Sisi Lain Diandra

Sisi Lain Diandra

Oleh: Cici Ramadhani

Mimpi buruk itu terus dan terus hadir, tak pernah lagi kurasakan nikmatnya tidur. Mimpi itu seolah nyata, pria-pria itu menggagahi seluruh tubuhku berulang-ulang. Empat tahun berlalu, nyatanya tak cukup menghilangkan trauma di hidupku. Walau orangtuaku sudah membawaku ke psikiater, meminum segala obat penenang, bayangan itu terus menghantuiku. Siapa sangka di balik paras tenang ini, aku menyimpan luka teramat dalam: pemerkosaan oleh lima orang tak di kenal ketika aku berjalan sendiri sepulang sekolah. Sejak saat itu berulang kali aku ingin mengakhiri hidupku.

“Kamu harus tegar, Sayang. Masa depanmu masih panjang,” ucap Mama tiap kali melihatku mulai frustasi.

Aku akan terus menangis. Aku membenci wajah ini, wajah yang orang bilang cantik, yang membuat mata lelaki menatap mesum, meski aku selalu memakai pakaian yang cukup sopan.

Aku mencoba menata ulang kehidupanku, demi melihat Mama yang kian menua. Tak sampai hati melihat kulit pipinya yang mulai keriput basah oleh air mata. Seharusnya akulah yang merawat Mama dan Papa, bukan sebaliknya. Mereka sudah terlalu banyak berkorban, meninggalkan kehidupan mapan di kota untuk kembali ke kampung halaman, demi menyembuhkan lukaku.

“Ini demi kamu,” kata Papa ketika Kami sampai di rumah tua, warisan nenek.

Dahulu, saat aku kecil kami sering mengunjungi nenek. Paling tidak tiga bulan sekali.

“Kamu harus membuka lembaran baru di sini. Jangan terus menatap masa lalu, percayalah masa depan kamu masih panjang. Kami akan selalu ada untukmu.” Papa membelai rambutku dengan penuh kasih sayang.

Aku tahu, yang terjadi padaku bukan hanya menghancurkan hatiku tapi juga kedua orang tuaku. Namun mereka tak pernah menunjukkan sedikit pun sikap putus asa. Ketika aku–Diandra Kesuma–putri semata wayang mereka, hampir gila karena depresi. Aku pernah mencoba bunuh diri dengan menyayat pergelangan tanganku menggunakan pisau cukur Papa. Beruntung Mama segera menemukanku terkulai lemas di kamar mandi, dan membawaku ke rumah sakit.

***

Mama menuntunku ke sebuah kamar. Katanya, dahulu kamar ini adalah kamar papa. Saat Mama membuka pintu, aku terkesima. Kamar bernuansa ungu muda menyambutku. Kutatap mama dengan rasa haru, “Terima kasih, Ma.”

Mama membuka jendela kamar, angin berembus masuk, seketika hawa sejuk menjalari seluruh tubuhku. Aku menatap keluar jendela, tampak reranting bergoyang-goyang mengikuti irama angin. Terdengar Cuitan anak burung dari dahan pohon di balik jendela kamarku.

“Ma, mengapa anak burung itu terus bersuara?” tanyaku.

“Mungkin mereka mencari ibunya, mungkin takut di tinggal sendiri, atau bisa jadi dia lapar,” jawab mama. “Biasanya induknya pergi mencari makan agar anaknya gak kelaparan dan tumbuh besar, Sayang.” Mama mengusap rambutku lembut.

Aku mengangguk, mengerti.

“Naluri seorang Ibu itu kuat, Sayang. Tak peduli binatang sekali pun. Seperti mama, mama akan selalu ada untukmu sampai kamu keluar dari mimpi buruk itu,” lanjut Mama.

Aku terisak dalam pelukan mama. “Percayalah, Ma, aku juga ingin sembuh. Maaf kan aku, Ma,” bisikku.

***

“Kamu yakin, tidak mau ikut?” Ada khawatir terpancar dari wajah Mama.

Hari ini Papa dan mama akan berbelanja ke pasar yang jaraknya lumayan jauh, sekitar satu jam perjalanan dari sini. Mereka harus membeli kebutuhan pokok selama seminggu. Kalau kebutuhan sayur mayur masih bisa beli pada tetangga, tetapi kebutuhan domestik, seperti: gula, garam, sabun, sampo, dan lainnya, harus dibeli di kota.

Nantinya, kata papa, pelan-pelan lahan bekas kebun di belakang rumah akan digarapnya. Memang sejak nenek meninggal kebun itu terbengkalai. Padahal dulu saat nenek masih hidup di sana banyak di tumbuhi cabai, tomat, kangkung dan aneka sayur lainnya. Kata nenek, itu cukup, kalau hanya dimakan seorang yang tinggal sendiri. Meski nenek sudah lanjut usia, beliau masih piawai bercocok tanam. Beliau tak pernah mau di ajak ke kota karena merasa berat meninggalkan rumah yang penuh kenangan ini.

“Aku enggak apa-apa, kok, Ma.” Aku mencoba meyakinkan mereka.

“Bagus kalau begitu,” Papa mengangkat jempolnya ke arahku. “Ayo, Ma. Kalau enggak sekarang, kapan lagi Diandra mengobati rasa traumanya. Papa yakin tidak akan terjadi apapun, toh Bik Mar ada di rumah.” Papa berusaha meyakinkan mama yang tampak berat meninggalkanku di rumah.

Selama empat tahun ini mama tidak pernah meninggalkanku. Biasanya Bik Mar–asisten rumah tangga kami–selalu berbelanja ke pasar saat masih tinggal di kota. Dia memang sudah mengabdi sejak aku lahir, jadi paham betul segala keperluan keluarga.

Kulambaikan tangan melepas kedua orangtuaku. Mama harus pergi bersama papa kali ini, selain untuk membeli segala kebutuhan, dia juga harus mendampingi papa dalam sebuah pertemuan kerjasama.

Sudah dua bulan kami tinggal di kampung halaman Papa. Dia mulai fokus mengurus lahan perkebunan warisan nenek. Tadinya dia bekerja pada perusahaan garmen ternama di ibu kota. Namun, sejak kejadian yang menimpaku pikiran papa mulai bercabang. Beberapa kali dapat peringatan dari perusahaan karena dianggap tidak profesional dalam bekerja. Papa sering meninggalkan rapat ketika mendapat kabar aku mencoba bunuh diri atau saat aku mengamuk.

Saat itu aku sedang berhias di depan cermin. Seketika aku merasa diriku yang lain berkata, “Parasmu tak lagi seindah dulu. Lihatlah, sekujur tubuhmu, penuh dengan tangan pria-pria bangsat itu!” Aku membuka seluruh pakaian yang kukenakan. Terlihat dengan jelas bekas merah di sekitar dada. Aku berbalik, tampak pula jejak di punggungku. Aku langsung menjerit histeris, satu persatu kejadian itu diputar ulang seperti video. Rekaman itu terasa nyata. Kupecahkan cermin dengan bangku. Kuacak-acak semua benda di dalam kamar. Bahkan pecahan kaca itu sempat ingin kusayatan lagi di nadiku. Beruntung mama cepat menahan tanganku dan membuangnya ke sembarang tempat. Sejak itu papa memutuskan resign dan berusaha selalu ada di sampingku.

Kini, aku berdiri di depan cermin. Tak terlihat apapun, hanya seorang gadis dengan paras yang sempurna. “Anggap saja kau sedang bermimpi buruk dan saat kau bangun semua baik-baik saja. Hanya ada bahagia. Dengan iman, tangismu akan berganti tawa dan lukamu akan terobati,” bisik sisi lain diriku.(*)

Cici Ramadhani, menyukai literasi sejak SMP. Namun, sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena ia sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya pegunungan. Semoga dalam tiap ceritanya dapat tersampaikan hikmah dan manfaat bagi pembaca.

Leave a Reply