Stalker

Stalker

Stalker
Oleh: Veronica Za

“Gila!” seru Bobby dengan wajah yang berbinar. Beberapa pasang mata tampak menoleh ke arah kami, penasaran. Suasana kantin jadi begitu hening.

“Ssst … kecilkan suaramu! Aku masih belum memberitahu siapa pun tentang hal ini. Aku ingin membuat surprise untuknya,” ucapku setengah berbisik.

Bobby mengangguk tanda setuju disertai senyuman khas miliknya yang bisa membuat gadis mana pun terpesona, kecuali aku tentunya. Gigi gingsulnya membuat senyum itu semakin manis serta otak encernya membuat dia menjadi salah satu bintang di kampus. Dan aku berbangga untuk itu, karena dia adalah sahabatku sejak kecil.

Hari ini, aku sedang bahagia. Pasalnya aku baru saja mendapat pekerjaan paruh waktu setelah mencoba melamar pekerjaan di beberapa tempat. Beasiswa yang kudapat dari kampus masih belum cukup untuk menunjang kehidupanku saat ini. Lalu apa yang membuat kami begitu antusias? Itu semua karena aku diterima di salah satu restoran ternama di Jakarta.

“Kapan mulai berkerja?” tanya Bobby sembari mengunyah bakso kesukaannya.

“Sore ini sepulang kuliah.”

“Berarti pulangnya malam?”

“Tentu saja,” jawabku singkat. Di mana-mana yang namanya restorant pasti tutup sampai malam hari. Bisa jadi jam sebelas malam aku baru bisa pulang ke rumah.

“Hati-hati kalau begitu!”

***

Aku menatap ngeri ke arah gang sempit yang menuju jalan ke rumahku. Jalan itu tampak begitu menyeramkan dengan minimnya lampu penerangan, bahkan ada beberapa lampu yang mati membuat sebagian jalannya terlihat gelap gulita.

Dengan sisa keberanian, aku melangkah dengan ragu-ragu. Restoran tutup pukul sepuluh, tetapi karena ada sedikit masalah sehingga membuatku pulang tengah malam begini. Bulu kudukku meremang tatkala langkahku mencapai bagian gelap jalan ini.

Aku tiba-tiba mendengar suara langkah lain di belakang. Perasaan takutku sedikit menguap karena setidaknya ada orang lain yang menemaniku melewati jalan ini. Aku berbalik dan terkejut. Tak ada siapa pun di sana. Aku yakin, suara itu tadi ada.

Udara malam ini begitu dingin menusuk hingga ke tulang. Aku mengencangkan jaket berharap bisa sedikit memberi kehangatan. Kembali aku dibuat takut saat mulai berjalan, kudengar suara langkah tadi. Kali ini aku tak berani menoleh apalagi berbalik. Langkah itu mengikuti ritme langkahku.

Aku mencoba berjalan senormal mungkin supaya tak terlihat jika saat ini aku ketakutan. Ingin berlari tapi aku ragu. Akhirnya, aku hanya memeluk erat ransel yang ada di dekapanku.

Aku teringat cerita Saskia—sahabatku—siang tadi. Dia melihat berita mengenai penjahat yang biasa mengungtit korbannya sebelum dia melakukan aksinya. Terlintas dalam benakku jika ada seseorang yang sedang menguntitku saat ini.

Aku mempercepat langkah. Sedikit lagi maka aku akan tiba di rumah. ketika di persimpangan jalan, aku berdoa semoga dia berlainan arah denganku. Sayangnya, ekor mataku menangkap sosok pria bertopi itu juga ikut berbelok ke arah yang sama.

“Bagaimana ini?” tanyaku dalam hati. Mataku mulai panas. Ketakutan mulai menjalar ke tubuhku menciptakan gigil yang berkesinambungan. Aku mulai menangis.

Tiba-tiba aku teringat seseorang. Bobby! Pasti dia bersedia menjemputku sekarang. Aku mengeluarkan handphone dengan perlahan dan segera menelepon Bobby yang juga tetanggaku itu. Terdengar nada sambung tapi tak diangkat.

“Apa dia sudah tidur?” pikirku. Tentu saja, ini kan sudah tengah malam! Aku kembali mempercepat langkahku berharap orang asing itu tertinggal jauh di belakang. Aku bergidik ngeri saat kusadari dia tetap mengikutiku.

“Sedikit lagi, Via. Sedikit lagi!” lirihku menguatkan diri sendiri.

Tak jauh lagi aku mencapai persimpangan yang akan membawaku sampai di rumah. Setelah itu, pasti dia berhenti mengikutiku karena di sana masih ada toko-toko yang buka 24 jam. Setidaknya dia tak akan berani macam-macam jika di tempat ramai.

Aku hampir saja berlari saat merasakan sosok itu hanya berjarak beberapa meter di belakangku. Begitu dekat. Hingga rasanya aku sudah tak lagi bisa menghindar jika dia menyerangku. Air mataku mengalir deras tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Aku takut!

Beberapa langkah lagi mendekati persimpangan, tiba-tiba aku berlari kencang. Entah kekuatan dari mana tapi aku tak peduli. Aku hanya merasa sosok itu juga berlari.

Dugh!

Aku menabrak seseorang saat berbelok, kami jatuh terduduk. Mataku terpejam. Rasa takutku mencapai batasnya. Aku menangis.

“Kamu tidak apa-apa, Via?” sebuah suara yang kukenal tengah bertanya padaku. Sontak aku membuka mata dan memeluknya erat.

“Bobby!” Aku hanya bisa menangis sambil memeluknya.

Aku memberanikan diri melihat gang sempit di belakangku. Tak ada siapa pun di sana. Mataku menyapu gang sempit dan gelap itu mencari sosok yang sedari tadi mengikutiku. Nihil.

“Kamu mencari apa?” tanya Bobby yang keheranan.

“Itu … tadi ada yang mengikutiku. Apa kamu tidak melihatnya?”

“Tidak ada siapa pun di belakangmu.”

Aku yakin dengan kehadiran penguntit itu tapi aku juga bingung mendapati sosoknya yang menghilang saat ini.

“Mungkin itu hanya perasaanmu. Makanya besok jangan pulang terlalu malam. Besok aku akan menjemput kamu,” ucap Bobby yang kusambut dengan anggukan. Ia mengajakku pulang sambil menggenggam erat jemariku yang masih gemetar.

“Mungkin aku akan berhenti saja dari restoran,” batinku. Aku yakin sosok tadi nyata.

Entah benar atau hanya perasaanku saja, tapi aku melirik takut ke arah pohon jambu yang ada di sudut gang. Sangat gelap. Namun, ada siluet seseorang yang bersembunyi di sana. Aku menggenggam erat jemari Bobby.

Semoga aku salah!(*)

Veronica Za, seorang karyawati yang mempunyai hobi menulis.
FB: Veronica Za
Email : veronica160.vkgmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata