Smitten
Oleh: Diana Key
Persiapan bertemu dengan seseorang penghuni hati membuat Elena bersemangat. Sejak sore dia membayangkan akan bercerita tentang apa saja yang berhubungan dengan mereka berdua. Tentang sebuah rindu, setelah beberapa minggu sang gadis ditugaskan oleh kantor pusat tempatnya bekerja untuk menilik kantor cabang di beberapa kota.
Elena mengubah posisi kursi di ruang tamu. Entah mengapa, rasa bosan menunggu kedatangan Elang membuatnya ingin terus bekerja. Menunggu dalam diam sama dengan mati menurut Elena. Namun, jika mati itu karena jatuh cinta pada Elang, dia bersedia.
“Sory, aku terlambat–”
“Jangan bilang motormu macet lagi. Aku sudah bosan,” Elena memotong kalimat Elang ketika sudah saling berhadapan di pintu depan.
“Bukan. Aku … aku menabrak seorang bocah di jalan.” Elang menggeleng pelan. Sorot mata sayu membuat gadis berbaju kuning itu ragu.
“Beneran? Di mana?” Elena mulai merasa bersalah. Memasang wajah cemberut dan marah pada Elang tanpa bertanya.
“Em … iya, di jalan depan gedung balai kota.” Setelah diam beberapa saat, Elang melanjutkan. “Aku berusaha tidak terlambat lagi. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan hari ini juga. Malah kutinggalkan si Bos yang masih menyuruhku untuk tinggal. Dia akan memberi pekerjaan tambahan. Mana aku mau? Bertemu denganmu adalah hal yang lebih penting.” Elang menatap dalam-dalam tepat ke manik mata Elena. Tatapan yang meluluhkan dinding emosi sang gadis. Merayu untuk mendapatkan maaf, sekaligus melangkah masuk ruang tamu dan menutup pintu yang kini berada di balik punggungnya.
“Oh, thanks, Lang. Ayo duduk, aku buatkan minum dulu. Tabrakan itu pasti membuatmu haus.”
Elang mengangguk. Memasukkan tangan ke saku celana sebelum duduk. Memberi senyum termanis buat Elena. Tangannya menyentuh kertas kecil dalam kantong celana. Ia teringat. Nota dan kembalian dari kasir kafe buru-buru ia masukkan ke dalam saku. Elena berlalu, bayangan Gita melintas. Duduk menikmati secangkir cokelat panas di kafe bersamanya setengah jam yang lalu.
Elang kembali tersenyum.
***
Musik mengalun memenuhi setiap sudut supermarket. Pelanggan sudah mulai mengular di meja kasir. Beberapa tampak asyik memilih barang kebutuhan bersama teman atau pasangan. Dua anak kecil berlarian, berebut memasukkan botol susu di troli milik ibunya. Troli di hadapan Elena masih terisi dua barang, sekotak tisu dan sekaleng biskuit lemon. Kali ini dia hendak berpindah ke bagian perlengkapan kamar mandi. Persediaan sabun dan sampo sudah menipis.
Setelah melihat merek sabun yang biasa dipakai, tangannya terulur, mengambil beberapa batang. Sedetik kemudian telinganya mendengar suara di balik rak perlengkapan kamar mandi.
Elena mengenal betul suara yang membuatnya sering berdebar. Pun menuruti semua kemauan si empunya suara. Penat setelah seharian bekerja, akan segera sirna. Dengan riang dia mendekati Elang, pemilik suara di balik rak. Punggung sang pujaan hati sudah tampak. Langkah Elena terhenti ketika melihat seorang gadis memasukkan beberapa bungkus sayuran segar ke dalam troli. Dia mengucap sesuatu pada Elang sambil tersenyum. Tatapannya pada lelaki itu membuat dada Elena terasa terbakar.
Elang memegang troli dan mendorong pelan. Sementara Elena sibuk berpikir, memutuskan menyapa mereka atau tidak. Marah atau bertanya baik-baik. Jangan-jangan, dirinya yang selama ini tak tahu, bahwa Elang sudah menjadi milik orang lain.
“Hai!” Elena sengaja mendatangi Elang dari arah berlawanan. Mereka bertemu di bagian minuman kemasan.
Elang tercekat. Gadis di sebelahnya malah membalas sapaan Elena.
“Hai, teman Elang, ya? Kenalkan, Gita.” Tangannya terulur ke hadapan Elena yang menjawab sambil tersenyum.
“Teman kerja?”
“Eh, bukan. Kami pernah bertemu di acara workshop manajemen bisnis. Kebetulan sekarang kita bertemu lagi, ya. Kamu cantik.” Elena memuji. Sesekali matanya menatap Elang yang tampak kehilangan kata-kata.
“Kopi 99 biasanya kesukaan Elang.” Elena melempar senyum dan kedipan pada Elang saat melihat Gita memilih merek-merek kopi di sebelah kanannya. Sebelum ada jawaban, Elena melangkah menjauh.
***
Elena membanting ponsel di atas kasur. Malam minggu ini Elang terlambat untuk yang ke sekian kali. Meski iming-iming semur lidah kesukaannya sudah tersedia di rumahnya. Pertemuan di supermarket membuat Elang tak bisa mengelak. Setelah tiba di tempat parkir, Elena memintanya datang dan menjelaskan semuanya.
Awalnya Elang berbohong dengan mengatakan, bahwa Gita hanya sepupu. Kemudian berubah menjadi teman biasa. Akhirnya berganti lagi menjadi gadis yang menyukai Elang, tapi tidak sebaliknya. Elang tidak tega melihat Elena menahan jatuhnya air mata. Namun, janji-janji temu berikutnya dengan Elena menjadi terhambat karena ternyata Gita lebih menyita perhatian.
Elang mulai memikirkan untuk berhenti berkelana hati pada Gita. Foto di ponselnya bersama gadis-gadis lain mulai dihapus. Akan tetapi, bukan Elena. Elang harus bisa berbicara baik-baik sebab gadis itu bisa berbuat nekat.
Pernah satu malam Elena datang ke apartemen Elang karena telepon tidak diangkat sejak siang. Sementara di dalam apartemen ada Rosa, gadis yang dekat dengan Elang sebulan berjalan. Untung saja Elena percaya kalau lelaki pujaannya sedang tidak enak badan. Pertemuan singkat di ruang tamu sudah melegakan gadis berambut lurus sebahu itu. Rosa tak mendengar percakapan keduanya karena tertidur pulas di kamar Elang.
Suatu ketika, Elang melihat Elena menjadi kasar. Dia menendang Kitty–kucing peliharaannya, lantaran dimarahi bos di kantornya. Kucing berbulu putih itu menabrak tembok dan terkulai di lantai. Sesaat berikutnya melingkarkan tubuh, tak berani mendekati Elena.
Sekarang, jika kabar tentang Gita didengar Elena, dia takut Gita yang jadi sasarannya.
“Maaf, Elena. Bos tiba-tiba mengganggu weekend-ku. Telepon tak kunjung selesai.” Alasan Elang menderas saat melihat Elena cemberut.
“Dua jam!”
“I know! Sorry ….”
“Semur dan bistik sudah habis. Aku lapar.”
“Ayolah, Cantik. Aku tahu kamu masih belum menyentuh masakanmu karena menungguku.” Elang mencolek dagu Elena. Detik berikutnya mata Elang tertuju pada tas selempang di kursi tamu. Seperti bukan warna kesukaan Elena.
Elena segera beraksi, menyambar tas, melemparkan ke dalam kamar, dan segera melangkah ke arah dapur. Elang mengikuti sembari memikirkan Gita. Sejak semalam gadis itu susah sekali dihubungi. Ponsel tersambung, tapi tak ada jawaban. Sepuluh menit yang lalu operator menjawab, bahwa telepon yang dituju sudah berada di luar jangkauan. Entah kenapa kini dia merasa Gita sangat dekat.
Elang duduk di hadapan Elena. Semur lidah yang masih mengepul uapnya menerbitkan rasa lapar. Bistik berbalur saus juga tampak menggoda. Ingatannya melayang kembali pada Gita. Masih kemarin siang mereka menyantap bistik berdua.
“Jangan dipandangi aja, Lang. Ayo, makan! Daging kupilihkan yang spesial untukmu.” Elena tersenyum sambil mengangkat garpu di tangan kiri.
“Iya, Git. Eh, emm … Elena.” Elang kikuk karena salah sebut nama.
Elena terdiam, lalu beranjak untuk memainkan alunan love song dari mp3 player. Lagu Here’s Your Perfect dibawakan Jamie Miller mengalun. Biar saja makanan itu dingin, toh dia juga tak bakal mencicipnya. Masakan itu khusus untuk Elang.
Elena mengulurkan tangan agar Elang berdiri dan memeluknya. Mereka bergerak pelan mengikuti alunan musik.
Hatimu bukan untukku, Lang. Kalau aku tak bisa memilikimu, maka orang lain pun tidak boleh, batin Elena.
Sembari bergerak, mata Elena terpejam. Namun, tangannya bersiap meraih garpu. Elang memang harus bersatu dengan Gita. (*)
Lumajang, 15 Juni 2022
Diana Key lahir dan berdomisili di Lumajang-Jatim. Suka membaca novel dan menyesap kopi.
Editor: Zuhliyana