Skenario Masa Depan ala Saintis (Hidup Abadi dan Mesin Waktu)

Skenario Masa Depan ala Saintis (Hidup Abadi dan Mesin Waktu)

Skenario Masa Depan ala Saintis (Hidup Abadi dan Mesin Waktu)

Pernahkah kalian membayangkan apa yang akan terjadi 10 tahun atau bahkan satu abad dari sekarang?

Pada masa kecil, saya selalu dibayang-bayangi oleh kartun Doraemon yang menggambarkan dunia masa depan yang sangat canggih—ketika hidup cukup dengan pil dan aktivitas sehari-hari lebih banyak dikerjakan robot. Oleh karena itu, pemikiran saya tentang masa depan tidak pernah jauh-jauh dari itu. Meskipun pada kenyataannya, saya tidak pernah benar-benar serius memikirkan masa depan umat manusia. Lagi pula siapa orang yang cukup gila untuk memikirkannya. Sampai suatu ketika para saintis menunjukkannya kepada saya. Berikut ini adalah skenario masa depan umat manusia ala mereka.

Immortality

Saya pernah iseng-iseng membuat daftar beberapa sebab musabab kematian. Ada yang meninggal karena fungsi tubuhnya telah menua, kecelakaan lalu lintas, bencana alam, ada pula yang meninggal karena kejadian-kejadian tak terduga—misalnya terpeleset kulit pisang—dan kematian yang dipilihnya sendiri alias bunuh diri.

Dari sejumlah cara tersebut—sejauh yang saya dengar—orang-orang membaginya ke dalam dua kategori, yakni kematian karena faktor human error dan takdir.

Contoh faktor yang pertama misalnya kecelakaan pesawat. Saya sering mendengar komentar begini, bahwa ini salah manusianya dan sebenarnya bisa dihindari. Namun, komentar ini selalu terdengar ganjil bagi saya.

Bagaimana pula cara menghindari kematian? Bagaimana kita akan tahu kalau beberapa jam kemudian pesawat yang kita tumpangi mengalami gagal mesin—entah hasil perbuatan siapa pun itu.

Ketika terjadinya kecelakaan dan banyak nyawa melayang, tidak ada satu cara pun yang dapat ditempuh untuk mengembalikan nyawa orang-orang yang telah tiada. Memperbaiki kesalahan yang terlanjur dibuat pun hanyalah untuk menghindari tragedi serupa. Oleh karena itu, saya lebih menyukai konsep bahwa tragedi itu—apa pun bentuknya, memberikan kita pelajaran. Dan perihal kematian, entah ia datang dengan cara apa pun, ia seperti bayangan—dekat dan dapat menerkam kapan saja. Kira-kira beginilah mindset yang sudah mengakar di pikiran saya bertahun-tahun.

Setelah melihat kemajuan teknologi kedokteran dewasa ini—seperti transplantasi organ, stem cell dan sebagainya—saya tergoda untuk bertanya bagaimana jika setiap bagian yang rusak dari tubuh seseorang dapat diganti. Bagaimana jika dengan semakin majunya peradaban, teknologi otomotif yang dibuat manusia dapat menjamin keselamatan penggunanya, teknologi pendeteksi bencana alam dapat selalu memprediksi secara akurat dan cepat, teknologi robotik yang barangkali berupa chip yang ditanamkan di otak kita—atau sekadar robot pelindung—dapat menghindarkan manusia dari peristiwa-peristiwa tak terduga sehari-hari.

Bagaimana jika manusia selalu memiliki harapan hidup yang besar, apakah itu berarti jadwal kematian secara otomatis dapat ditunda?

Para saintis berpikir bahwa mereka dapat mewujudkan ini semua di masa depan. Pertama, jika selama ini organ yang ditransplantasi adalah milik seseorang—dengan risiko ketidaktersediaan dan penolakan, kini mereka mengembangkan teknologi untuk membuat organ dengan sel tubuh orang itu sendiri, sehingga tidak akan ada risiko penolakan dari tubuh. Bayangkan jika kelak ada sebuah tempat untuk mem-print organ seperti jantung, paru-paru, bahkan mungkin otak.

Kedua, teknologi lalu lintas teranyar saat ini adalah mobil yang dapat menyetir sendiri dan dilengkapi dengan perangkat keselamatan dan sensor antitabrakan. Teknologi ini tentu saja dapat meminimalkan terjadinya kecelakaan kendaraan.

Ketiga, teknologi pendeteksi bencana seperti buoy yang dapat memberikan peringatan kepada kita tentang bencana yang akan terjadi, sehingga kita jadi punya waktu untuk menghindar dan menyelamatkan diri.

Keempat, teknologi robotik yang sudah sampai tahap pembuatan chip yang dapat ditanam di bagian-bagian tubuh manusia untuk menunjang fungsi organ tubuh. Jika pencapaian yang dibuat manusia sudah sejauh ini, bayangkan apa yang dapat diwujudkan manusia nantinya?

Sampai di sini, semuanya terdengar menarik bukan? Semuanya tersusun menjadi skenario menghindari kematian yang sempurna. Katakanlah hal ini dapat terjadi di kemudian hari, permasalahan berikutnya yang akan kita hadapi adalah ledakan penduduk.

Karena itu, kita akan lanjut ke skenario berikutnya.

Time and space travel

Sejak bertahun-tahun lalu para saintis memperdebatkan tentang akhir dunia.

Bersandarkan pada teori penciptaan semesta yang disepakati, yaitu big bang, semesta bermula dari sebuah titik, hingga terjadi sebuah ledakan besar yang kemudian membuat semesta memuai. Sebagian dari saintis pun berasumsi bahwa pada suatu saat nanti, semesta—bisa jadi—akan berhenti memuai dan sebagai dampaknya, ia akan membeku. Sebagian yang lain mengatakan bahwa pergerakan semesta akan berbalik arah, ia akan kembali menjadi sebuah titik. Sebagai dampaknya, ia akan semakin panas dan membakar dirinya sendiri.

Seiring berjalannya waktu, teori teranyar yang diajukann para saintis adalah konsep multiverse, bukan lagi universe—yang berarti semesta itu lebih dari satu. Jadi, andai di bumi terjadi ledakan penduduk maka solusi yang ditawarkan adalah mencari semesta yang baru untuk ditinggali.

Bagaimana mungkin?

Solusi ini didorong oleh beberapa penemuan:

  1. Ditemukannya partikel Tuhan (higgs boson) beberapa tahun silam, tepatnya pada Selasa, 3 Juli 2012, yang menjadi tonggak sejarah perkembangan fisika partikel.
  2. Ditemukannya bukti keberadaan gelombang gravitasi yang juga menjawab teka-teki tentang blackhole atau lubang hitam hingga konsep ruang dan waktu.

Kedua penemuan tersebut makin mengukuhkan teori-teori Einstein termasuk juga kemungkinan untuk menjelajahi waktu.

Krauss mengatakan bahwa jika medan partikel higgs-boson dimanipulasi dalam area yang besar sehingga memiliki energi, akan terjadi energi gravitasi yang repulsif. Akibatnya, benda-benda di alam semesta ini akan bergerak lebih cepat dari cahaya.

Seorang professor bernama Frank Tipler mempublikasikan sebuah jurnal tentang cara membuat mesin waktu. Jurnal tersebut berjudul Tipler Cylinder, yang telah dipublikasikan pada tahun 1974 . Mesin ini mampu membawa kita ke masa lalu.

Untuk membuat mesin waktu menurut Tipler, yang pertama dilakukan adalah membuat silinder yang sangat besar, kira-kira berdiameter 100 kilometer. Silinder ini pun harus memiliki massa yang sangat besar, dan sangat padat.

Jika sudah terpenuhi, silinder tersebut harus berputar dengan sangat cepat, hingga mampu mengganggu susunan ruang dan waktu. Jika hal ini sudah terpenuhi, maka gelombang gravitasi akan muncul. Teorinya, jika ada seseorang yang mampu mengikuti putaran dari silinder ini, ia akan masuk ke masa lalu karena waktu yang berjalan maju, akan berjalan mundur di sana. Semakin lama seseorang mengikuti rotasi silinder, maka semakin jauh ia akan mundur bersama waktu.

Dengan semakin berkembangnya teknologi, saat ini para saintis juga sedang memikirkan kemungkinan untuk menemukan hunian baru. Sebagai langkah awal, mereka sedang mempersiapkan ekspedisi ke Mars—sebuah proyek untuk bermukim di sana. Bukan lagi hewan melainkan manusia. Proyek ini, master plan-nya dirancang oleh Buzz Aldrin, ditargetkan bakal terealisasi pada tahun 2039.

Jadi, mari kita tunggu saja. Jika beberapa dekade ke depan manusia benar-benar bisa mewujudkan semua ambisi itu, kita pun tak lagi ragu bahwa istilah “penjelajah waktu” dan “penjelajah ruang” akan benar-benar ada—dan barangkali kitalah salah satunya dari mereka.

Bagaimana menurut kalian dua skenario di atas? Apakah kalian tertarik menjadi manusia abadi? Ataupun pergi ke masa lalu dan tinggal di Mars?(*)

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita

Leave a Reply