Sinar Matahari Pukul Enam
Oleh: Leeyaa
Dari tempat duduk ini, aku masih bisa menatap jalanan meski tempatnya tersembunyi. Di balik pohon akasia dan jajaran perdu yang ditingkahi angin, sorot matahari senja mulai menerobos dedaunan. Tempat dudukku selama ini tidak pernah berubah, kecuali kalau ada yang terlebih dulu menempatinya. Jika itu terjadi, aku akan berdiri di samping bangku taman itu sampai orang yang lebih dulu duduk di situ merasa tidak nyaman dan akhirnya pindah.
Pukul enam lebih sedikit, wanita cantik itu akan lewat. Mengayun langkah kadang cepat, kadang lambat seperti sedang mengukur jalanan dengan kakinya yang jenjang. Rambutnya yang sebahu akan bergoyang seiring dengan gerakan pinggulnya yang menawan, meski tersembunyi di balik celana kerja longgar yang ia kenakan.
Ia bekerja di toko roti. Aku tahu dari baju kerja warna cokelat muda dengan garis merah di depan dada. Aku sempat menyambanginya, melihatnya melayani pembeli dari balik etalase atau mengantarkan minuman ke meja pemesan. Toko roti itu juga menyediakan kafe kecil untuk kolega berbincang. Ia begitu memesona dengan rambut dicepol plus topi kecil penghias kepala. Saat aku diundang rekan kerjaku itulah aku bisa menatap lekat binar matanya.
“Neng, bisakah ditambah gula?” Aku mengangkat cangkir kopiku saat kunjunganku yang kedua. Dengan gesit ia membawakan dua saset gula ke mejaku.
“Neng, kurasa terlalu manis, mungkin aku butuh air panas.”
Ia mengangguk dan mengantarkan satu teko kecil yang uapnya masih mengepul.
Ia selalu tersenyum, melayani dengan ramah, meski mungkin ia kesal dengan tingkahku yang keterlaluan. Aku bisa memintanya lima enam kali mendatangi mejaku dengan permintaan-permintaan konyol, seperti ukuran roti yang tidak standar, krim yang terlalu tebal, terlalu tipis, atau tebal lapis Surabaya yang tidak sama. Dia tak pernah marah, bahkan selalu tertawa jenaka. Kurasa ia tahu bahwa sebenarnya, aku hanya ingin tenggelam di lesung pipinya, menatap giginya yang gingsul, dan binar ceria dari sorot matanya.
Pada kedatanganku yang keempat, akhirnya aku bisa menahannya lebih lama berdiri di samping mejaku. Lalu, sehari setelah itu kami sudah duduk di kursi bioskop sambil menikmati popcorn dan minuman bersoda. Bercerita tentang keluarganya dan pekerjaannya. Tawanya serenyah kue egg roll yang membuatku selalu ingin menyekapnya dalam dada. Selain bekerja di toko roti, ternyata ia sedang menyelesaikan skripsi. Mahasiswi komunikasi tingkat akhir yang mengisi waktu sore dengan bekerja di kedai roti.
Aku suka caranya memandang kehidupan, rencana-rencananya ke depan, keinginan-keinginan, dan langkah untuk mewujudkannya. Buatku, wanita pintar yang penuh semangat bakal menjadi teman hidup yang menyenangkan. Kecantikannya adalah poin plus anugerah dari Tuhan.
Aku pun lebih terbuka menceritakan pekerjaanku yang kurasa cukup mapan. Cita-citaku, rencana masa depanku, dan tentu saja angan akan jodohku. Semua kurasa sempurna jika ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya.
“Kamu smart dan berpandangan maju. Aku menyukai caramu melihat kehidupan,” kataku jujur.
Semburat di pipi bulatnya merebak diikuti lesung yang semakin nyata saat aku mengatakan kalimat itu. Entah keyakinan dari mana, aku merasa wanita mandiri ini adalah jodohku.
Hari berikutnya dan berikutnya lagi, saat matahari mulai menorehkan warna jingga, aku punya jadwal rutin. Menunggunya keluar dari kotak kaca itu, menghabiskan senja dengan berboncengan, menikmati jalanan hingga malam memisahkan. Tangan kami bertautan, hati kami tak karuan. Hingga menjelang mataku terpejam, kami masih berbalas pesan. Aku mencintainya, dan aku akan segera melamarnya. Tekadku, malam itu.
Hari Minggu pukul sembilan pagi, aku tiba di rumahnya. Kendaraanku menepi di depan rumah warna putih dengan pilar besar di fasad bangunan. Kedatanganku bersamaan dengan sedan hitam yang masuk ke parkiran. Wanitaku, turun diikuti perempuan paruh baya dan dua lelaki berbeda usia. Ia tersenyum dan mempersilakan aku masuk.
Hatiku bergetar menatap kecantikan yang terpancar dari binar indah di wajahnya. Ia mengenakan gaun merah jambu, sepatu tinggi warna senada dan riasan tipis di pipinya. Namun, dadaku menyesak saat melihat buku hitam yang ia genggam.
Setelah duduk di ruang tamunya yang sangat nyaman, aku teryakinkan bahwa wanita yang tengah kucintai berbeda jalan dengan keyakinanku. Sebuah simbol agama terpampang besar di dinding ruang itu.
“Aku ….” Aku menatap simbol itu.
Ia menoleh ke arah tatapanku tertuju, lalu beralih menatapku dengan kening berkerut. Ada tanya yang tak terucapkan.
“Aku muslim.”
Sorot matanya mendadak redup, menyisakan diam yang tak kuharapkan. Lalu, ia merogoh sesuatu di lehernya dan mengeluarkan sebentuk kalung berhiaskan simbol agama.
Sungguh, selama ini aku luput memperhatikan. Mungkin karena ia selalu mengenakan baju leher tinggi yang sangat sopan. Aku tersenyum kecut menyadarinya.
“Maaf, aku tidak pernah menanyakannya. Tapi, aku nggak pernah lihat kamu ….” Ia menggantung kalimatnya.
Aku paham dan aku tertawa sumbang. “Aku salat Magrib di kantor sebelum menjemputmu, dan salat Isya setelah mengantarmu.”
Ia mengangguk sambil memperlihatkan lesung pipi yang sangat kugilai. Sayangnya, aku ragu untuk bisa tenggelam kembali. Aku anak Kyai, ibuku sudah haji. Senakal-nakalnya aku, tak mungkin menukar keyakinan hanya untuk mengikuti hawa nafsu. Kugenggam kotak beludru di saku jaketku, melepaskan gemuruh jantungku.
Sesekali wanita di depanku meremas kedua tangannya. Ia duduk gelisah dengan sikap yang tidak seperti biasanya. Ada bening membayang di sudut matanya, yang membuat binar itu sirna. Aku tahu, ia menahan sekuat tenaga, seperti aku menahan retak di dada.
Siang itu, jalan pulang terasa sangat panjang. Kutemui rasa yang aneh menguasai jiwa. Aneh dan menyakitkan. Rasanya ingin meledak, tapi tertahan dalam siksaan.
***
Sinar matahari masih menyoroti dedaunan. Aku menyesap kopi instan dan duduk di bangku taman. Pesan singkat yang kuterima malam berikutnya telah mengukuhkan posisiku. Orang tuanya tak memberi restu, dan kurasa orang tuaku pun akan mengatakan hal yang sama jika saja aku memberitahu mereka. Kami berpisah dengan luka dan dengan kesadaran akan kedewasaan.
Setelah itu dan hari-hari berikutnya aku masih tetap menungguinya di sini. Menatap dari jauh, memastikan langkahnya masih seringan dulu, jejaknya masih sekukuh dulu, hanya lesung pipinya yang pudar. Sesekali kudapati ia melirik sudut tempatku menunggu. Namun, aku selalu berhasil menyembunyikan diri di balik akasia ini. Hingga suatu hari aku tak melihatnya lagi.
Jika kulihat dari dedaunan yang disinari matahari, sepertinya musim telah berganti. Biasanya saat pukul enam tidak segelap ini, tapi kebiasaanku duduk di sini tak berubah. Hari ke hari, tahun berlalu, aku hanya membayangkan langkah lincahnya menapaki trotoar.
Lima belas menit berlalu dalam sepi, aku berdiri, membuang sisa kopi, lalu beranjak pulang. Dalam keremangan lampu jalan, mataku menangkap seorang wanita melintas dengan anggun di jalan itu. Sinar lampu membiaskan wajah mungilnya. Walaupun penampilannya lebih dewasa, aku mengenali dengan pasti.
Hampir saja aku mendekatinya, seandainya saja ia tidak segera menarik tangan seorang lelaki dan segera menggamit lengannya. Aku menarik diri, bersembunyi di balik pohon, lalu dengan nanar menatap kedua punggung itu menjauh, hilang, ditelan malam. [*]
Leeyaa, pencinta diksi dan penikmat aksara.
Editor: Vianda Alshafaq