Suamiku Bukan Suamiku 1
Oleh: Tutukz Nury Firdaus
“Aku mencintainya,” katanya datar, tapi mampu membuat duniaku runtuh seketika.
Sudah delapan tahun aku berumah tangga dengannya, dan ada dua gadis mungil di tengah-tengah kami. Mereka adalah buah cinta kami. Bukan! Hanya aku yang mencintainya–suamiku, sedangkan dia tidak. Aku pikir setelah memiliki dua orang anak, ia akan mencintaiku. Ternyata aku salah.
Kami menikah bukan atas dasar cinta. Sejak awal dia memang menolak perjodohan ini. Dia sempat pergi keluar kota dengan alasan kuliah untuk menunda pernikahan. Ia juga menyuratiku agar bersedia memohon kepada orang tuaku untuk membatalkan perjodohan ini. Tapi mana mungkin aku melakukannya. Aku benar-benar mencintainya.
Dia adalah cinta pertamaku. Seseorang yang namanya selalu kusebut dalam doa. Jadi, bagaimana aku bisa mengabulkan permintaannya. Dibanding melakukan semua itu aku justru meminta pada orang tuaku untuk menyegerakan pernikahan kami. Karena aku tahu dia tidak bisa menolak apalagi melawan permintaan ayahnya. Itu menjadi senjata andalanku.
Tuhan mengabulkan permohonanku. Menjadikanku istri dari seseorang yang aku cintai. Tapi apa daya, aku hanya memiliki raganya, tidak dengan hatinya. Dan sekarang, dia meminta izin untuk menikah lagi, dengan wanita yang dicintainya.
Tuhan… Kuatkan aku.
***
Aku tak curiga saat suamiku hendak membeli handphone baru. Aku justru gembira. Itu berarti aku dapat handphone baru juga, meski bekas suamiku. Setidaknya itu bisa menggantikan handphone tulalitku karena keypad-nya sudah banyak yang jebol.
Seharian suamiku sibuk dengan handphone barunya. Wajar, pikirku. Tapi belakangan ini dia semakin sibuk. Sibuk dengan pekerjaannya sebagai pegawai bank. Juga sibuk berkutat dengan laptop dan handphone semalaman. Sangat-sangat sibuk.
Saat pulang ke rumah, dia mandi, sholat, makan kemudian berkutat lagi dengan laptopnya hingga larut malam. Dan ada lagi kebiasaan barunya, memakai headset serta mengunci handphone-nya dengan sandi.
“Aya… ayo dong. Jangan ganggu Papa!” Kulihat suamiku mendengus kesal karena ulah Aya, putri sulung kami. Segera aku turun tangan. Menjewer telinganya.
“Aduh… Mama sakit, Ma,” Aya mengerang kesakitan.
“Ingat, Mama bilang apa? Jangan ganggu kalau Papa lagi kerja!” aku memperingatkan Aya agar menjauhi Papanya.
“Tapi, Ma. Papa itu gak kerja. Cuma main-main aja.” Aku mengernyitkan dahiku. Mana mungkin suamiku sebegitu marah pada anak kesayangannya jika bukan karena diganggu.
“Aya cuma mau pinjam headset Papa. Papa sampai marah begitu,” jawabnya sambil keluar menuju halaman rumah. Bergabung dengan anak tetangga yang sedang asik bermain lompat tali. Sedangkan suamiku… dia hanya menoleh dan meneruskan mengotak-atik laptop sambil sesekali melihat ke arah handphone barunya.
Aku kembali ke dapur, meneruskan aktivitasku membuat MPASI untuk anak keduaku yang baru berusia sembilan bulan.
“Iya, Aya. Nanti kita ke pasar malam. Sekarang Aya jangan ganggu Papa dulu.” Aku dengar suamiku berdebat lagi dengan Aya.
“Papa, ayo dong! Aya cuma mau pinjam headset-nya. Sebentaaar… aja,” Aya masih saja terus merengek manja.
“Pokoknya, enggak ya enggak!” dan sekali lagi, dia berkata pada Aya dengan nada tinggi. Hal yang sangat jarang dia lakukan, bahkan bisa dibilang tidak pernah.
Segera aku bergegas menyelesaikan aktivitasku di dapur. Sesampainya di ruang tengah aku langsung menyambar lagi telinga Aya.
“Aduh… aduh… sakit, Ma,” Aya mengaduh sambil memegangi telinganya.
“Sudah berapa kali Mama bilang jangan ganggu Papa.”
“Harusnya Mama berterima kasih sama Aya. Aya itu sayang sama Mama,” Aya tak mau kalah.
“Apa maksud kamu, Aya?” Aku agak terkejut mendengar jawabannya.
“Tidak ada. Pokoknya kalau nanti gak ke pasar malam rahasia Papa akan kubongkar.” Aya berlalu sambil mengerling penuh arti pada papanya.
“Beres!” jawab suamiku sambil mengacungkan dua jempolnya.
Hatiku mencelos. Rahasia? Apa rahasianya. Mengapa raut wajah suamiku langsung berubah setelah Aya mengancamnya.
Aku memandang tajam suamiku. Meminta penjelasan. Tapi seperti biasa, dia acuh kepadaku. Kami memang jarang bicara atau mengobrol walaupun sama-sama ada di rumah. Suamiku lebih suka bercanda dan bermain dengan anak-anak daripada ngobrol denganku. Begitu pun aku. Tapi, kali ini berbeda. Ada rasa yang tidak bisa aku jelaskan. Ada ketakutan yang tiba-tiba menyelusup dalam hatiku.
***
Sejak kejadian sore itu, Mas Pras—suamiku—semakin menjaga jarak denganku dan Aya, meski malam harinya kami sekeluarga pergi ke pasar malam. Aya sangat bahagia di sana dan asyik bermain dengan papanya. Tak lupa juga mereka berfoto-foto dengan handphone baru suamiku. Akulah yang menjadi juru foto. Melihat kegembiraan mereka aku tak tega merusaknya. Kuredam sendiri semua perasaan gundah dalam hatiku. Berharap semua akan kembali normal seperti sediakala.
Tapi hari-hari kami terasa berbeda meski berjalan seperti biasa. Mas Pras semakin sibuk, dan jarang bisa bermain dengan Aya. Setiap hari dia selalu pulang ke rumah tepat waktu, namun itu tak ada bedanya ia pulang cepat atau terlambat. Dia bagai orang lain, bukan Mas Pras yang biasanya. Dia lebih senang menghabiskan waktu sendiri, bersama dengan laptop dan handphone barunya. Seperti malam ini, selepas isya, dia sudah mengemasi laptop dan segala perangkatnya.
“Aku mau ke toko ibuku,” pamitnya datar.
Aku hanya mengangguk, mengiyakan. Baru pukul lima sore dia tiba di rumah, sekarang sudah pergi lagi, dan selalu begitu pada hari-hari berikutnya. Dia lebih senang berada di toko Ibu Mertua daripada bermain dengan anak-anaknya, dan baru pulang setelah hampir tengah malam.
Aku ingin protes sebenarnya. Tapi apa daya, aku tak sanggup bicara. Takut dia marah dan meninggalkanku juga anak-anak. Namun naluriku sebagai wanita mendorong untuk mengikutinya.
Malam ini, setelah Alya—anak bungsuku tidur, tanpa sepengetahuannya aku datang ke toko. Sampai di sana aku memberi isyarat pada penjaga toko untuk tidak memberitahukan kedatanganku pada Mas Pras. Penjaga toko memberi tahu kalau Mas Pras ada di ruang belakang, di dekat gudang. Ada kamar berukuran 3×3 meter persegi. Di dalamnya terdapat single bed dengan seprai warna cokelat serta sebuah meja kerja dan komputer desktop.
Aku berjalan mengendap-endap secara berhati-hati agar tidak diketahui suamiku. Kudengar Mas Pras tertawa renyah. Dengan siapa dia bicara? Entahlah. Aku hanya berdiri di balik pintu tanpa berani membukanya.
Dengan segenap kekuatan yang tersisa, aku tata hati ini yang sedari tadi remuk redam mendengar pembicaraan ia dengan seseorang. Bukan masalah isi pembicaraannya yang membuat aku cemburu, tapi bagaimana Mas Pras bisa senyaman itu bicara panjang lebar. Bercerita ini-itu dan tertawa lepas dengan teman bicaranya. Namun, aku tak mau berburuk sangka. Mungkin itu teman lamanya, atau saudara jauh yang telah lama tak berjumpa. Aku mencoba berpikir positif. Menarik napas dalam-dalam. Kemudian pulang ke rumah karena takut anak bungsuku terbangun.
“Mama, dari mana sih, lama amat? Aya ‘kan, takut Adek nangis, Ma.” Baru saja sampai di rumah, Aya sudah memberondongku dengan pertanyaan.
“Mama dari toko Eyang.” Aku menghempaskan tubuhku ke sofa.
“Kok gak bawa apa-apa?”
Ya ampun, aku lupa. Harusnya aku membeli sesuatu untuk Aya. Entah itu hanya sekadar biskuit atau susu kesukaannya sebagai reward karena mau menjaga adiknya.
“Mama lupa bawa uang. Besok deh ya, Mama buatin puding kesukaan Aya,” aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Beneran loh, Ma. Janji ya?” Aya tampak senang.
“Tapi dengan satu syarat.”
“Apa?”
“Aya jawab dulu pertanyaan Mama.”
“Oke, janji,” jawab Aya penuh semangat sambil menautkan jari kelingkingnya ke kelingkingku.
“Ada rahasia apa antara Aya sama Papa?”
Seketika raut wajah Aya menjadi murung. Kepalanya tertunduk.
Aku dekati dia, aku belai rambutnya. “Aya… Aya sayang ‘kan, sama Mama?” aku masih mencoba membujuknya. Dia hanya mengangguk pelan.
“Lihat wajah Mama, Sayang?” Dia mendongakan kepalanya.
“Tapi Aya sudah janji sama Papa. Dan Pak Ustaz bilang kita gak boleh ingkar janji.”
“Kalau begitu, Mama ubah pertanyaannya. Kenapa Aya pengen banget pinjam headset Papa?”
“Eum… soalnya Aya pengen dengerin musik kayak Papa.” Itu bukan jawaban yang ingin kudengar.
“Selain dengerin musik, biasanya Papa ngapain lagi dengan headset-nya?”
“Bicara sama orang.”
“Aya dengar?”
“Iya, dengar kadang-kadang.”
“Suara laki-laki atau perempuan?”
“Perempuan.”
Ya Allah… benar dugaanku. Aku tak kuasa menahan air mata. Segera masuk ke kamar, berpura-pura melihat anak bungsuku. Aku tak mau Aya melihatku menangis. Aku benar-benar cemburu. Mas Pras bisa selepas itu mengobrol dengan wanita lain. Sedangkan denganku, istrinya yang bersamanya selama delapan tahun, dia jarang berbicara kecuali ada masalah keluarga. Selebihnya tak ada.
Mas Pras, benarkah tak ada cinta di hatimu untukku?
***
Saat Sabtu, Mas Pras tidak masuk kantor. Biasanya sehabis subuh dia jalan-jalan bersama Aya atau sekedar jogging keliling kampung. Tapi tidak kali ini. Seharian hanya bermalas-malasan di kamar. Alya pun luput dari perhatiannya. Dia datang pada Alya saat menangis saja. Dia benar-benar berubah menjadi seseorang yang tak aku kenal. Biarpun Mas Pras cuek padaku tapi dia adalah sosok ayah perhatian bagi Aya dan Alya.
Sampai detik ini pun aku tak berani menegurnya. Aku tak punya cukup bukti. Lagi pula buat apa aku menegurnya. Toh, kewajibannya sebagai suami dan ayah dia penuhi walau ada yang berkurang, tapi dia masih ada dan pulang ke rumah tepat waktu. Itu sudah cukup bagiku. Ini caraku mencintainya. Tak menuntut apa pun. Segala keperluannya aku siapkan. Tanpa perlu dia mengatakannya. Rumah selalu bersih, barang-barangnya selalu rapi. Itu merupakan bentuk baktiku padanya. Tapi tampaknya semua itu tak cukup.
***
Sore yang indah, matahari masih memancarkan sinarnya yang hangat, angin bertiup sepoi-sepoi. Namun, tanpa kehadiran Aya dan Alya rumahku terasa sepi. Aya pergi ke madrasah, sedangkan Alya dibawa neneknya ke rumah sepupuku. Aku lihat suamiku duduk di teras. Masih khusyuk dengan handphone-nya. Penasaran, aku mengintip dari balik kaca jendela.
Ya Allah… ternyata dia sedang memerhatikan foto seorang wanita.
Kali ini aku tak dapat menahan diri. Segera aku menemui dan duduk di sampingnya. Menyadari kehadiranku dia segera mematikan layar handphone dengan tenang.
“Siapa dia?” tanyaku ketus.
“Maksudmu?” Dia pura-pura tidak mengerti.
“Aku melihatnya, jadi tak usah mengelak. Katakan!” Aku semakin gusar melihat wajahnya yang seolah tak berdosa.
“Lily, teman kantorku,” jawabnya santai.
“Teman?” nada suaraku semakin meninggi.
“Ya.”
“Sejak kapan kamu berteman? Sejak kapan kamu menyimpan fotonya?”
Masih dengan gaya yang sama. Santai dan merasa tak berdosa. Dia tetap mengatakan kalau wanita di foto itu hanya temannya.
“Oh ya? Teman? Memangnya ada berapa teman perempuan yang kamu simpan fotonya? Kau pikir aku tidak tahu selama dua minggu terakhir tiap malam kamu ke mana?” emosiku semakin tak terkendali.
“Mas, lihat aku. Jelaskan semuanya. Kau anggap aku ini apa? Aku ….”
“Aku mencintainya,” selanya.
Seketika aku terdiam. Pengakuannya membuat dadaku semakin sesak. Dia mengatakannya tanpa ragu sedikit pun. Tanpa ada rasa berdosa yang terpancar dari rona wajahnya. Tanpa ada rasa iba apalagi memikirkan hancurnya perasaanku.
Dia mengatakannya dengan yakin, tanpa menoleh padaku. Walau air mataku telah menganak sungai dia tetap tak peduli. Dia justru kembali asik dengan handphone-nya. Cintanya.
Cinta macam apa yang hadir dengan menyakiti orang-orang di sekelilingnya.
“Bagaimana denganku? Apakah kau tak mencintaiku?” di tengah pikiran yang kalut, kata-kata itu meluncur begitu saja. Dia hanya menoleh ke arahku, menarik napas dalam-dalam, membuangnya begitu saja dan tak mengatakan apa pun.
“Aku sudah tahu jawabannya.” Aku hapus air mataku dan hendak beranjak dari kursi.
“Maafkan aku. Rasa ini hadir begitu saja. Ini di luar kendaliku.”
Mendengar kata-katanya, aku tak kuasa lagi menahan emosi. Berlari ke kamar. Menghempaskan tubuhku ke ranjang dan menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan semua rasa sesak dalam dadaku.
Delapan tahun aku hidup bersamanya. Belum pernah dia mengatakan cinta kepadaku. Dan kini dia menyatakan cintanya untuk orang lain. Bukan untukku.
Ya Allah, jika dia memang bukan tercipta untukku, mengapa Kau satukan kami dalam ikatan suci yang bernama pernikahan? Jika aku bukan tercipta dari tulang rusuknya, mengapa aku yang Kau jadikan ibu dari anak-anaknya? Apakah ini teguran atau ujian bagi rumah tanggaku? Apakah aku harus bertahan atau menyerah? Jika aku bertahan, apa yang harus aku perjuangkan? Jika aku menyerah bagaimana nasib anak-anakku?
(Bersambung)
Tutukz Nury Firdaus, lahir di Banyuwangi. Ibu beranak dua ini adalah seorang guru yang saat ini aktif mengajar di pulau antah berantah. Dia menulis, untuk membunuh rasa sepinya yang harus hidup sendiri tanpa anak dan suami di tempat tugas.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita