Suami Terbaik

Suami Terbaik

Suami Terbaik

Oleh: Lutfi Rose

Sore yang sendu, kutatap tumpukan cucian kotor di pojok dekat kamar mandi yang banyak sekali. Mungkin nanti malam, aku sempatkan mencuci.

“Ngajar, Ma?” suara suamiku terdengar dari arah belakang. Rupanya ia hendak mengambil wudu untuk salat Asar.

“Eh! Iya, Pa. Sudah jam tiga lewat, Mama buru-buru,” jawabku sambil berlalu.

Aku bergegas masuk kamar mandi di sebelahnya. Kasihan kalau anak-anak harus menunggu terlalu lama, pikirku. Cukup lima menit ritual mandi sudah selesai. Tak apalah jika tak terlalu bersih, asal wangi.

Secepat mungkin aku kenakan gamis dan jilbab instan yang sudah menggantung di belakang pintu, sudah sekali kupakai kemarin.

Azka dan Zia rupanya sudah menunggu di ruang tamu. Mereka sudah siap dengan mengenakan busana muslim yang tampak sedikit kedodoran di tubuh mereka yang kecil. Aku tersenyum geli melihatnya, begitu pula mereka ketika melihat aku tergopoh menghampiri.

“Mbak cudah belangkat,” seru Azka menjelaskan jika kedua kakaknya sudah berangkat duluan dengan suara cedal.

“Iya. Ayo kita berangkat! Ke mana papamu tadi, Dek?” tanyaku sambil meraih membenahi kerudung Zia yang sedikit berantakan.

Tak ada jawaban dari kedua buah hatiku itu. Mereka serta-merta menggandeng kedua tanganku. Kupandangi sekeliling tak kutemukan sosok ayah mereka. Sudahlah, sudah tak ada waktu mencari dia. Aku putuskan berangkat tanpa pamit padanya.

Sepanjang mengaji pikiranku masih tertuju pada tumpukan cucian yang menggunung. Rasanya mereka seolah berteriak-teriak minta dikucek. Rasa punggung yang pegal sedikit mengusik, kugerakkan kepala ke kanan dan ke kiri untuk mengurangi rasa ngilu.

Sore makin menua, langit mulai muram menggelap saat aku selesai menyimak satu murid terakhir.

Kami berlima—aku dan keempat anakku—berjalan pulang. Si kecil tampak begitu riang bersenandung selawat Nabi. Sesekali bocah lelaki satu-satunya itu berjongkok mengambil kerikil di tepi jalan, kemudian ketiga kakaknya akan menegurnya. Pemandangan yang selalu membahagiakan.

Memasuki halaman rumah, mataku tertuju pada saluran air yang mengalir deras. Itu hanya terjadi jika ada yang mandi atau mencuci di lantai atas.

“Papa nyuci mungkin, Ma.” Sepertinya Rifa—si sulung—sependapat denganku.

Benar saja, ketika kami masuk rumah, suamiku sudah turun tangga dengan handuk menggantung di lehernya.

“Papa …!” seruku.

“Iya, sudah beres semua cuciannya.” Ia bicara sambil berlalu begitu saja. Meninggalkanku yang masih bengong tak tahu harus bicara apa.

***

Siang di hari berikutnya, kondisiku sedikit kurang baik. Badanku tiba-tiba terasa dingin menggigil. Lelakiku sedang tidur berjajar bersama dua kerucil di depan televisi.

“Mas …,” panggilku.

“Hemm … apa?” jawabnya terdengar malas seraya menguap.

“Kepalaku sakit,” keluhku.

Kudekatkan wajahku padanya. Tangan kanannya meraihku dalam pelukannya. Mengecup pipiku dengan mata yang tetap terpejam.

“Istirahat, Honey,” bisiknya, seraya membenamkanku dalam rengkuhannya.

Sebenarnya sulit sekali untuk tidur. Kepalaku terasa nyut-nyutan. Tetapi berada di dalam sini sungguh menenangkan. Rasanya hangat sekali dan tak ingin membuka mata.

***

Tak tahu kapan aku tertidur, saat kubuka mata, dia sudah tak ada di sampingku. Karena hari Minggu, anak-anak libur diniah, aku tak perlu pergi mengajar. Sepertinya tak mandi juga tak masalah. Melihat air di bak mandi saja sudah terbayang dinginnya. Kuputuskan cukup berwudu.

Selesai salat terdengar riuh dari arah kamar mandi. Dua bocah berlari tanpa baju, badan dan rambutnya masih tampak basah. Di belakang mereka pria kesayanganku mengenakan handuk yang hanya menutupi bagian bawah sampai pusar saja. Ih! Porno, nih, orang. Dia mengikuti kedua bocah yang berlari berkejaran ke ruang tengah.

Dari tempatku aku bisa melihat dia cekatan memakaikan baju pada dua bocah kecil yang sangat aktif itu. Biasanya aku harus ekstra suara, untuk teriak-teriak agar mereka tertib. Kadang malah aku sampai putus asa dan pura-pura menangis agar mereka iba lalu mau menurut. Tetapi mereka bisa begitu penurut pada ayahnya.

***

Malam menjelang. Badanku tak juga mau berbaikan dengan kemauan. Rasanya sudah remuk redam. Setiap persendian seperti mau lepas dari tempatnya.

“Pa … nyetrikanya besok, ya? Mama pusing.” Aku bicara dari dalam kamar sedangkan dia sedang menonton pertandingan motor GP di televisi.

“Sudah! Tidur saja, Ma,” ucapnya tanpa menoleh padaku.

Terdengar suara Azka berceloteh. Sesaat kemudian berselisih karena berebut sesuatu dengan Zia. Suamiku terdengar meminta mereka untuk tak ribut karena mamanya perlu istirahat.

Aku terlelap tanpa tahu apa kegiatan mereka di depan televisi selanjutnya.

***

Bangun pagi aku tergopoh memasak air sebelum ke kamar mandi. Kupikir harus cepat, seragam anak-anak belum disetrika. Aku mandi secepat mungkin. Tapi rasa mulas membuatku harus lebih lama dari yang kuperkirakan.

Kulaksanakan salat Subuh dengan tergesa. Ketika ke dapur hendak masak nasi, magic com sudah menyala dengan beras sudah tenang di dalamnya. Kopi, minuman wajib suamiku di pagi hari, juga sudah mengepul di dalam cangkir. Ah! Ia memang selalu rajin.

Pekerjaan dapur sudah selesai, tapi seragam belum tersentuh. Setengah berlari aku berjalan ke ruang setrika, dan aku dibuat terkesima, melihat seragam sudah berjajar rapi, siap dikenakan.

Ya Tuhan, harus bilang apa aku pada belahan jiwaku ini?

“Mas ….” Kudekati pria yang sudah menemaniku lebih dari sepuluh tahun itu.

Dia tersenyum. Seperti biasa, tanpa kata. Kurengkuh lengannya, kusandarkan kepalaku di pundak kirinya.

“Apa?” Dia menjawab sambil tetap sibuk merapikan kemeja.

“Sayang …,” ucapku sambil memejamkan mata.

Dia terkekeh sambil mengecup keningku.

Andai aku bisa mengucapkan kata yang lebih indah dari sekadar ucapan terima kasih. (*)

Lutfi Rose, seorang wanita yang insyaallah akan selalu bahagia.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply