Soto Langganan Bapak

Soto Langganan Bapak

Soto Langganan Bapak
Oleh : Dhilaziya

Januari sudah mencapai sepertiga akhir umurnya, tapi hujan belum juga datang sesering biasanya di bulan yang sama. Tanah masih sama tandusnya seperti bulan lalu, ketika rumput pun enggan bertumbuh. Hujan yang sesekali, dengan curahnya yang tak mampu membuat lapisan tanah di bawah humus basah, justru membuat hawa pascahujan kian gerah.

Di kantor, cuaca terik menyumbang keletihan lebih besar dari beban kerja. Siapa pun yang datang, selalu dengan raut wajah seolah senyum tak pernah singgah. Menyurukkan badan di bangku, lantas diam, membiarkan embusan sejuk air conditioner membelai mengalirkan kesejukan. Meski palsu dan sementara.

Jika bukan sangat terpaksa dan harus, aku takkan sudi beranjak keluar kantor. Mengukuhkan perjanjian dengan seseorang perihal pembiayaan usaha miliknya dengan pihak bank. Sialnya, nasabah yang kutahu telah tiga kali memperbarui pinjamannya, hanya mau jika berurusan denganku. Maka semua pihak yang bersinggungan dengan pembiayaan miliknya kompak berusaha mewujudkan maunya. Mengacungkan telunjuk, padaku.

“Makan siang di mana kita?”

Mbak Ninik yang bertanya. Rekan kerja yang sama-sama lajang, hanya saja dia dua puluh tahun lebih dulu lahir dariku. Aku suka bekerja bersamanya. Teliti dan sistematis, juga tak banyak basa-basi, sekaligus santun saat berbicara.

Aku tak langsung menjawab pertanyaan Mbak Ninik. Yang kami datangi adalah kantor cabang baru, jadi kami sama-sama belum mengenal tempat ini. Tak mau ambil risiko, aku memilih bertanya pada satpam yang membukakan pintu keluar untuk kami.

“Ada soto enak, Mbak. Nggak jauh. Arah kiri, lampu merah kedua, ambil kanan, kiri jalan. Persis depan kantor pajak. Warungnya kecil, tapi rasanya dijamin memuaskan.”

Tak punya pilihan, aku dan Mbak Ninik sepakat mendatangi tempat yang direkomendasikan. Soto dengan banyak sambal sepertinya akan sangat lezat disantap dalam situasi seperti sekarang.

Saat aku tiba, sebuah kenangan mengusikku. Kurasa aku pernah mendatangi tempat ini bersama Bapak, saat menemaninya melaporkan pajak. Sebuah warung berdinding papan yang dicat dengan warna putih. Di bagian atas, sebatas pinggang orang dewasa, papan-papan itu tidak dipasang melintang, melainkan tegak dengan jarak antarpapan berkisar sepuluh sentimeter. Sehingga meski tak terdapat jendela di seluruh bangunan warung ini, udara di dalam tak terasa pengap.

Aroma aneka rempah yang merupakan bumbu khas soto segera menyambutku. Aku suka. Menurut penciumanku, bumbu yang direbus bersama kuah sotonya bukan bumbu instan seperti yang biasa digunkan oleh banyak orang sekarang ini, melainkan bumbu yang diracik dan diulek. Bumbu instan, bumbu yang diblender, dan bumbu yang diulek, akan menghasilkan cita rasa masakan yang berbeda. Akhirnya aku ingat mengapa dulu aku dan Bapak memilih mendatangi tempat ini, aroma soto yang menguarlah yang mengundang langkah kaki kami.

Bapak, sebagai penyuka menu-menu tradisional dengan penyajian yang juga sederhana, memuji kelezatan soto di warung ini. Aneka menu pelengkap tersedia di sini. Tahu dan tempe bacem, jeroan ayam yang digoreng menyatu antara hati ampela dan usus sekaligus, juga emping dan beraneka macam kerupuk berjajar menggoda pelanggan untuk menambah menu makan mereka.

Seingatku, setelah kali pertama bersambang denganku kala itu, Bapak beberapa kali sempat mampir ke warung ini. Aku tahu karena setiap kali singgah, Bapak akan membelikanku juga. Dibungkus dengan memisahkan isian soto dan kuahnya agar bisa dididihkan kembali sebelum disantap. Selain rasa masakannya, ada hal lain yang membuat Bapak betah, keramahan dan kesopanan penjualnya.

Seorang wanita setengah baya, dengan baju batik terusan bermotif bunga kecil-kecil. Dulu begitu penampilannya saat aku pertama kali melihatnya, sekarang pun tetap sama. Caranya bicara lembut, santun sekali menyapa setiap pelanggan. Dengan bahasa Jawa halus, dia seolah hafal dengan siapa saja yang datang. Tawanya renyah berderai meningkahi percakapan-percakapan kecil mereka. Tawa yang menurutku mampu menghilangkan penat bagi lawan bicara. Beberapa pelanggan yang duduk, kebanyakan karyawan dari kantor di sekitaran warungnya. Juga pedagang atau sales yang dibelit lapar dalam perjalanan. Seorang pria muda, hilir-mudik mengantarkan pesanan atau membersihkan meja. Tidak banyak bicara, tetapi cukup ramah melayani pembeli.

“Saya minta dua porsi, dibungkus, ndak pake kecap ya, Bu.” Seorang perempuan yang baru datang, kutaksir berusia di atas tiga puluh, menyebutkan pesanannya. “Anak-anak saya ndak suka kecap.”

Perempuan tadi mengimbuhkan, yang lantas diiyakan. Rupanya pelanggan yang satu ini gemar mengobrol. Segera saja dia terlibat omong-omong tentang apa saja dengan pemilik warung. Tentang dua anaknya yang sering seenaknya dalam mengerjakan tugas online, tapi dia tidak berdaya memaksa, soal kepalanya yang lebih sering sakit semenjak pandemi, soal suaminya yang mengingatkan agar bersyukur sebab tidak ikut di-PHK, juga soal harga cabai yang sedang murah-murahnya. Ibu warung membenarkan nasihat suami si pelanggan, lantas menceritakan anak lelakinya yang terpaksa pulang kampung setelah dirumahkan dan ikut membantunya berjualan.

Pesananku datang. Uap kuah soto yang mengepul, dengan aromanya yang sungguh merangsang terbit air liur, diletakkan dengan hati-hati di depanku. Aku segera meraih irisan jeruk nipis, memerasnya perlahan, lalu mencicip kuahnya. Aku berdecap perlahan, nikmat sekali. Bergegas tanganku meraih wadah sambal, dua sendok penuh sepertinya akan membuat makan siangku sempurna.

“Maaf, ya, ini lama nunggu, punya Mbak e pake kecap ndak, ya? Lupa saya jadinya.” Ibu warung bertanya kepada perempuan beranak dua yang bercakap dengannya sejak tadi.

Lak mau wes kondho, ora nganggo kecap! Ngono kok takon wae (Tadi kan udah bilang, enggak pake kecap! Gitu aja nanya mulu)!

Tanganku terhenti dari menyendok sambal, aku menoleh ke arah pria yang sedang menatap ibunya dengan pandangan garang dan mimik muka keras seolah sesuatu telah sangat menggusarkannya. Kualihkan pandanganku pada si ibu dan melihat lenyapnya semringah pada wajahnya, laparku ikut lesap.(*)

#DZ. 17062020

Dhilaziya.
Perempuan penyuka sunyi, bunga buku, dan lagu.

Editor : Uzwah Anna

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply