Singkong Syalimah
Oleh : Rosna Deli
Hari belum terang saat Syalimah menggelar dagangannya di tepi jalan. Terpal biru berukuran tiga kali empat meter itu menjadi alas untuk singkong yang baru saja dipanennya kemarin sore.
Makanan penghasil karbohidrat itu tampak masih segar dan bersih. Syalimah sangat memerhatikan kualitas barang dagangannya.
Desau angin pagi menyentuh kulitnya yang kian keriput. Syalimah menata singkong beserta beberapa ikat daunnya untuk dijual. Hatinya dipenuhi oleh harapan bahwa hari ini semua dagangannya akan laku.
Tidak jauh dari tempat duduknya, Minah, teman sesama pedagang juga melakukan hal yang sama. Keduanya saling melempar senyum, lalu duduk menunggu para pembeli. Ya, mereka hanya berharap kepada pengguna jalan raya yang lalu-lalang di jalan.
“Sayurnya dua ikat, Bu,” ucap seorang perempuan muda seraya memberikan sayur pilihannya kepada Syalimah.
Dengan cekatan Syalimah memasukkan sayuran itu ke dalam kantong plastik lalu memberikan kepada pembeli pertama di hari itu.
Mentari mulai mengintip dari balik awan. Pendar cahayanya membuat Syalimah tahu, bahwa waktu untuk bergegas sudah semakin dekat.
Dia melihat dagangan Minah sudah tinggal sedikit lagi, hanya beberapa batang singkong dan sedikit sayuran. Sementara dagangannya, baru berkurang dua ikat saja.
“Ayo Syalimah,” ajak Minah seraya menuntun sepeda miliknya.
“Sebentar lagi petugas datang, kita akan diusir.” Minah mengingatkan lalu mengayuh pedal sepedanya.
Syalimah mengangguk pelan, pandangannya menjadi kabur oleh air mata yang mengenang. Dia teringat janji kepada anaknya, Sri, untuk membayar tunggakan uang sekolah.
Sri, anak semata wayangnya, kini telah duduk di bangku SMA. Uang itu dibutuhkan untuk membayar biaya ujian semester kenaikan kelas.
“Mak, besok kata Bu Guru harus bayar uang ujian, kalau tidak Sri enggak boleh ikut ujian,” pinta Sri saat hendak berangkat sekolah.
Syalimah mengelus lembut rambut Sri lalu berujar, “Mudah-mudahan besok jualan Ibu laku ya, Sri. Biar bisa nyicil uang sekolah kamu.”
Dari jauh terlihat Minah memutar setang sepeda kembali ke arah Syalimah. Kayuhannya semakin cepat lalu berteriak, “Syalimah cepaaat, petugas sudah sampai di ujung sana!”
Syalimah tersadar dari lamunannya. Segera dia memasukkan semua dagangannya ke dalam goni lalu mengikat di bangku belakang sepeda.
Peluh beradu dengan debar jantung yang tak beraturan. Dia tak ingin kejadian beberapa bulan yang lalu terulang. Saat petugas-petugas itu tanpa belas kasihan mengusir paksa semua pedagang yang berjualan di pinggir jalan.
Saat itu semua dagangannya di masukkan ke dalam mobil, lalu Syalimah dan para pedagang yang tak sempat mengemas jualannya hanya bisa menangis sambil memohon belas kasihan. Namun sia-sia. Tidak ada yang tersisa.
Syalimah tahu berjualan di pinggir jalan dilarang, selain merusak pemandangan juga agar kota tidak tampak kumuh. Namun, dia tidak punya pilihan lain. Jika saja, Syamsul—suaminya—masih hidup, tentu hidupnya tak semenderita ini.
Dia masih bisa berdiam diri di rumah sambil mengerjakan pekerjaan rumah tangga, memasak atau mencuci. Kemudian, ketika sore tiba menyambut sang suami pulang dari bekerja. Namun, jalan takdir tak pernah ada yang tahu. Hidupnya eketika berubah saat Syamsul mengalami kecelakaan kerja.
Syalimah hanya memiliki sepetak rumah dengan halaman yang kini telah ditanaminya dengan singkong dan hasil dari tanaman itulah yang sekarang menjadi ladang rezeki mereka. Selain itu, terkadang Syalimah dipanggil orang untuk membantu memasak atau menjadi buruh cuci.
Baru saja Syalimah hendak mengayuh sepedanya. Para petugas berseragam itu telah berada tak jauh dari tempat dia berdiri.
Syalimah terkejut, seketika sepedanya terjatuh beriringan dengan seluruh barang dagangannya yang telah di masukkan ke dalam goni. Singkong-singkong itu menggelinding, berserakan di atas aspal.
Dia tertunduk lemas, lututnya seolah tak kuat untuk menopang tubuhnya yang kurus. Terlebih saat seorang petugas mendatanginya, lalu berujar lantang.
“Cepat masukkan kembali barang dagangannya, Bu! Sudah diberitahu dari dulu, tidak boleh berjualan di sini, masih saja tidak mendengar!”
Mata petugas itu berkilat seolah api kemarahan tengah berkobar hebat di dalamnya. Syalimah kian tertunduk tidak berani membalas tatapan lelaki bertopi hitam itu.
“Dengar tidak! Atau Ibu mau saya bawa ke kantor,” hardiknya sambil mengentakkan pentungan yang sedari tadi dipegang.
Tubuh Syalimah mengigil, keringat dingin membasahi pakaian yang dikenakannya. Dengan tertatih, perempuan itu mengutip kembali singkong dan memasukkannya ke dalam goni.
Dia mengusap dada saat melihat rantai sepedanya telah putus.
“Cepat, Bu! Ibu tahu besok ada pejabat ibu kota akan berkunjung ke sini,” seru petugas itu masih dengan posisi berdiri yang sama. Kedua tangannya berkacak pinggang sambil mengitari Syalimah yang tengah terduduk.
“Semua jalan harus tampak bersih dan nyaman. Ini perintah langsung dari kantor!” Dia berkata pongah. “Besok dan seterusnya, jika saya masih melihat Ibu lagi, tak ada kata maaf. Dengar!”
Petugas itu kembali mengentakkan pentungannya, kemudian pergi bergabung dengan petugas lainnya.
Syalimah mengusap peluh dan menghela napas dengan pelan. Dengan sisa tenaga yang masih ada, Syalimah kembali membereskan semua barang dagangannya.
“Apa kata Petugas itu, Syalimah?” Minah yang sedari tadi memerhatikan dari jauh, berlari ke arah Syalimah sambil membantu mengikat kembali goni ke atas sepeda.
Syalimah mendongak lalu tertunduk kembali.
“Katanya ada pejabat mau ke sini. Jalanan tak boleh kotor,” jawab Syalimah dengan air mata yang telah mengenang.
“Ah, bukankah seharusnya pejabat itu menyaksikan yang sebenarnya!” Minah mendengkus kesal. “Apa mereka mau memberi kita makan setiap harinya? Apa mereka tidak tahu, cari pekerjaan sekarang sulit, hah!” Minah mengepalkan tangan lalu menghela napas dengan kasar.
Syalimah hanya menatap jalanan yang kini telah kembali normal. Orang-orang seolah tidak peduli dengan apa yang baru saja terjadi. Keributan singkat tadi, bagi sebagian orang mungkin hanya sekadar hiburan saja.
“Apa mereka mau menutupi semua tunggakan kita?” Minah kembali menaikkan volume suaranya sambil mengarahkan wajah ke arah mobil petugas yang sudah menjauh.
Senyap.
“Ya, tunggakan … aku harus ….” Syalimah terdiam sebentar lalu gegas menaikkan kembali barang dagangannya ke atas sepeda.
“Kau mau ke mana Syalimah?” Minah berdiri menatap heran wajah Syalimah yang kini telah cerah.
“Aku tak peduli dengan pejabat-pejabat itu, Minah. Biarlah mereka dengan urusannya. Aku hanya ingin daganganku laku, dan bisa membayar tunggakan uang sekolah anakku.”
Syalimah menuntun sepedanya pelan sambil berteriak menjajakan singkong dan sayurannya.
Dumai, 15 November 2021
Rosna Deli adalah perempuan penikmat aksara.
Editor : Rinanda Tesniana
Gambar : https://pin.it/7MjkiTy
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata