Stoples Jiwa

Stoples Jiwa

Stoples Jiwa

Oleh: Erlyna

Ketika sekelimun kunang-kunang sering mengajak mengobrol, aku mulai terbiasa dengan tempat ini. Mulanya tergantung sendirian bersama kesepian yang begitu pekat bukan hal yang biasa bagiku. Namun, karena para malaikat sering tersesat di simpang lima dengan pohon kisereh di tengah-tengah, aku dipindahkan ke sini.

Aku hanya bisa pasrah. Memberontak pun rasanya percuma. Maka aku terima saja apa yang dilakukan oleh tangan-tangan Tuhan itu, sambil menikmati kerlip-kerlip wahyu yang sering berjatuhan dari genggaman para utusan, yang setiap malam begitu sibuk melintasi waktu lapisan demi lapisan.

Aku selalu menyayangkan mereka yang memilih memejamkan mata di saat-saat seperti ini, ketika bulan yang cantik dan bintang-bintang gemerlap sedang terapung-apung di seluas langit. Ketika kaki-kaki kabut yang halus mulai menuruni bukit dengan tenang dan angin-angin menyapa aroma kenang.

Aku menyayangkan mereka yang memilih ditipu oleh mimpi-mimpi di saat-saat seperti ini.

Sebenarnya yang tergambar di pantulan tubuhku tidak seindah kenyataannya, tetapi tidak apa-apa. Semoga kalian tetap terhibur dan merasa lebih ingin melanjutkan hidup.

Pada penghujung malam, salah satu utusan menjatuhkan sebuah kantung hitam, tepat di sisi kiri persimpangan yang menuju ke arah permakaman. Ukurannya sedang saja, mungkin seukuran tubuhku yang muat jika diisi dengan bokong bayi. Aku tidak bisa memotret atau menggambarkannya, tetapi kalian bisa melihatnya pada pantulan tubuhku yang sedikit keruh sebab terlalu lama terayun-ayun dalam udara.

Seorang pria tua yang jalannya terbungkuk-bungkuk memungutnya. Ia terbatuk-batuk cukup keras sambil memegangi ubun-ubun, mungkin menahan nyawanya agar tidak buru-buru melayang. Tangannya penuh keriput, bergetar-getar kala membuka simpul lalu terbengong-bengong menatap isinya.

Fajar yang dingin lekas berganti dan tentu saja namanya sudah bukan fajar lagi, sebab hangat matahari perlahan menjilat-jilat punggung. Pria tua itu telah kembali berjalan, tangan kirinya mengepal erat, sementara tangan kanannya meremas-remas kantung plastik hitam sebelum melemparnya ke tempat sampah di samping selokan.

Wajahnya menengadah, matanya terus berputar-putar sebelum akhirnya sedikit memelotot saat menemukanku yang berayun-ayun pelan di salah satu dahan dekat gapura. Basah embun pada tubuhku disekanya dengan ujung jaket lusuh. Aku sempat mendengar ia melontarkan serapah yang kejam, yang tidak bisa kubocorkan pada kalian karena aku yakin pria tua itu juga tidak ingin siapa pun mendengarnya. Tangannya memutar kepalaku hingga terlepas, kemudian menggelincirkan sesuatu di tangan kirinya ke dalam tubuhku dengan cepat, lalu kembali memasang kepalaku, memutarnya dengan penuh penekanan.

Pria tua itu, aku sering bertemu dengannya. Ia tidak pernah memperkenalkan diri dan aku mengetahui namanya dari panggilan orang-orang yang kerap berjumpa dengannya. Singkat saja, Pak O. Belakangan ia lebih sering berbicara kepadaku meski aku merasa tidak pernah berbicara dengannya. Namun, ia selalu menegaskan sedang bercerita kepadaku. Hal yang paling sering diceritakannya adalah teman-temannya yang sudah menjadi mayat dan kini jiwanya berada dalam tubuhku.

Sebetulnya aku tidak begitu yakin mayat apa yang ia maksud, karena sejak awal saja aku tidak paham apa yang ia ceritakan. Mungkin saja teman-teman yang dia maksud adalah bunga-bunga yang tidak terawat di tepi permakaman. Namun, tentu saja waktu tidak semurah hati itu menungguku menemukan jawabannya, maka biarlah kusimpan saja rasa penasaran dan kebingungan ini hingga esok atau kapan-kapan.

Setelah pria tua itu berbalik arah dan pergi entah ke mana, salah satu utusan mendekat. Debu-debu halus yang beterbangan di sekelilingnya menyamarkan penglihatan, tetapi aku tahu ia sedang memelototiku.

Kesepian itu, terus mengelilingi dan terasa semakin menjerat. Aku menemukan sisa isak tangis pada sepasang tangannya yang membelai tubuhku pelan. Ada banyak duka nestapa terperangkap di sana. Mungkin salah satu manusia tidak kunjung rela melepaskan apa yang sejak awal tidak pernah benar-benar menjadi miliknya.

Setelah belaian kesekian pada tubuhku, aku kembali merasa kosong. Kesunyian kembali merasuki. Kadang-kadang aku merasa hening adalah makhluk lain yang menempel pada kulit kaca seperti lumut basah, diam, tetapi hidup. Utusan itu masih berdiri beberapa langkah dari tempatku tergantung. Sayapnya yang kusam menggigil, seolah-olah kelelahan menyimpan rahasia.

“Aku mengantar sesuatu yang bukan seharusnya kau simpan.”

Lirih suaranya serupa debu. Ia membiarkan cahaya semesta memantul dari matanya, perlahan-lahan merayapi seluruh tubuhku. Aku ingin bertanya, tetapi aku diciptakan untuk diam.

Beberapa helai bulu sayapnya berjatuhan, melayang-layang lalu menghilang sebelum menyentuh tanah.

“Jangan merasa bersalah kalau suatu hari nanti ia mencarimu.”

Aku tidak paham siapa “ia” yang dimaksud, tetapi rasa kosong itu mendadak berubah menjadi sesuatu yang lebih dingin dari embun pagi buta.

Sebelum aku sempat membentuk prasangka, utusan itu lenyap begitu saja, menyisakan wangi tanah basah dan gema samar yang menusuk-nusuk.

Pagi berikutnya, Pak O datang kembali. Kali ini langkahnya lebih berat. Tangan kirinya bergetar-getar, menahan sesuatu yang menggelayuti pundaknya.

Ia menatapku cukup lama dengan napas tersengal-sengal. Tawanya sedikit mengembang saat mengatakan bahwa aku tampak sedikit berbeda.

Aku ingin menimpali bahwa bukan aku yang berubah, melainkan apa-apa yang mengisi tubuhku. Namun, tentu saja aku hanya dapat berayun-ayun mengikuti irama angin.

Pak O membuka jaket lusuhnya, merogoh sesuatu dari saku terdalam. Kali ini bukan kantung hitam, bukan simpul-simpul yang kusut, bukan pula sisa-sisa yang ia pungut dari persimpangan. Ia mengambil selembar kertas kecil yang terlipat empat, lalu mendekatkannya ke arahku.

“Aku harus jujur,” suaranya retak seperti ranting kemarau, “apa pun yang kutitipkan di tubuhmu bukan milik mereka yang telah mati ….”

Ia terdiam. Tangannya terayun pelan menyentuh tubuh kaca beningku dengan kelembutan yang begitu tenang. Dari mata tuanya, aku melihat sesuatu yang mencuat kuat: ketakutan-ketakutan.

“Itu semua milikku,” bisiknya.

Aku membeku. Angin berhenti. Bahkan kunang-kunang yang biasa berputar-putar di sekelilingku seakan kehilangan keberaniannya untuk bercahaya.

“Aku menitipkannya karena tidak sanggup lagi menanggungnya.” Suaranya pecah. “Utusan itu benar. Ia akan mencariku. Ia selalu mencariku.”

Pak O membuka lipatan kertas di tangannya. Isinya secarik tulisan serupa mantra atau mungkin doa-doa yang tidak bisa kubaca.

Akan tetapi, tiba-tiba tubuhku berdenyut-denyut. Ada sesuatu yang bergerak pelan, seperti akar yang mulai menjalari tanah gersang. Semakin lama semakin cepat dan liar. Aku merasakan panas, dingin, dan tekanan dari segala arah. Seolah-olah sesuatu yang selama ini mati terbangun kembali.

Pak O tersentak mundur sambil memegangi dadanya.

Dari kejauhan terdengar kepak ribuan sayap. Aku akhirnya memahami. Yang diselipkan Pak O ke dalam tubuhku bukan jiwa siapa pun, melainkan jiwanya sendiri, jiwa yang sudah terlalu lama ia ingkari, terlalu lama ia anggap mati.

Kaca di tubuhku bergetar hebat. Retakan-retakan tipis mulai bermunculan serupa urat yang merayap-rayap. Jiwa yang selama ini terkurung bukanlah sesuatu yang bisa dikendalikan.

Dengan satu entakan yang tidak terdengar, tubuhku pecah. Sesuatu yang tidak terlihat muncul, menciptakan gelombang besar dan menggerakkan apa-apa yang ada di sekeliling.

Pak O terhuyung-huyung sambil meremas dadanya, wajahnya terangkat ke langit. Untuk pertama kalinya sejak aku mengenalnya, matanya tidak lagi terlihat hampa.

Lalu tubuhnya roboh perlahan-lahan. Di atas tanah tempat ia terjatuh, aku melihat sesuatu yang tidak pernah kuharapkan: bayangannya menghilang lebih dahulu daripada tubuhnya.

Itu bukan kematian biasa, melainkan bentuk kepulangan yang dikutuk.

Kini aku tergeletak di tanah, pecahan tubuhku berkilat-kilat memantulkan cahaya fajar. Sang utusan kembali muncul di persimpangan.

“Sudah selesai.”

Namun, saat angin mengangkat debu-debu dari serpihan diriku, aku mendengar desis-desis halus yang berasal dari dalam retakan-retakanku sendiri.

Sesuatu masih tertinggal di sana. Sesuatu yang seharusnya ikut kembali kepada pemiliknya. Aku tidak tahu apa itu, tetapi aku tahu satu hal: aku tidak kosong lagi. Dan itu bukan pertanda baik.

Purworejo, 16 November 2025

 

Erlyna, perempuan sederhana penyuka dunia anak-anak dan hujan. Aktif mendalami tulisan surealisme. Bisa dihubungi lewat akun Facebook dengan nama yang sama.