Sisa Waktu buat Ramadan
Oleh : Rainy Venesiia
Mang Jaka menatap Rama penuh haru. Anak lelaki yang wajahnya mirip bintang iklan sabun mandi tersebut mengingatkannya pada sang putra di kampung. Bukan hanya merasa bersalah karena tak pernah mengikuti perkembangan anaknya sejak bayi, tetapi dia merasa tak becus menjadi seorang bapak. Dia tak sanggup pulang dengan tangan kosong, juga tak punya cukup banyak uang untuk rutin mengirim bekal anak istri di kampung.
Memang bukan salah Mang Jaka ketika dia pergi meninggalkan kampung sebab sawah-sawah sudah berubah rupa dengan bangunan beton, mengharuskan orang-orang yang berprofesi kuli pacul seperti dirinya hijrah ke kota mengadu nasib, karena usia yang tak lagi muda tidak memenuhi syarat bekerja di pabrik, kecuali memiliki mahar sebagai pelicin. Perjalanan yang terlunta-lunta membawa dia ke masjid ini dan didaulat oleh DKM untuk menetap sebagai penjaga karena dia rajin salat dan bisa dipercaya. Nasibnya memang cukup mujur dibanding kawan lain yang tak sengaja bertemu saat sedang mengemis.
Mang Jaka menatap Rama yang masih asyik bercerita soal bulan Ramadan. Anak itu bilang bahwa dia sangat senang menyambut bulan penuh berkah. Bulan yang bagi bocah kelas dua SD tersebut benar-benar istimewa, karena hanya pada bulan Ramadan ia bisa lebih lama berkumpul bersama ayah dan ibunya.
“Tapi kamu, kan, tetep bisa ketemu tiap hari sama Ayah dan Ibu.”
“Cuma bentar. Itu pun sambil sarapan.” Rama cemberut. “Aku kan pingin juga kaya temen-temen. Sering main bareng Ayah Ibu, diceritain dongeng, ditemenin ke sekolah.” Rama terdiam, entah sedang mengingat teman-temannya yang menceritakan kegiatan mereka bersama orang tuanya atau terkenang pada dirinya yang selalu kesepian di rumah.
“Lha, ayah ibu Rama, kan, kerja, nyari uang buat Rama juga.” Mang Jaka tersenyum, matanya berkaca-kaca, sedangkan hatinya berusaha untuk tetap tegar. Dia ingat pada Yeni, istrinya yang pertama. Yeni menggugat cerai dirinya dan pergi dari kampung membawa anak semata wayang yang saat itu baru satu tahun. Yeni tak tahan hidup seadanya. Dia ingin seperti wanita lain yang suaminya punya penghasilan tetap agar bisa menabung dan membangun rumah bagus. Sedangkan dirinya bukan siapa-siapa, hanya anak yatim piatu yang sekolah menengah pertama pun tak tamat.
Mang Jaka mengusap mata mencegah aliran tangis menggores jejak. Kembali teringat kata-kata Yeni bahwa dia berterima kasih karena menolongnya dari rasa malu karena janin dalam perut. Namun, Yeni juga merasa menyesal atas pernikahan mereka karena telah membuatnya hidup menderita. Saat itu Mang Jaka hanya mengelus dada sambil terus beristigfar. Dia tak bisa mencegah perceraian itu dan tak mampu mempertahankan anak lelakinya. Dia ingat mungkin anaknya seumuran Rama.
“Tapi kan Rama kangen sama Ayah, pingin maen bola. Pingin ngerjain pe-er bareng Ibu.” Kali ini Rama menopang dagu, matanya menatap seorang anak yang berjalan dituntun seorang ibu muda. Mang Jaka menoleh.
“Oooh jadi Rama ingin main bola. Hayuk, sama Mamang aja.” Mang Jaka berdiri lalu masuk ke ruangan kecil di samping masjid. Sebentar kemudian kembali dengan membawa bola.
Rama terlihat girang. Tak lama kemudian, keduanya asyik bermain, melepaskan kerinduan masing-masing. Mereka tertawa, terlihat bergembira. Persis seperti ayah dan anak.
Sudah dua hari anak laki-laki yang bernama Ramadan itu tak muncul di hadapan Mang Jaka. Dia merasa kehilangan. Namun, untuk berkunjung melihat keadaan bocah itu, merasa sungkan. Siapalah dirinya. Hanya penjaga masjid yang kebetulan akrab dengan seorang anak di kompleks elite tersebut.
Hari ketiga, kabar tentang sakitnya Rama mampir di telinga Mang Jaka. Dengan ragu, laki-laki yang selalu memakai peci putih itu menekan bel di pintu pagar rumah besar bercat hijau. Tak lama, seorang perempuan tiga puluh tahun keluar membuka pagar. Setelah berbasa-basi, Mang Jaka dipersilakan masuk, lalu menuju ruang tamu yang membuatnya merasa seperti di istana. Perempuan tadi muncul kembali seraya membawa nampan berisi secangkir teh dan dua stoples kue kering.
Seorang wanita muda dan anggun datang tepat setelah perempuan pembawa nampan kembali masuk.
“Rama sakit. Kemarin sudah dibawa ke dokter. Katanya kecapaian jadi harus istirahat.” Wanita muda itu berbicara dengan tegas.
“Maaf, apa boleh saya melihatnya?” tanya Mang Jaka ragu. Namun, dia merasa senang ketika wanita muda itu mengangguk perlahan.
Mang Jaka terenyuh melihat Ramadan terbaring lemah. Dia duduk di samping tempat tidur, membuat kasur empuk dilapisi seprai motif super hero sedikit bergerak. Mang Jaka tersenyum saat Rama membuka mata dan terperangah menatap dirinya. Senyumnya langsung mengembang. Perlahan dia bangkit dan memeluk Mang Jaka penuh rindu.
Ibunya Rama meninggalkan kedua lelaki beda generasi tersebut dan berdiri di balik tembok kamar. Suara keduanya masih bisa didengar dengan sangat jelas.
“Kata Ibu, puasa kali ini aku akan di kampung bareng Nenek. Sekalian liburan. Aku sedih, Mang, aku ingin di sini. Sahur dan buka bareng Ayah Ibu.”
“Iya, nanti Mamang bilangin sama Ibu. Sekarang Rama harus istirahat, biar cepet sembuh. Nanti kita main bola lagi. Tos.”
Lalu terdengar celoteh Rama ditimpali suara tawa mereka. Ibunya Rama bersandar di tembok. Wajahnya ditutup dengan kedua tangan.
Sepanjang jalan pulang, Mang Jaka mengumpulkan tekad untuk pulang kampung. Dia tak ingin anaknya menderita karena bapaknya tak pernah ada bahkan sekadar untuk menjenguknya. Mang Jaka tak kuasa menahan air mata ketika bayangan Wiwin melintas. Wanita yang sabar dan sangat baik itu sangat berbeda dengan Yeni. Kendati Wiwin adalah seorang janda yang mandiri dalam hal keuangan, Wiwin tak pernah sekali pun bersikap angkuh. Sejak menikah, Wiwin selalu hormat padanya. Tiba-tiba Mang Jaka merasa bodoh atas sikap keras kepalanya. Dia meyakinkan diri untuk pulang besok meskipun uang yang dimilikinya baru sedikit.
***
Bandung, 10 Januari 2021
Rainy-Seorang wanita yang menyukai fiksi.
Editor : Rinanda Tesniana