Suaka
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda
Tiap Chuseok[1], Min selalu menyisihkan pekerjaannya sebagai song-writer sekaligus komposer guna pergi ke Kuil Buseoksa, melakukan beberapa ritual keagamaan, kemudian menemui seorang biksu berwajah cerah yang gemar duduk di samping patung Buddha emas. Jung, biksu itu, akan terkekeh sejenak, lantas berkomentar, “Kau sudah tidak alergi ke kuil sekarang?”
Min bakal memutar mata, menjawab, “Kau tahu kalau aku tidak bisa jadi seagamais itu.”
Kalau sudah begitu, tembok formalitas yang lumrahnya terbentuk antara pengunjung kuil dengan para biksu bakal luruh. Lantas seperti dedaunan musim gugur, masa lalu akan merembes bersamaan dengan percakapan yang bergulir dinamis. Min ingat, semasa sekolah—jauh sebelum sahabatnya mengabdikan diri di salah satu kuil tertua di Korea Selatan tersebut—Jung kerap bertanya perihal tempat yang bakal Min kunjungi saat liburan, yang selalu pemuda berwajah lesu itu jawab dengan datar, “Tempat mana saja boleh, asal itu tidak berisik. Tapi, aku menolak untuk pergi ke kuil.”
Min ingat, Jung bakal tertawa renyah, kemudian berkelakar, apakah Min diciptakan dari serpihan iblis sehingga seantipati itu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal spiritual, terutama kuil?
Min tidak membalas, hanya mendengkus, sedangkan Jung akan melanjutkan guyonannya, membicarakan dengung doa tiap ia pergi ke tempat peribadatan tersebut, orang-orang berkepala plontos yang mampu menebar senyum di wajah mereka yang “terluka”, dan sebagainya. Min tahu Jung tidak akan berhenti bicara hanya karena ia menyalak, mengatainya naif, sedangkan Jung sendiri tahu Min selalu berlakon pasif, apa pun yang ia katakan, seperti yang dilakukan batu di dasar kali: diam, menolak mengikuti arus.
Ini tentu saja aneh, bagaimana dua orang berbeda warna dapat bersikap harmonis dalam interaksi absurd. Akan tetapi pada dasarnya semua berawal dari pemahaman: Min tahu, dengan dalih agama, Jung sekadar melakukan pertahanan diri atas keluarganya yang rusak—ayahnya pemabuk, ibunya seorang bacchus lady[2], dan kakaknya cuma seorang dungu berwajah cantik; Jung mengerti bahwa Min terlampau realistis dan dingin untuk segala yang berhubungan dengan spiritualitas seseorang, karena hidup sebagai yatim piatu sejak kecil.
Min pernah berkata, setelah mereka menjadi cukup dekat saat SMP, “Hukum rimba itu nyata. Itu yang kutahu dan itu juga yang kuyakini.”
Jadi bisa dikatakan, pertanyaan-pertanyaan itu—beserta guyonan dan tindakan abai kemudian—sekadar obat atas latar belakang mereka yang sama-sama tidak baik. Keduanya memahami fakta tersebut dan justru menganggapnya sebagai “penyembuhan” atau pelarian dari masalah yang ada. Oleh karena itu, tentu tidak ada yang merasa terganggu dengan betapa kontrasnya respons masing-masing pihak sebab mereka, toh, sama-sama orang sakit.
Min ingat, Jung sempat berkelakar perihal mereka yang bersimbiosis mirip kupu-kupu serta bunga. Saling menguntungkan. Dulu, kendati memahami makna perkataan Jung, Min tidak terlalu merenungkannya. Akan tetapi, setelah beranjak dewasa dan menghabiskan salah satu Chuseok-nya untuk pergi ke tempat yang selama ini ia benci, Min sadar bahwa memang ia memang sebegitu terikat itu dengan Jung.
“Bagaimana dengan orang-orang yang datang ke kuil? Apa mereka sama ruwetnya dengan diriku?”
“Kau yang paling ruwet dari yang selama ini kutahu, sebagai informasi, dan, ya … itulah kehidupan.” Jung menerawang pemandangan di sekitar Kuil Buseoksa. “Ada yang sakit, ada yang menyembuhkan. Ada yang hidup dalam keriuhan kota besar, ada yang memilih menyepi untuk merenungkan diri. Itu sudah peran sekaligus keseimbangan yang tidak bisa dihapuskan dari dunia ini.” Jung memutar mata. “Mengesampingkan hal itu, aku jadi tahu bahwa hidup pun bisa jadi amat kejam dan menyedihkan.”
Min merapatkan jaket, ingat bahwa ia tidak pernah membayangkan Jung bergabung dengan orang-orang berkepala plontos yang kerap sahabatnya datangi di akhir pekan, dulu sekali. Jung memang agamis—ia betulan mutiara dalam kolam lumpur—tetapi belum sampai pada taraf di mana ia dapat melepaskan segala keduniawiannya untuk Buddha. Namun, semua orang berubah. Jung sendiri sampai pada titik balik begitu kakaknya bunuh diri akibat hamil di luar nikah.
Jung selalu berkata, ia tidak bisa menyelamatkan ayah dan ibunya, karena itu ia berusaha menjaga kakaknya—pemuda itu bekerja part-time bahkan mempelajari materi tingkat lanjutan untuk membantu sang kakak. Jadi, kejadian tragis macam itu tentulah membuat Jung terpukul berat: ia selalu mengigau, menangis tiba-tiba, bahkan melukai dirinya sendiri setelah pemakaman Jung Jiwoo, sang kakak. Min berusaha mengatakan hal logis untuk menguatkan Jung … sampai akhirnya ia sadar semua butuh waktu.
Sampai waktu itu datang, Jung telah yakin sepenuhnya berdiam di kuil, mengabdi untuk orang-orang, sedangkan Min membuat lagu untuk dijual ke orang-orang.
Akan tetapi, luka itu masih ada. Simbiosis itu tetap nyata. Interaksi absurd itu konstan bertahan.
Min tahu, Jung butuh seseorang untuk jujur tentang mimpi-mimpi mengerikan serta penyesalan yang enggan tandas dari hatinya, kendati telah bekerja sebagai penyembuh luka orang lain—menjadi dokter gigi bukan berarti kau mesti terbebas selamanya dari sakit gigi. Di sisi lain, Jung mengerti bahwa Min—seperti orang-orang yang datang ke Buseoksa dengan darah serta nanah—membutuhkan seseorang yang benar-benar mendengarkannya.
Mereka adalah suaka terapik bagi satu dan lainnya—itu yang mereka tahu hingga detik ini, ketika Min memantik sigaret sembari melihat orang-orang yang mengagumi keindahan Kuil Buseoksa di musim gugur.
Mereka berbincang-bincang tentang banyak hal: Min, dengan gaya khasnya, berbicara tentang kerealistisan dunia dan sebagainya; Jung, dari sudut pandang jujurnya, bercerita tentang sulitnya menjadi sosok bijaksana.
Di akhir dialog, setelah Min membuang puntung rokok kelimanya, Jung bertanya, “Aku selalu teringat hal ini dan ingin bertanya padamu sejak lama: apa kuil jadi tujuan utama liburanmu sekarang?”
Min tertawa sarkastis. “Aku tidak seagamais itu. Aku sudah bilang.”
“Kau bukan orang konservatif yang menganggap bahwa liburan ke tempat peribadatan menunjukkan tingkat spiritualitas seseorang, ‘kan?”
Min mendengkus.
“Ini sesi berobat. Melarikan diri. Atau apalah itu. Bukan liburan. Sama sekali bukan.”
Jung tertawa seringan kapas. “Tentu saja. Bukankah liburan berarti bebas dari pekerjaan—atau anggaplah rutinitas paling menjemukan yang pernah kaulakukan?”
Min terdiam.
Angin menggerakkan pohon persik di sekitar patung Buddha emas.
“Kau bukan seseorang yang konservatif, tapi berhentilah jadi keras kepala.”
Min tertawa sarkastis, memandang langit, kemudian turun. Seraya melambaikan tangan, ia berkata, “Terima kasih atas ceramahmu satu itu.”
Angin kering musim gugur berembus ketika suara riang Jung—yang entah kenapa sukar berubah kendati telah menjadi biksu di Kuil Buseoksa—terdengar, “Dan, oh, ya, Min! Sebenarnya tidak apa-apa kalau kau betulan liburan ke kuil … kau tahu maksudku, ‘kan?” (*)
[1] hari libur nasional selama tiga hari di Korea Selatan yang dirayakan secara besar-besaran pada musim gugur.
[2] sebutan untuk tunasusila yang bekerja sambil menjajakan Bacchus (minuman berenergi) di Korea.
Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata