Sosok Lain di Hati Bram

Sosok Lain di Hati Bram

Sosok Lain di Hati Bram

Aku menyajikan masakan yang baru matang di atas meja. Menata dua buah piring lengkap dengan sendok dan garpu, juga segelas air minum yang kuletakkan di sebelahnya. Setelah itu kembali ke dapur untuk mengambil buah yang tersimpan di dalam kulkas, dan sejurus kemudian kami siap menikmati makan malam.

Seperti biasa, ia sudah duduk manis ketika aku mengambilkannya sepiring nasi hangat. Menambahkan beberapa lauk yang ia suka, lantas kami menyantap apa yang sudah tersaji tanpa banyak mengobrol. Bukan semata-mata untuk menjaga etika saat makan, melainkan juga karena beberapa keadaan sudah tak sama seperti dulu.

“Hm … ini benar-benar lezat,” ucapnya dengan mulut yang penuh dengan makanan. Aku tersenyum, lalu menyantap lagi buah yang sudah kukupas tadi. Sesekali mengalihkan pandangan saat ia menatapku.

Usai meneguk segelas air minum, lelaki bernama Bram itu kembali melemparkan pandangannya ke arahku. “Apa aku boleh meminta sesuatu?”

“Tentu.”

“Bisakah kau buatkan aku masakan seperti ini lagi besok?”

“Kau menyukainya?”

“Ya.”

Ia menatapku dengan senyum yang mengembang. Sementara itu aku hanya  membalasnya dengan anggukan kepala. Tak lama kemudian, aku bangun dari tempat duduk dengan membawa piring kotor di tangan. Berniat untuk mencucinya dan melanjutkan kembali pekerjaan rumah yang sempat tertunda.

Hari ini memang banyak yang harus kukerjakan. Setelah dua hari terbaring lemah karena sakit, aku tidak punya cukup tenaga untuk mengerjakan semuanya.

“Kau baik-baik saja, kan?”

Aku menghentikan langkah usai mendengar ucapannya. Saat itu aku sudah tak sanggup lagi menyembunyikan perasaanku. Ia mendekat, tapi sebelum tangannya berhasil menyentuhku, gelas di meja terjatuh begitu saja. Seketika kami saling menjauh agar terhindar dari pecahan gelas yang berserakan di lantai, dan karena khawatir bisa melukai kaki, aku bergegas membersihkannya.

“Aw!” jeritku menahan sakit. Bram yang terlihat cemas langsung menjongkokkan badan lantas memegang jariku dan mengisapnya perlahan, mencoba menghentikan darah yang keluar sebab terkena pecahan yang tajam itu. Di saat yang sama jantungku berdebar tak karuan.

Aku menghela napas. Sekuat hati menahan emosi yang hendak keluar ketika kenangan indah di antara kami muncul lagi. Aku hanya berusaha untuk tidak menangis di hadapannya, tidak untuk saat ini.

Setelah membersihkan lantai, aku kembali ke dapur. Mencuci peralatan memasak yang kotor dan menaruhnya di tempat semula sebelum aku menggunakannya. Tak lama berselang, ia menghampiriku dengan kantong kresek yang ia bawa. Dengan penuh kehati-hatian ia mengeluarkan satu per satu isi dari kantong itu, lalu memasukkannya ke dalam wadah yang sudah tersedia.

Sekarang ia melakukannya dengan benar, memasukkan semua bumbu sesuai nama yang kutuliskan di permukaan wadahnya. Seharusnya hal ini membuatku senang, tapi entah mengapa aku justru semakin merasa sedih. Terlebih saat ia membaca semua catatan kecil yang kutempelkan di sisi kulkas.

“Kau ini pelupa, ya?” ucapnya sambil tertawa kecil.

Aku tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Sedangkan ia masih terus berbicara, menanyakan berbagai hal yang membuatku semakin terluka.

“Istirahatlah,” ujarku menyela perkataannya. “Aku tidak ingin kau terlalu lelah.”

Bram mengernyitkan dahi dan tampak bingung dengan maksud ucapanku. Aku yang tak ingin ambil pusing dengan keadaan tersebut, lebih memilih untuk pergi. Namun baru saja melangkahkan kaki, kenyataan yang lebih menyakitkan terjadi.

“Jadi, kapan kau akan mengantarku pulang?” Aku tercekat mendengarnya. “Aku tidak mungkin tinggal di sini terus, bukan?”

Aku membalikkan badan lalu menatap wajahnya lekat-lekat. Di saat itu pula aku bisa mengetahui bahwa ia tidak sedang bercanda.

“I—ini rumahmu, jadi untuk apa…,” ucapku dengan isak yang tertahan. Di detik berikutnya—saat ia masih tertegun sambil menatapku, aku sudah meneteskan air mata. Dan ketika ia hendak mengatakan sesuatu, aku telah lebih dulu memeluknya untuk menumpahkan semua kesedihan yang telah kurasakan selama ini.

Sesak. Rasanya sangat sulit untuk bernapas apalagi berucap. Karena itulah aku hanya bisa menangis sambil memeluknya lebih erat.

“Aku mencintaimu,” bisikku dalam hati. “Jadi, kumohon jangan lupakan aku.”

Bram mengelus pelan rambutku. Berulang kali membisikkan kata maaf karena telah membuatku sedih. Aku tidak pernah menyangka jika penyakit yang ia alami memburuk secepat ini, tapi yang jelas ia tidak mengenalku lagi. Alzheimer telah merenggutnya dariku. Bram tidak hanya menjadi sosok yang asing, namun juga seseorang yang telah melupakan berbagai hal termasuk aku, istrinya.

Ya, aku tidak bisa memungkiri bahwa mengarungi kehidupan bersama orang yang kita cintai adalah sebuah kebahagiaan. Namun bagaimana, jika seiring waktu berjalan mereka tak mengingat lagi siapa kita. Bukan sementara, tapi untuk selamanya. Masihkah kita bahagia?(*)

Penulis: Trandira

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita