahkan saat menikah dengan Ratih pun, aku menuruti keinginan Ayah dan Ibu. Walaupun aku tidak mau. Sekali ini aku minta, tolong restui aku, Bu. Aku anak Ibu satu-satunya. Apa Ibu tidak ingin melihat aku bahagia?” tanya Mas Pras dengan tatapan memohon, ia mencoba membujuk Ibu dengan mengutarakan isi hatinya. Ibu menghela napas. Membalas tatapan anaknya dengan lembut, dengan membelai kepalanya penuh kasih sayang.

“Pras, Ratih perempuan begitu pula Ibu, Nak. Ibu tau sakitnya diduakan. Ibu tau. Dan yang Ibu takutkan, karma akan dialami juga oleh cucu-cucu Ibu, anakmu, Nak. Ibu tidak mau mereka mengalami sakit seperti yang pernah dialami mamanya dan neneknya,” ucap Ibu sedih, sembari menerawang seperti sedang mengingat kejadian di masa lalunya yang kelam.

“Bu, jangan berpikiran sempit. Karma itu tidak ada dalam agama kita, Bu. Itu takhayul,” Mas Pras masih mencoba membujuk Ibu. Ibu menghela napas. Kemudian memandang Mas Pras dengan tatapan kecewa.

“Ibu percaya, kamu adalah anak Ibu yang baik, kamu sudah dewasa. Kamu bisa pikirkan mana yang baik dan yang buruk untuk hidupmu. Tapi jika kamu tetap pada keputusanmu, Ibu bisa apa? Pergilah dengan wanita pilihanmu. Biarkan Ratih dan anak-anakmu tinggal bersama Ibu,” ucap Ibu kemudian menepis tangan Mas Pras dengan kasar, lalu beranjak pergi memasuki kamarnya. Meninggalkan kami berdua.

Mas Pras terperanjat mendengar keputusan Ibu, begitu pula aku. Tak kusangka Ibu lebih memilih aku dibanding Mas Pras. Anak semata wayangnya. Mas Pras tergugu di kursi sofa. Aku tak tahu pasti dia menangis karena apa. Karena ucapan Ibu atau karena merindukan wanitanya. Entahlah.

Sejak pembicaraan dengan Ibu, malam itu, Mas Pras menjadi orang asing bagi aku dan anak-anak. Dia menjadi semakin pendiam dan lebih dingin. Mas Pras seperti kehilangan semangat hidupnya, selalu murung.

Aku menjadi serba salah. Apakah aku terlalu egois dengan mempertahankan prinsipku? Aku mencoba menghiburnya dengan membuat makanan kesukaannya, mengajaknya ngobrol di kala ia melamun, tapi hasilnya nihil. Mas Pras hanya tersenyum canggung, mengucapkan terima kasih lalu pergi. Aku dianggapnya seperti orang lain.

“Mas, sedang apa?” tanyaku basa-basi melihatnya melamun di kursi teras.

“Ga ada,” jawabnya pendek tanpa menoleh kepadaku.

“Mas, Nina ngerayain ulang tahun anaknya besok sore, Aya dan Alya diundang. Besok, Mas anterin, ya,” ucapku riang. Berharap Mas Pras mau mengantarku.

“Pergi sendiri aja, ya.”

“Tapi, Mas kan besok libur. Ga ngantor.”

“Lagi pengen di rumah saja.”

“Trus, aku pergi sama siapa?”

“Sama anak-anak.”

“Yang nganter?”

“Besok aku teleponkan Pak Tikno.” Dia berlalu meninggalkan aku di kursi teras sendiri. Sakit. Namun aku tidak putus asa, aku megikutinya dari belakang.

“Mas, mengapa sih, Mas jadi seperti ini?”

“Ga apa-apa?”

“Katakan, Mas ada masalah apa? Ayo, kita selesaikan bersama. Jangan dipendam sendiri,” pintaku padanya. Mas Pras menghela napas berat.

“Aku tidak berhak atas diriku. Aku hanya bertugas membahagiakan orang lain. Tapi mereka tak memikirkan kebahagiaanku.”

Deg!

Seperti ada sebuah beban berat menimpa pundakku. Aku mengerti maksud pembicaraannya. Namun aku masih diam, membiarkannya agar terus berbicara. Siapa tahu dengan begitu, bebannya menjadi sedikit berkurang. Dan ia kembali seperti sedia kala.

“Ratih, terima kasih atas cintamu yang begitu besar padaku. Aku tak bisa pungkiri, selama delapan tahun menikah, aku mulai terbiasa dengan kehadiranmu sebagai teman hidupku. Tapi ada ruang kosong yang hampa di sudut hatiku, yang tidak bisa aku mengerti,” Mas Pras berkata dengan datar, nyaris tanpa ekspresi, dan tidak menoleh kepadaku. Aku mencoba mencerna kata-katanya, berharap ia bicara lebih banyak lagi denganku. Tapi dia berlalu dari hadapanku. Atau lebih tepatnya menghindariku.

***

Sudah tiga hari ini Mas Pras tidak masuk kantor, badannya lemah, tapi dokter tidak menemukan sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Semuanya baik-baik saja, menurut hasil pemeriksaan dokter. Namun semakin hari tubuh Mas Pras semakin ringkih, karena ia tidak mau makan.

Aku menerka-nerka, mungkin bukan sakit fisik yang Mas Pras derita, tapi sakit batin. Cintanya kepada Lily yang begitu dalam dan ancaman dari Ibu yang membuat dia menjadi sakit.

Aku merasa menjadi wanita yang paling jahat. Membuat orang yang kucintai menderita. Aku tak tega melihat suamiku menjadi hilang semangat. Mungkin aku tak sanggup untuk dimadu tapi aku juga tak bisa melihatnya seperti mayat hidup. Jika aku tetap pada prinsipku, bagaimana dengan anak-anakku? Keputusanku akan melukai banyak orang. Tapi jika aku yang mengabaikan prinsipku, apa aku sanggup berbesar hati untuk berbagi suami?

Mas Pras menggeliat, rupanya ia baru saja terbangun dari tidurnya. Aku segera membuatkan teh hangat untuknya.

“Mana anak-anak?” tanyanya lirih.

“Mereka dijemput Ibu. Tadi Ibu ke sini. Tapi, karena kamu tidur Ibu ga tega bangunin. Ibu nitipin ini,” ucapku sambil menyodorkan sebuah map padanya.

Dia mengambil map itu, kemudian segera membuka isinya. Mas Pras terperanjat melihat isi map itu. Seolah tak percaya dengan apa yang barusan ia baca.

Sebenarnya map itu bukan dari Ibu. Itu map dariku. Yang berisi surat pernyataan kesediaanku untuk dipoligami. Bukan tanpa alasan akhirnya aku mengizinkan Mas Pras untuk menikah lagi. Ini melalui pemikiran yang panjang, dan pergolakan batin yang sangat melelahkan. Aku hanya punya satu harapan, jika suatu saat Mas Pras akan tahu bahwa ada seorang wanita yang akan selalu ada untuknya, yaitu aku istrinya.

Bagi sebagian wanita ini adalah pilihan yang bodoh, begitu pula bagiku awalnya. Tapi bukankah sejatinya cinta bukan bagaimana kita memiliki tapi bagaimana kita bisa membahagiakan orang yang kita cintai.

Mungkin bagi sebagian kaumku poligami adalah hal yang sangat menakutkan. Sebenarnya bukan masalah takut kasih sayang suami terbagi tapi masalahnya bagaimana bisa berdamai dengan ketakutan yang ada dalam diri.

“Ratih, ini?” Aku mengangguk mantap. Mas Pras menatapku dengan tatapan seolah tak percaya.

“Nikahilah Lily, aku ikhlas,” ucapku lirih, tiba-tiba ada rasa haru menyeruak dalam dadaku. Aku tak dapat membendung air mataku, rasanya aku sudah melepaskan beban yang begitu berat di pundakku.

“Lalu Ibu….”

“Jangan khawatir tentang Ibu, aku yang akan bicara pada Ibu.”

Ada cairan bening yang mengalir dari sudut mata sayu Mas Pras. Dia merengkuhku, “Terima kasih, Ratih. Aku akan berusaha untuk adil.” Aku tersenyum getir. Meskipun masih ada ragu yang menggelayut. Bukankah keputusan ini sudah diambil.

Bersambung….

Tutukz Nury Firdaus, lahir di Banyuwangi. Ibu beranak dua ini adalah seorang guru yang saat ini aktif mengajar di pulau antah berantah. Dia menulis, untuk membunuh rasa sepinya yang harus hidup sendiri tanpa anak dan suami di tempat tugas.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita