Simuladistopiakoronakra

Simuladistopiakoronakra

Simuladistopiakoronakra

Oleh: Erlyna

 

Judul: Simuladistopiakoronakra

Penulis: Seno Gumira Ajidarma

(Kompas, 05 Juli 2020)

 

Beberapa waktu lalu, saya membaca cerpen Seno Gumira Ajidarma yang judulnya agak ribet, Simuladistopiakoronakra. Baru baca judulnya saja sudah membuat jidat berkerut duluan, kan? Seperti gabungan antara “simulacra”, “distopia”, sama “korona”. Pas saya baca, makin kerasa kalau judul itu benar-benar mewakili isi cerpen: campuran antara teori filsafat, dunia masa depan yang hancur, dan tentu saja bayangan pandemi yang pernah bikin kita semua kalang kabut.

Cerpen ini tayang di Kompas tahun 2020, pas pandemi Covid-19 sedang gila-gilanya. Jadi jangan heran kalau nuansanya gelap, penuh keputusasaan, dan banyak sindiran ke manusia yang kayaknya enggak pernah belajar dari krisis. Bayangkan saja, di cerita ini, pandemi enggak cuma berhenti di Covid-19, tapi lanjut sampai Covid-44. Bayangkan, virusnya berevolusi terus, manusia bukannya makin pintar, malah makin hancur. Kota jadi puing, udara panas seperti neraka, hujan abu turun kayak di film-film kiamat. Pokoknya setting-nya suram banget, distopia level dewa.

Nah, yang membuat menarik, tokoh utamanya bukan manusia biasa. Dia itu makhluk hibrida: kepala ikan, badan manusia. Namanya enggak disebut, cuma dipanggil “Manusia Berkepala Ikan”. Dari sini saja sudah kerasa banget Seno main simbol. Kenapa kepala ikan? Bisa jadi lambang degradasi manusia, bisa juga sindiran kalau manusia sudah enggak bisa berpikir jernih, kayak ikan yang cuma hidup mengikuti arus. Tapi justru si Manusia Berkepala Ikan inilah yang dikasih tugas mulia: menyelamatkan bayi manusia terakhir supaya ada secercah harapan buat peradaban.

Kisahnya kemudian mengikuti perjuangan si tokoh ini. Dia harus bawa bayi itu ke pesawat antargalaksi, semacam arca penyelamat terakhir, kayak kapsul harapan. Namun, ya, seperti biasa, perjalanan enggak gampang. Dia harus melewati manusia-manusia yang tersisa dan inilah ironinya. Alih-alih bekerja sama buat bertahan hidup, manusia yang tersisa justru saling serang, rebutan makanan, rebutan kekuasaan. Bahkan pas dunia sudah di ambang kiamat, ego dan nafsu berkuasa masih lebih penting daripada keselamatan bareng-bareng.

Ending-nya tragis. Si Manusia Berkepala Ikan berhasil melepaskan bayi itu ke pesawat, tetapi dia sendiri kena tikam dan tewas. Harapan untuk manusia memang diselamatkan, tetapi lewat cara kloning. Jadi, ada semacam pesan getir: kemanusiaan bakal dipertahankan, tetapi bukan dari jiwa manusia yang asli, melainkan lewat duplikasi.

Kelebihan Cerpen

Oke, sekarang saya akan membahas kenapa cerpen ini keren.

1. Imajinasi Distopia yang Kuat

Seno memang jago banget membangun setting. Dari awal sampai akhir, pembaca dibawa masuk ke dunia yang super-suram, tetapi detailnya terasa nyata. Saya bisa membayangkan abu yang turun, kota yang mati listrik, laut yang mengering. Semuanya kayak puzzle yang membentuk gambaran besar: dunia yang sudah enggak layak huni lagi.

2. Simbolisme yang Menggigit

Manusia Berkepala Ikan itu simbol yang cerdas. Di satu sisi dia makhluk “tidak manusiawi”, di sisi lain justru dialah yang paling manusiawi: berjuang, berkorban, punya empati. Bandingkan dengan manusia-manusia biasa dalam cerita yang justru brutal, haus kuasa, dan enggak peduli sesama. Ini kayak tamparan: siapa sebenarnya yang layak disebut manusia?

3. Kritik Sosial yang Relevan

Cerpen ini jelas banget menyoroti sifat manusia yang enggak pernah belajar. Dari Covid-19 saja sudah kelihatan, ada yang ngeyel enggak mau pakai masker, ada yang bikin teori konspirasi, ada yang rebutan bantuan. Seno nge-zoom semua itu ke level ekstrem, sampai ke Covid-44. Jadinya kita kayak disuruh berkaca: kalau terus begini, kita beneran bisa menuju kehancuran.

4. Gaya Bahasa yang Efektif

Walaupun judulnya ribet, isi cerpennya enggak sulit diikuti. Seno pakai bahasa yang lugas, kadang kayak laporan militer, kadang kayak narasi film. Jadi meski banyak simbol dan teori di baliknya, pembaca tetap bisa menikmati alurnya tanpa harus baca kamus filsafat dulu.

Kekurangan Cerpen

Tidak ada karya yang sempurna. Buat saya pribadi, selain kelebihan-kelebihan di atas, ada beberapa hal yang bisa jadi kelemahan cerpen ini.

1. Judul yang Terlalu Rumit

Jujur saja, judul Simuladistopiakoronakra itu bikin orang mundur selangkah sebelum baca. Buat yang enggak kenal istilah “simulacra” (teori Baudrillard), pasti langsung mikir, “Apaan sih ini?!” Mungkin niatnya biar intelektual, tapi risikonya pembaca awam jadi minder duluan. Saya awalnya begitu soalnya.

2. Karakterisasi Minim

Selain Manusia Berkepala Ikan, enggak ada karakter lain yang benar-benar menonjol. Bayi manusia terakhir cuma jadi simbol, manusia-manusia lain digambarkan generik sebagai perusuh atau pemangsa. Buat pembaca yang suka kedalaman psikologis, ini mungkin terasa agak datar.

3. Pesan yang Terlalu Didaktis

Kadang cerpen ini terasa kayak khotbah terselubung. Pesannya jelas banget: manusia itu bodoh, egois, suka menghancurkan diri sendiri. Enggak ada ruang buat pembaca menafsirkan lebih bebas, karena arah sindirannya gamblang. Buat sebagian orang, ini bisa terasa agak “menggurui”.

4. Ending yang Sedikit Tergesa

Momen klimaks pas si tokoh menyelamatkan bayi lalu mati, menurutku bisa digali lebih panjang. Rasanya terlalu cepat ditutup, padahal di situlah titik emosional paling kuat.

Kesan

Kalau dipikir-pikir, cerpen ini bukan cuma cerita distopia biasa. Ada banyak pertanyaan yang dilempar ke pembaca. Misalnya: kenapa justru makhluk “tidak manusiawi” yang menyelamatkan kemanusiaan? Apa manusia masih pantas disebut manusia kalau kelakuannya lebih biadab daripada binatang?

Seno seakan bilang, “Lihat deh, manusia itu selalu merasa dirinya paling cerdas, paling mulia. Tapi begitu krisis datang, semua topeng runtuh. Yang tersisa cuma ego, rakus, dan kekerasan.” Dan jujur saja, kita bisa lihat cermin ini di kehidupan nyata, bahkan sekarang.

Di sisi lain, ada juga semacam optimisme yang diselipkan. Bayi terakhir yang akhirnya dibawa ke pesawat itu bisa dilihat sebagai simbol harapan. Walaupun lewat kloning, kemanusiaan masih bisa bertahan. Jadi, meskipun cerita ini gelap banget, masih ada cahaya kecil di ujung lorong.

Kesimpulan

Kalau saya harus kasih kesan akhir, Simuladistopiakoronakra itu semacam “dongeng kiamat” dengan cita rasa filsafat. Dia bukan cerita yang bikin hati hangat, tetapi bikin kita merenung panjang. Kelebihannya ada di imajinasi distopia yang kuat, simbolisme yang cerdas, dan kritik sosial yang relevan dengan zaman. Kekurangannya ada di judul yang ribet, karakterisasi yang agak tipis, dan pesan yang terlalu gamblang.

Tapi kalau ditanya, “Worth it nggak dibaca?” Jawabannya: banget. Cerpen ini bukan sekadar hiburan, tetapi alarm kecil yang mengingatkan kita bahwa dunia bisa rusak, bukan hanya karena virus, tetapi juga karena sifat buruk manusia sendiri.

Jadi, lain kali kalau ada pandemi (semoga enggak ada lagi ya), jangan sampai kita jadi bagian dari manusia-manusia yang diceritakan Seno, yang lebih sibuk rebutan kuasa daripada menyelamatkan kehidupan. Karena kalau tidak, jangan-jangan kita beneran menuju Covid-44. Dan percayalah, enggak ada yang mau hidup di dunia kayak di Simuladistopiakoronakra.

Pwr, 24 Agustus 2025

Erlyna, perempuan sederhana penyuka dunia anak-anak dan hujan. Aktif mendalami tulisan surealisme. Bisa dihubungi lewat akun Facebook dengan nama yang sama.