Suami Tampan vs Istri Melar

Suami Tampan vs Istri Melar

Suami Tampan vs Istri Melar
Oleh : Farida

Namaku Pambudi. Wajahku mirip dengan Song Jong Ki. Awas kalau tidak percaya, ini fakta. Buktinya aku bisa menikahi perempuan jelita di SMA-ku. Kini perempuan itu menjadi ibu dari tiga orang anakku.

Pekerjaanku sebagai karyawan swasta cukup untuk menghidupi istri dan anak-anak, membayar aneka cicilan, dan kadang kalau ada uang lebih bisa mengajak istri dan anak-anak sekadar makan di pinggir jalan.

[Mas pulang jam berapa?]

Pesan masuk berasal dari belahan jiwaku yang kubayangkan sambil mengetik pesan wajahnya horor bak Suzana bangkit dari kubur.

[Iya sebentar lagi] balasku dibubuhi emotico love berderet biar tidak kelihatan kalau aku bete. Aku meneguk sisa kopi lalu beranjak pergi dari warung yang letaknya persis di depan pabrik tempatku mengais rezeki.

“Huuuh ….” Olok-olokan teman sudah biasa aku dengar.

“Bud … Bud … suami takut istri,” kata mereka meledekku dengan raut wajah bahagia sekali.

Aku tidak ambil pusing, yang harus kupikirkan sekarang adalah bagaimana caranya agar istriku tak cemberut saat aku pulang nanti. Tujuh tahun hidup dengannya, tentu sedikit-banyak aku sudah paham kebiasaan istriku. Jika pulang terlambat, aku wajib membawa sebungkus seblak atau martabak agar Ariani tidak merajuk.

***

Langit senja menyuguhkan warna jingga. Tampak juga sekawan burung berterbangan kembali ke sarang menambah suasana syahdu menuju pulang. Kini aku di atas kemudi. Melaju dengan hati-hati setelah sejenak menepi mencari jajanan untuk Ariani. Kendaraan roda dua miliku menyusuri jalanan aspal mulus di tengah-tegah kota industri. Aku melirik jam di pergelangan tangan, lalu menambah sedikit kecepatan agar aku sampai di rumah sebelum azan magrib berkumandang.

“Assalamu’alaikum …,” teriakku sambil membuka sepatu lalu mengetuk pintu

“Wa’alaikumsalam … Bapak .…”

Tiga bocah berlari menghampiriku. Masing-masing dari mereka berusia lima tahun, tiga tahun, dan si bungsu baru saja menginjak satu tahun. Senyuman mereka membuat peluhku minggat. Aih … sungguh nikmat.

Dahiku berkerut, di mana ibunya? Kenapa tidak menyambutku pulang? Duh, aku lupa scane ini hampir setiap pekan ada jam tayang. Pasti Ariani pura-pura melakukan aktivitas tak menghiraukanku. Walau begitu aku menikmatinya. Buatku ini lumayan seru, meluluhkan bidadari memakai daster itu sebuah prestasi bagiku.

“Dek, lagi ngapain?”

Tidak ada jawaban, namun aku tersenyum saat melihat Ariani sedang mengaduk teh yang baru saja dia buat.

“Dek, mas nanya loh.” Seperti dugaanku Ariani masih diam dan malah membuang muka, garuk-garuk kepala. Aku lupa wanita baru mau menjawab jika sudah ketiga kali disapa.

“Dek ….” Kupijat bahunya pelan, “nanti kalau sudah enakan ngomong ya,”

Namun baru selangkah aku berjalan ….

“Aku sebel sama kamu. Kenapa sering pulang terlambat, tidak tahu apa kalau aku capek mengurus tiga orang anak? Kamu malah asyik ngopi-ngopi sama teman. Aku belum sempat mandi. Jam tiga sore baru makan siang.”

Blablabla

Kata-kata Ariani mirip sekali dengan bunyi notifikasi WA yang datang beruntun karena ter-pending, trung …trangtrungtrang …. Bisa dibayangkan seperti apa hebohnya?

“Iya, maaf … ” jawabku dengan menutupi wajah takut jika tiba-tiba saja ada UFO melayang mengenai mukaku. Eh, untungnya adegan samacam itu cuma ada di sinetron Kumenangis. Fiktif belaka, Gaesss … bukan kenyataan.

“Mas juga pengen ngobrol-ngobrol dengan teman, Dek. Capek. Kalau bel pulang enggak bisa langsung ngeluyur bawa motor, mesti duduk-duduk dulu sebentar,” jelasku sambil membenarkan ikatan rambutnya yang hampir terlepas.

“Mas pikir aku juga gak kepingin main sama teman? Aku hampir tidak pernah keluar karena terlalu sibuk ngurus anak-anak.” Ariani menyeka air mata yang akhirnya tumpah-ruah.

“Istigfar, Dek. Kan memang begitu kodrat seorang ibu.” Aku mengelus pundaknya yang masih bergetar menahan kesal.

“Eh, Dek, mas bawakan martabak. Dimakan gih. Mumpung si bungsu aku pegang.”

Ariani malah mengambil alih si bungsu dari gendonganku.

“Mas mandi saja dulu,” katanya sambil mendorong tubuhku.

“Ya, sudah.” Aku mengangguk, mudah-mudahan setelah aku mandi, dia tidak marah lagi.

Setelah mandi aku siap bertempur: menyuapi anak-anak, membereskan mainan yang bertebaran di sudut ruangan, lalu memeriksa cucian di ember. Biasanya sudah disiapkan bagianku untuk menjemur. Sejujurnya aku lelah, tetapi aku sadar betul Ariani jauh lebih lelah.

Ariani sering telat makan, dia lebih mengutamakan mendampingi anak-anak kami bermain, tidak jarang pukul tiga sore dia baru sempat makan siang, sering kuingatkan tetapi dia bilang yang penting anak-anak bisa makan duluan, cukup lega baginya jika masih bisa menunaikan salat, wiridan, dan kadang tilawah sebentar.

“Mas enak kali ya kalau punya ART?”

“Mas kalau cucian kita kirim ke laundry bagaimana?”

Itu merupakan sebagian dari kalimat-kalimat yang sering kali dia ucapkan. Sejujurnya aku tidak keberatan walaupun aku harus bekerja lebih keras jika harus mengalihkan cucianku ke laundry. Tetapi Ariani selalu berubah pikiran, “Gak jadi deh, Mas. Mending uangnya ditabung,” ucapanya kerap kali serupa gedoran halus di sudut hatiku.

***

Hari minggu.

Yes! Aku akan bangun siang.

“Aaaau!”

Sontak aku berteriak saat Ariani tiba-tiba saja mencubit pinggangku saat aku kembali menarik selimut saat azan Subuh berkumandang.

“Mas bangun katanya mau belajar jadi pejuang subuh. Dari kemarin cuma wacana. Ayolah, Mas supaya rezeki makin lancar,” kata Ariani menggoyang tubuhku.

“iyaaa ….” Aku beranjak. Dengan langkah gontai, aku menyambar handuk menuju kamar mandi.

Jangan tanyakan kemana aku setelah itu, jika temanku yang lain sibuk dengan hobinya di hari Minggu, aku sibuk dengan popok anakku sambil bersenandung Kucek Kucek Hota Hai supaya bau ampas di popok tidak terlalu mencolok hidungku. Plisss … beri tepuk tangan yang gemuruh untuk bapak-bapak sepertiku.

***

Samar-samar aku mendengarkan percakapan Ariani dengan ibu mertuaku yang memang biasa datang ke rumah kami untuk mengunjungi cucunya walaupun hanya sebulan sekali.

“Ani, jaga penampilan kamu dong, badan sampai melar begitu, muka kusut rambut uwel-uwelan, daster bolong, kenapa yang dipake baju itu terus?” bisik ibu mertuaku

“Aku nyaman begini, Bu. Aku kan mau mengurus anak bukan mau ke mall, jadi yang praktis aja,” jawab Ariani tegas.

“Ani kamu harus waspada, kalau suamimu kepinciut wanita lain gimana?” tanya ibu lagi.

“Gak mungkin, Bu. Mas Budi tidak punya banyak uang. Siapa yang mau? Pelakor kan cari yang kaya.” Lagi-lagi Ariani mengelak.

“Lah, tapi suamimu gagah, ganteng, masa punya istri mirip ondel-ondel,” hasut Ibu lagi.

“Ibu gak usah mikir macem-macem,” jawab Ariani dengan gelengan kepala bersamaan embusan napasnya yang keras.

***

Rembulan memelototiku dengan gagah diikuti cahaya lampu jalanan yang menyilaukan mata. Aku duduk termenung di atas motor. Seperti lupa jalan untuk pulang, aku malah mematung memikirkan masa depan keluargaku. Bagaimana menjelaskan perkara ini pada Ariani? Bagaimana jika nanti dia tidak menerima, lalu bersedih, lalu memilih meninggalkanku? Tetapi setelah kupikir-pikir, bagaimanapun juga aku harus jujur. Kenyataan ini tidak mungkin aku sembunyikan.

Katakan yang hak walaupun pahit.

Aku meyakinkan diri bahwa aku lelaki bijak. Aku akan menghadapi apa pun yang akan terjadi kelak.

Ketiga anak kami sudah tertidur saat aku mengajaknya untuk mengobrol. Kini kami duduk berhadapan dengan dua gelas teh manis hangat yang dia hidangkan. Secarik kertas sudah dalam genggaman. Berkali-kali aku menggigit bibir bawahku. Kosakata yang sudah kususun sejak tadi seakan melebur, aku bingung kata apa yang pantas agar mampu diterima olehnya. Cuaca malam yang lumayan dingin malah membuatku kepanasan, mungkin karena cemas.

“Jadi kamu kena PHK, Mas?”

Di luar dugaanku, Ariani malah tersenyum membaca surat yang aku sodorkan.

“Aku pikir kamu menyelingkuhiku,” ucapnya sambil memukul kertas itu ke bahuku.

Tak dipungkiri, sejatinya aku terkejut dengan sikap Arini. Tetapi dalam waktu bersamaan pula aku juga merasa senang dengan jawabannya. Meski kata orang dia mirip ondel-ondel, tetapi dia memiliki hati yang baik. Aku bersyukur memilikinya.

***

Ketika diuji, solusi terbaik adalah semakin mendekat diri pada Sang Pemberi Rahmat. Semenjak menjadi korban PHK, aku memutuskan membuka toko sembako dari uang pesangon yang kumiliki. Hariku menjadi lebih longgar. Kini aku bisa salat Duha, lebih sering ke masjid, dan berangkat ke majelis taklim

“Dek, mas survey tempat dulu ya. Doakan cocok.”

Ariani mengangguk dan mencium punggung tanganku dengan takzim. Namun, ketika hendak melangkah terdengar suara nada dering berasal dari gawaiku. Dengan cepat jempolku menggeser icon berwarna hijau pada layar.

“Baik kita bertemu di lokasi, Assalamu’alaikum,” ucapku memutus panggilan tersebut.

“Telepon dari Bu Fety?” Ariani yang masih berdiri di sampingku bertanya seperti menyelidik.

Aku menganguk, “Iya, kenapa? Cemburu?” Raut wajahnya membuatku mencubit pipinya, gemas.

“Enggak lah. Mas mau menikahi dia juga tidak apa-apa.” Kalimatnya terdengar enteng. Namun jantungku seperti berhenti berdenyut. Ariani memang tidak pernah mengekspresikan rasa cintanya. Kadang aku dibuatnya ragu, apa benar dia mencintaiku? Kata-katanya barusan tak pelak membuatku sedih. Sepertinya dia tak memiliki rasa cemburu.

***

“Bu Fety cantik gak, Bud?” tanya Bagus, teman sekaligus orang kepercayaanku, yang mengurus toko sembakoku. Kini aku memiliki tujuh karyawan. Alhamdulillah ….

“Cantik,” jawabku singkat.

“Cocok, Bud,” katanya lagi.

“Apanya yang cocok?”

“Cocok menjadi istri keduamu. Sepertinya dia juga menyukaimu.”

Bukannya senang, ucapan Bagus justru membuatku menatapnya penuh amarah. Kurang ajar. Melihat ekspresiku, Bagus memilih untuk segera menutup mulutnya rapat-rapat.

Bu Fety adalah rekan bisnisku. Seorang janda kaya dengan penampilan nyentrik dari kaki hingga ujung kepala. Namun tidak sedikit pun aku tertarik padanya. Satu-satunya wanita yang sampai saat ini bertahta di hatiku adalah Ariani: satu-satunya ondel-ondelku.

***

Tanah di pekarangan rumahku kian basah diguyur hujan yang turun tergesa-gesa. Ariani yang tengah menggoreng pisang mendadak berlari.

“Mas … jemuran, Mas. Bantu aku angkat pakaian.” Aku terkesiap membuntuti Ariani menuju halaman rumah kami.

“Dek, kenapa tidak dibawa ke laundry saja sih?”

“Tidak apa-apa, Mas. Semua pekerjaan rumah sudah diambil alih oleh bibi, tugasku hanya memasak, ngurus pakaian dan anak-anak. Masa kerjaan kayak gini mau diambil alih orang lain juga, nanti pahalaku habis. Aku sudah pernah miskin di dunia. Dan jangan sampai miskin di akhirat juga.” Ariani berkata seperti itu tanpa menatapku sedikit pun. Tidak sadarkah dia jika ucapannya membuat hatiku gerimis.

Hari Mingguku masih sama seperti dulu, walaupun aku memiliki banyak waktu dan uang tetapi aku lebih memilih menemani si ondel-ondel itu. Ariani … Ariani … rasakan kamu punya suami bucin begini.

“Mas, nenek urut tidak jadi datang padahal badanku pegal.”

“Mas, panas … sepertinya es teh manis enak.”

“Mas kamu kan tinggi, tolong ambilkan!”

“Mas ….”

“Mas ….”

“Mas ….”

Begitulah jika aku di rumah, si ondel-ondel itu sering memerintah. Menggunakan kalimat halus. Padahal niatnya menyuruh ini-itu. Apakah aku kesal? Tentu saja. Tetapi saat melihat wajahnya, kesalku berubah menjadi gemas.

“Mas, aku gak suka laki-laki gemuk,” kata ariani menatapku.

“Dek, aku juga gak suka perempuan gemuk,” balasku mengejeknya.

“Untung aku kurus ya, Mas.”

“Hahahahaha ….”

Begitulah kami tidak saling mengaku kalau timbangan mempresentasikan berat badan kami.[*]

Nda Farida adalah nama pena saya, lahir di kota Bekasi beberapa puluh tahun silam. Siang berprofesi sebagai guru. Sedangkan malam menghalu. XD
Saya siap berkenalan dengan pembaca. Agar lebih akrab, silakan follow akun Instagram nda_farida90 dan akun fb Nda Farida.

Editor : Uzwah Anna

Gambar : https://pin.it/5nMM19Q

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply