SIREP BANDIT
Oleh: Heraa Kless
Terbaik Ke-7 TL-19/Favorit Juri
Dikabarkan oleh asisten wedana di perbatasan, jangkar kapal besar telah menyapu pesisir, sampan nelayan lepas tersapu, anggang-anggang membatu, burung-burung pantai mengepak-ngepak, bertengger, lalu kabur, menjauh. Belum habis tanah itu dari bekas kaki kempetai, pagi itu, tersiar kabar bila di utara, kompeni telah tiba, dengan serdadu dan bedil-bedil panjang.
Pejuang tegap di garis depan melayangkan taktik. Mula-mula pohon asam di sepanjang jalur menuju jantung sasaran ditebang untuk memblokade jalan, tindakan itu rupanya terlampau sporadis dan linier. Penghalauan itu lebih mirip tebu-tebu yang ringan digilas ban besi. Meski begitu, serangkaian perlawanan di bawah pimpinan Kapten Suwandak terus digencarkan.
Di tengah huru-hara itu, wanita-wanita menangis di dalam gubuknya. Beberapa tengah mengandung, tersedu-sedu mengelus si jabang bayi. Beberapa lagi menghamparkan sajadah, berdoa pada pemilik roh dan jagat raya, seolah-olah kiamat datang lebih cepat, tanpa pertanda bahwa surga gemilang telah terbit dari barat agar lekas-lekaslah mereka bertobat. Nasib dari mereka adalah wanita yang ditinggal lelakinya ke medan tempur. Apa mau dikata, ketimbang mati pengecut bergumul di kamar, lelaki di sana lebih senang hatinya bila mati terhormat walau anak istri merana di rumah.
Dan meski kengerian itu ada di mana-mana. Jazuli, lelaki berkulit gelap, yang gambangnya menonjol mirip rel kereta itu duduk ongkang-ongkang kaki di amben bambu sembari melinting klaras isi cengkeh dan tembakau. Semalam, pemuda itu mabuk tuak, pulang-pulang sempoyongan. Ia kalah judi meski semalam Jazuli telah menggunakan ilmu sirep dari buyut. Konon, ilmu itu dimiliki beberapa pencuri, namun Jazuli kerap memakainya kala berjudi. Mula-mula mantra akan dibaca, udara akan terasa tenang, kebisingan akan hilang, dan saat suasana syahdu itu menyelimuti, orang-orang akan tertidur pulas. Bila ilmu itu bekerja, seharusnya semalam ketika sasaran jatuh tidur , Jazuli bebas membuka gelas bambu dan melihat mata dadu yang keluar. Sayang, lawannya awas, boro-boro teperdaya, malah hampir-hampir, pemuda keling itu babak belur dihajar preman kampung yang alamak rupanya tahu betul soal siasat ilmu sirep.
“Bajingan!”
Uang taruhan semalam agaknya cukup untuk membeli arak sebulan pikirnya. Cukup pula untuk menyewa jadah yang ranum di warung bir. Membayangkan gadis-gadis itu mengaduk kopi dengan kain yang tersingkap-singkap, bulu tengkuknya berdiri, sial sudah, kantungnya bolong, kosong melompong.
Jazuli menatap langit yang kemerah-merahan, dan ia baru saja menangkap ujung awal dari malam yang tak lagi gegap gempita. Entah malam itu, suara gemuruh menjadi senyap, Jazuli berangkat ke surau, alih-alih sembahyang, ia hendak mencongkel kotak amal. Pemuda yang pipinya seperti kubangan jalan dan kumis tipis yang panjangnya tak selaras itu melangkah bak seorang cendekia, hari yang mencekam untuk Inlander (begitu Belanda menyebut) adalah waktu terbaik Jazuli untuk berkeliling dan mengambil harta gono gini milik orang, lumayan untuk modal jadi bandar. Ekspansinya dimulai dari surau yang tentulah akan sepi. Para lelaki ada di medan tempur, para wanita tersungkur-sungkur di sajadah rumahnya, kalau-kalau ada orang lain selain dirinya, pastilah itu adalah seorang tua yang pikun dan mudah diperdaya.
Di surau itu, lentera dan obor di pagar tak ada yang menyala. Hanya kilat cahaya rembulan di pantulan kaca yang legam. Namun di tengah kegelapan itu, Jazuli berjingkat-jingkat, kerumunan manusia! Dalam surau yang tirainya di tutup itu ada bayangan segerombol manusia. Jazuli ketar-ketir.
“Mati aku!” Jazuli tiarap, bergerak-gerak meliuk-liuk di tanah. Bila itu kerumunan tentara Belanda, nyawanya sedang di ujung tanduk. Pemuda itu terus mengumpat, mati di tangan manusia-manusia picik itu adalah musibah. Jazuli bahkan menolak angkat senjata, tak mau berhadap muka dengan bedil-bedil mereka. Biarlah ia mati serangan jantung, biarlah ia mati kena malaria. Biarlah orang-orang menyebut Jazuli bukan lelaki sungguhan. Jazuli tak mau mati buru-buru. Dadu-dadu di kepala Jazuli berputar-putar, seolah mengajaknya bermain, terus-menerus, tak peduli negerinya porak-poranda, tak peduli sesamanya berdarah-darah, Jazuli harus hidup untuk kong-kalikong dengan nasib.
Sekarang Jazuli tengah mengendap-endap, berniat menyelinap ke semak-semak sepuluh langkah di hadapan lalu kabur. Urung saja malam ini ia membobol kotak amal itu, lucu bila yang bobol malah usus dan otaknya. Membayangkan jeroannya terburai, Jazuli geleng-geleng, lengannya terus berpacu cepat agar sampai ke semak-semak.
Dan saat keringat merembes di pelipis, lampu senter dari arah surau menyoroti, perut Jazuli mengeras, napasnya tersengal beberapa detik. Kemungkinan bahaya mendekat telah pasti, lelaki itu akan memutuskan berlari tunggang-langgang, tapi derap langkah dan sorot senter di belakang terasa dekat, terasa cepat. Bila pun ia berhasil berdiri, belum tentu kakinya sempat menghindari peluru. Jadilah Jazuli jongkok, mengangkat tangan dengan wajah laiknya hamba sahaya yang kikuk.
“Kau kah itu, Jazuli?”
Jazuli dengan takut-takut mengangkat wajahnya, mengenai sorot senter sehingga ia berkedip-kedip. “Kau Jenawi?” Dan akhirnya perut yang keras lantas mengendur, napas yang tercekat kembali berembus. Oh, Jazuli bahkan telah membayangkan nasib mayatnya bila mati saat itu.
Jenawi, lelaki postur gagah nan tinggi. Bekas tentara Heiho zaman Jepang, kawan mancing Jazuli dulunya di kali dekat dam.
“Mengapa kau mengendap? Kau telah dibayar Londo itu memata-matai markas kami?”
Jazuli terbahak-bahak mendengarnya. Jazuli akui, lagak lelaki di depannya ini memang nasionalis dan patriotis. “Perangaiku ini tak perlulah kau samakan dengan pengkhianat, Wi.” Jazuli membersihkan tanah dari dadanya yang telanjang.
“Lalu?”
“Kotak amal,” ucap Jazuli terang-terangan. “Jenawi, kadang aku kepikiran uang surau akan sejuk dan lebih sejuk bila kubelikan tuak. Aku haus.”
Jenawi tersenyum maklum. “Sayang kau tak mampu menebak bayangan kami itu adalah kami atau … kau mengira kami adalah serdadu lantas kau hendak kabur?”
“Ya, entah kelompokmu entah si Belanda itu dua-duanya beresiko, maling pastilah dirajam,” tukas Jazuli memandang senter yang nyalanya terang benderang. “Dan kau dengan senter panjang itu telah menaruh curiga yang amat tak main-main.”
“Ini tugasku, Jazuli.” Jenawi menjelaskan. “Tugasku menjaga keamanan sementara di dalam tengah menyusun siasat. Mengapa kau tak ikut bergerilya bersama kami?”
Mata Jazuli berputar perlahan. Seperti mengembalikan pertanyaan itu ke dalam dirinya. Mengapa ia tak ikut bergerilya. Dan tentulah lelaki itu memilih tak menjawab. Realitas berkata bila lelaki hitam legam itu enggan dikatai pecundang di hadapan kawannya yang berjiwa patriotis.
“Buyutmu berwasiat soal ilmu yang kau punya akan bermanfaat seberapa jauh.” Jenawi menatap mata legam kawannya itu. Jenawi tahu betul soal Jazuli yang tak punya sesiapa selain anak kemenakan yang tak menganggapnya. “Sudah kau tunaikan wasiat itu, Jazuli?”
“Entah, semalam aku rugi besar karena ilmu itu! Sial, jadah! Tanah sepetak satu-satuku raib!”
“Kau menempatkannya di waktu yang keliru!”
“Lantas?”
“Kyai akan senang bila kau bergabung dengan barisan Hizbullah. Kiranya kau mau, buyutmu di sorga akan turut bangga.”
***
Petang itu, Jazuli pergi ke pekuburan umum ditemani Jenawi. Keluar-keluar, mereka kini menenteng masing-masing dua goni kecil berisi tanah. Tanah kuburan, salah satu syarat bila ingin sihir mantra ilmu sirep berjalan mulus tanpa hambatan.
Lelaki keling itu nampaknya telah mantap hatinya. Kini ia mengenakan baju serba hitam, di antara barisan kawula muda dan dedengkotnya. Hanya dia yang tak membopong senjata. Bermodal kantung besar berisi tanah kuburan yang telah dimantrai. Lelaki itu membusungkan dada, rambutnya ikal di tiup angin malam, tercermin dari garis wajah, ia tampak yakin, lelaki itu Jazuli, pemuda yang pekan lalu berbicara amit-amit bertemu wajah dengan Belanda, kini dialah pemegang kunci keberhasilan rencana cerdik pasukan Hizbullah untuk merampas persenjataan milik Belanda.
Mereka bergerak dari belukar di belakang markas Belanda yang lengang. Namun mereka tetap awas sembari berjaga-jaga. Jazuli mulai komat-kamit, ia keluar dari semak itu, mengendap kecil sebelum berdiri kukuh, matanya terpejam mengatur laju udara dalam dadanya, tangannya lihai menabur tanah itu, dari ujung ke ujung, ke depan, ke jendela-jendela dan barangkali ke seluruh bagian yang tak mampu digapai tangan, ia kemudian diam, tangannya bergerak-gerak di udara. Sebuah mantra membias, melewati dinding, jendela, memeluk markas itu.
Keadaan pun mulai hening, burung-burung malam datang perlahan membawakan syair-syair pengantar tidur. Ketenangan menyelimuti markas itu, sehingga tentara yang matanya belo jadi menciut dan dalam pulasnya, ada gadis-gadis gemulai menangkup mereka bak seorang bayi. Terbuailah mereka itu.
Lalu Jazuli si bandit mendorong pintu perlahan, terdengar derit panjang mirip ringkihan kuda, maklumlah pintu itu karatan. Agaknya itu membuat jantung kawannya berpacu hebat. Namun apa yang ia takutkan, mereka, tentara yang memang kelelahan dan butuh rehat tengah terlelap. Dan di sanalah Jazuli, membuka markas lebar-lebar, mempersilakan pasukannya masuk tanpa takut, tanpa ragu, seolah berisyarat, ambillah sebanyak mungkin, dan bunuhlah sebanyak mungkin.
Bangun-bangun tentara-tentara itu linglung, mereka dilucuti habis-habisan. Kepanikan di pagi buta itu memecah konsentrasi mereka. Persenjataan raib, kendaraan mereka ikut digondol. Atasan mereka tentulah murka anak buahnya kesirep macam orang mati.
Dan kejadian itu telah berlangsung berulang kali, serdadu kebingungan digemparkan dengan keberadaan maling malam yang lihai memperdaya. Pemuda misterius berpakaian hitam-hitam itu sempat diburu walau tak seorang pun dapat menangkap lelaki itu. Sementara , lelaki yang masuk dalam buron tentara Belanda itu, si Jazuli, sedang duduk di warung bir, bersebelahan dengan petinggi-petinggi Belanda yang asik minum dan meracau.
Mereka tak menyerang pribumi, mereka tengah melepas penat dari bertugas. Di antara mereka, ada lima pribumi, dua lelaki tua di meja pojok sedang menyesap tembakau dan sepiring singkong goreng. Dua gadis warung bir, satu tengah didekap Belanda kurus di sana, satu tengah mengantar kopi dan kertas yang terselip di bawah gelas untuk Jazuli.
Sigap, Jazuli memasukkan kertas itu dalam kantong celana. Ia santai menyesap kopi hitam dua cangkir, betul, kopi, bukan arak. Malam ini, petinggi-petinggi yang tengah mabuk kepayang itu akan diumpati atasannya lagi. Jazuli mengerling ke gadis pemberani di warung itu, mata-mata yang molek pikir Jazuli. Gadis itu tersipu, agaknya Jazuli kecanduan, sakau ingin dibelai-belai. Namun melihat Belanda itu, Jazuli bersegera, harus mengabarkan kepada gerombolannya ada markas senjata tersembunyi di kaki gunung, di sebelah pabrik gula.
Jazuli menyesap habis kopinya, dua cangkir, harap-harap esok ia masih hidup, kiranya ketika kompeni itu minggat dari negeri ini, kiranya esok ia mati kena malaria atau bedil Belanda, ia tak akan memencaki nasib karena di awang-awang sana buyutnya mungkin tengah bersorak-sorai, duhai, turunannya yang penyamun itu agaknya tak pecundang-pecundang amat.
Lumajang, 20 Maret 2022
Heraa Kless adalah mahasiswi yang kebelet lulus.
Komentar juri, Freky:
Sebuah ide yang unik! Itulah yang saya pikirkan saat menemukan cerpen ini di dalam barisan cerpen yang akan dinilai. Pahlawan tidak hanya lahir dari kaum terpelajar saja, tetapi juga dari kaum marginal dan mereka yang mungkin tidak pernah diperhitungkan keberadaannya. Penulis menunjukkan hal ini dengan baik tanpa terkesan menggurui dan ‘sok mulia’. Transformasi tokoh utamanya berjalan secara alami dan tidak muluk-muluk dan membuat saya menantikan karya lain dari penulisnya. Selamat.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata