Sketsa-Sketsa Pembawa Petaka
Oleh : Erlyna
“Tolong! Beri aku petunjuk. Apa yang harus aku lakukan?”
***
Pagi ini, lelaki tua itu memilih kemeja kotak-kotak warna cokelat kusam dari lemari. Beberapa kancingnya sudah minggat entah ke mana, digantikan oleh peniti karatan yang ditemukan di antara sisa-sisa barang peninggalan sang istri.
Langkahnya berat, lebih berat dari karung-karung beras yang setiap hari dipanggulnya demi bisa menelan nasi. Ia berjalan menyusuri jalan setapak satu-satunya yang terhubung langsung menuju kota. Sebelum melangkah, lelaki tua itu tersenyum samar. Mulutnya komat-kamit—merapal doa.
Benar-benar ritual yang membosankan!
***
Aku tidak boleh menyerah, sekejam apa pun keadaan menampar. Tadi pagi, tubuh tua ini terbangun dengan pinggang nyeri luar biasa. Nyeri yang seolah-olah hendak memaksa tulang-tulang untuk berpindah tempat. Seketika baru teringat, semalaman tubuh ini berjalan cukup jauh demi bisa menghemat ongkos. Lumayan, jadi bisa menyisihkan dua lembar sepuluh ribuan dan memasukkannya ke dalam kaleng bekas biskuit yang ditemukan saat banjir.
Setelah memaksa otak karatan di kepala untuk berhitung, aku mulai mempunyai gambaran. Jika bisa menyisihkan dua lembar kertas berwarna kemerahan yang sama setiap harinya, paling tidak tahun depan bisa memenuhi mimpi Nana. Sudah lama sekali dia ingin membeli sepeda. Kemarin, sudah kutanyai rekan di pasar mengenai harganya.
***
Sosok itu menjauh … jauh dan semakin jauh, sebelum akhirnya hilang ditelan tikungan. Aku melirik jam di dinding yang jarum detiknya sudah berpindah tempat dan lupa kembali. Jarum pendeknya bergetar pelan, menunjuk angka tujuh. Astaga! Aku hampir terlambat.
Buru-buru kubereskan lembaran-lembaran kertas di atas meja, lalu memasukkannya ke dalam ransel hitam. Sepasang mataku menjengit, teringat bos besar sangat membenci orang yang menyia-nyiakan waktu.
Namun, sepertinya keberuntungan sedang berputar-putar di sekitarku. Selain bisa datang tepat waktu, hari ini bos besar tengah mengunjungi keluarganya di luar kota. Lega sekali rasanya. Paling tidak, bisa sedikit bersantai sambil menyelesaikan lembaran-lembaran kertas yang kubawa dari rumah.
“Jangan lupa untuk menutup toko dengan benar, lalu simpan baik-baik hasil penjualan hari ini!”
Pesan bos saat menelepon masih terngiang-ngiang di kepala. Pesan yang seharusnya diingat dan laksanakan dengan baik itu, ternyata menjadi firasat sebuah petaka. Sepertinya, keberuntungan hari ini juga menyelipkan kesialan diam-diam. Menyebalkan!
***
“Hei! Bisakah kau bekerja lebih cepat lagi? Jika sudah tidak sanggup, berhenti saja!”
Lagi, teriakan dengan suara berat itu menusuk-nusuk telinga untuk ke sekian kalinya. Aku paksa tubuh tua ini untuk bertahan. Demi langit dan bumi, jangan sampai pekerjaan yang didapat dengan payah ini juga harus kutinggalkan.
“Maaf, Tuan. Saya akan lebih berusaha.” Kubungkukkan badan serendah mungkin, berharap kata maaf darinya.
“Pak tua, bangunlah! Apa yang sedang Anda lakukan?” Entah datang dari mana, seorang pemuda tiba-tiba sudah berdiri tepat di hadapanku. Tangannya menggenggam secarik kertas yang bertuliskan entah apa.
“Anak muda, kamu siapa? Kenapa kamu bisa ada di sini?”
“Seharusnya saya yang bertanya. Apa yang sedang Anda lakukan, Pak? Saya sedang berdiri mencocokkan alamat saat Anda tiba-tiba mendekat sambil membungkukkan badan.”
Ah, begitu rupanya. Ternyata tubuh ini benar-benar menua dengan cepat. Tidak heran jika gadis pendiam itu selalu menatap dengan pandangan aneh setiap pagi.
“Pak? Anda baik-baik saja, kan?”
“Ah! Ya, tentu saja. Saya selalu baik-baik saja.”
***
Aku baru saja selesai salat saat asap memenuhi ruangan pertokoan. Sumber api sepertinya berasal dari lantai satu, tempat restoran sea food yang selalu ramai oleh pembeli. Si jago merah itu merambat naik dengan cepat. Mulai menjilat gorden, lemari kayu tempat menyimpan koleksi kopi langka milik bos, dan juga meja kecil di sudut ruangan, tempat semua kertas-kertas berhargaku tergeletak pasrah.
“Awas! Jangan mendekat!” Sebuah tangan tidak dikenal tiba-tiba menarik tubuh menjauh dari kobaran api. Aku berontak sekuat tenaga.
“Jangan ke sana! Anda akan terbakar!”
Aku menoleh sekilas demi mendengar suara laki-laki asing barusan. Wajahnya penuh peluh dengan pandangan mata yang terasa familier. Belum sempat memastikan siapa dia, tubuh ini telanjur pingsan.
***
Tubuh tua ini berjalan sambil menghitung lembaran-lembaran kertas kusut yang tadi dijejalkan Tuan Tong ke saku celana.
Tiga puluh lima ribu rupiah. Syukurlah, setelah berhari-hari hanya makan dengan tempe setipis silet, hari ini bisa membelikan gadis pendiam itu nasi dengan sepotong ayam yang diselimuti tepung renyah.
Entah apa alasannya, mendadak teringat akan pemuda yang tadi disangka sebagai Tuan Tong. Pemuda itu sedang mencari sebuah rumah berbekal alamat di sobekan kertas yang dibawanya.
“Jalan Senopati, Pak. Toko yang menjual buku-buku lama. Anda tahu itu di mana?”
Seingatku, di kota ini hanya ada satu toko yang menjual buku-buku yang sudah tidak terbit lagi. Meski tidak ingat nama jalannya, tapi ingatan ini yakin betul itu adalah tempat gadis pendiam bekerja.
Ah, semoga saja aku menunjukkan alamat yang benar.
***
Di mana ini? Mengapa semua serba putih dan … uh! Aroma menyengat apa ini?”
“Anda sudah sadar?” Aku tersentak pelan. Di sampin kiri, seorang laki-laki duduk menghadap ranjang.
“Siapa? Siapa kamu?”
“Antoni. Saya pemilik sebenarnya toko tempat Anda bekerja.”
“Hah? Pemilik sebenarnya? Maksudnya orang ini ….”
Laki-laki itu bangkit. Mengambil ranselnya, lalu berjalan menuju pintu. “Istirahatlah. Saya akan mengurus administrasi perawatan Anda.”
Aku termenung di atas ranjang. Mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi hingga berakhir di rumah sakit. Namun, semakin dipikir, kepala terasa semakin berat dan nyeri. Ditambah lagi aroma obat-obatan yang begitu menusuk. Membuat mual.
“Anda butuh sesuatu?” Antoni—lelaki yang membawaku ke sini—masuk kembali ke kamar perawatan. Ia membawa parsel berisi buah-buahan, lalu meletakkannya di atas meja.
“Maaf. Anda punya keluarga yang harus dihubungi? Saya ingin memastikan bahwa saya tidak membuat orang lain cemas karena membawa Anda kemari.”
Aku mengangkat wajah sebentar, berusaha sekuat tenaga untuk menahan nyeri di kepala.
“Ada. Boleh pinjam ponsel?”
***
Langit mengubah warnanya dengan begitu tergesa. Untuk ke sekian kali, kulirik ujung setapak yang hampir ditelan malam. Kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana. Apa yang terjadi? Mengapa gadis pendiam itu belum juga kembali?
Perdebatan batin terhenti saat mendengar suara ketukan pintu. Tegas dan cepat. Siapa yang bertamu pada jam-jam seperti ini?
“Pak Dul? Silakan masuk, Pak.”
“Ah, tidak perlu. Saya datang hanya untuk menyampaikan kabar. Nana sekarang berada di rumah sakit.”
“Rumah sakit? Maksud Pak Dul Nana pindah kerja di rumah sakit? Begitu?”
“Bukan. Katanya, toko tempat Nana bekerja kebakaran. Dia ada di rumah sakit sekarang.”
“Oh, begitu. Eh, tunggu sebentar. Kebakaran? Tempat kerja Nana kebakaran? Astagfirullah ….”
“Benar, Pak. Kalau Bapak mau menjenguk Nana, datanglah ke rumah sehabis salat Magrib. Saya antar ke sana. Kebetulan saya ada rapat di rumah Pak Camat. Bagaimana?”
“Tentu! Tentu saja, Pak Dul. Saya ikut ke sana.”
“Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu.”
***
“Terima kasih,” ucapku pelan sambil menyerahkan ponsel. Laki-laki itu duduk kembali di samping ranjang, tangannya mengupas apel.
Diam-diam kupandangi wajahnya yang bersih dengan alis tebal. Sesaat dahiku berkerut, berusaha mengingat-ingat sesuatu.
“Orang ini ….”
“Kenapa? Anda butuh sesuatu?” Tiba-tiba laki-laki itu menoleh saat aku sedang memperhatikannya.
“Itu … kertas-kertas di atas meja, apakah kamu menyelamatkannya?”
“Maksud Anda sketsa-sketsa ini?” Mata yang tadi sayu, berbinar-binar saat laki-laki itu mengeluarkan lembaran-lembaran kertas dari ranselnya.
“Ah, iya. Terima kasih sudah menyelamatkan ini.”
“Jadi, siapa Anda sebenarnya?”
“Emmm, maksudnya?”
“Anda menggambar sketsa wajah saya dengan sangat baik. Dari mana Anda menemukan foto saya? Bukankah kita baru pertama kali bertemu?”
Deg!
Saat itu juga dunia seperti berhenti berputar. Aku tercekat, menyadari sesuatu. Pantas saja laki-laki ini terasa sangat familier.
“Ah, itu … hanya menggambar secara asal.” Tiba-tiba laki-laki itu bangkit dari duduk dan mendekat ke arahku. Dekat … dekat sekali.
“Tunggu! Apa yang akan kamu lakukan?”
“Apakah Anda mengetahui rahasia-rahasia saya?”
Aku menggeleng cepat. Wajah laki-laki itu dekat sekali. Aku bahkan bisa merasakan embusan napas yang keluar dari hidungnya.
“Lalu, kenapa sketsa-sketsa lain di kertas ini sama persis dengan orang-orang yang saya kenal?”
“Sungguh! Aku tidak tahu apa pun. Aku menggambar orang-orang itu, karena mereka terus datang ke mimpiku … untuk minta tolong.”
“Tepat!” Tiba-tiba wajah laki-laki itu menyeringai. Memperlihatkan aura yang berbeda sekali.
“Jadi, kamu adalah ….”
“Anda adalah target saya selanjutnya!”
***
Aku berdiri di ambang pintu dengan tubuh gemetar. Di dalam ruangan, gadis pendiam itu sedang bercakap-cakap dengan seorang laki-laki yang tadi kutemui saat dirinya bertanya alamat. Namun, ada yang aneh dengan laki-laki itu, entah apa. Auranya terasa begitu panas bagi kulit tuaku. Akan tetapi, sebelum sempat bertindak, laki-laki itu telah mendekati Nana—gadis pendiamku yang jelita, bermata sayu karena kurang tidur akibat sering mimpi buruk.
Belum sempat tubuh tua ini melakukan sesuatu, sebuah kabut tiba-tiba memenuhi pandangan. Entah apa yang salah. Mata tua ini, atau keadaan Nana yang sedang dalam bahaya. Apa pun itu, seseorang … datanglah!
“Tolong! Beri aku petunjuk. Apa yang harus aku lakukan untuk menyelamatkan Nana, putriku?”(*)
Purworejo, 13 November 2019
Erlyna, perempuan sederhana yang menyukai dunia anak-anak. Suka menulis dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata