Simfoni Lara
Oleh : Zatil Mutie
Tit … tit … tit ….
Bunyi layar monitor mengalun bak musik horor dalam sebuah film thriller. Bunyi itu yang menemani keseharian Winda di kamar bercat putih. Menjaga seorang pria yang kini makin kurus terbaring tak berdaya di atas ranjang. Selang-selang berseliweran terhubung dengan kantung-kantung infus yang seakan menjadi sumber kehidupannya saat ini.
Labu darah setiap hari habis sebanyak 2 labu. Pun cairan elektrolit, cairan nutrisi dan cairan lain yang mungkin Winda tak tahu lagi namanya karena terlalu banyak berganti jenis.
Satu bulan sudah, Vino—suami yang telah menikahinya setahun lalu, tergolek lemah di ruang ICU rumah sakit terbesar di kota Bandung.
Winda menelusuri setiap titik di pipi tirus Vino. Di setiap hela napasnya terselip doa, memohon kesembuhan suaminya pada Sang Khalik.
***
Winda berjalan di lorong lantai tiga rumah sakit bertemperatur dingin itu. Embusan napas beratnya menyeruak ke udara yang lembab, deru suara pesawat dan kelap-kelip lampu yang menandakan pesawat akan landing dengan jelas menghiasi netra dan pendengarannya. Suara deru itu seperti ritme yang sama yang kini mengisi ceruk hatinya.
Vino yang sudah menderita kanker tulang sejak dua bulan lalu, tak henti merengek. Dia ingin segera dioperasi. Mendengar kata yang baginya super horor itu membuatnya tak berselera makan.
“Aku sayang dia, tapi aku tak mau kehilangan dia,” bisik Winda bergetar.
Operasi besar pengangkatan 5 ruas tulang belakang. Oh, Tuhan, ujian apa lagi yang Kau timpakan kepada kami, di usia pernikahan kami yang baru berjalan enam bulan ini. Batinnya menangis
***
“Win … Winda!” Suara itu memanggil.
Tit … tit … tit ….
Lagi-lagi bunyi itu yang kini terdengar mengalun. Rupanya Winda tertidur dan memimpikan Vino yang terbangun dan memanggil namanya.
Masih terbayang jelas di benaknya rentetan masa indah dalam hidupnya. Dinikahi Vino, hamil tetapi dua bulan kemudian keguguran, dan Vino demam parah sampai akhirnya dia lumpuh sebagian. Sungguh dalam waktu yang singkat semuanya berubah, Tuhan memberikan skenario yang sangat rumit.
Setelah beberapa alternatif pengobatan dilakukan dan hasilnya masih nihil, Vino akhirnya terbujuk tawaran dokter. Setelah melihat hasil CT Scan dan MRI yang memperlihatkan 4 ruas tulang belakangnya kini rusak dan cairan sarafnya membusuk, dokter akhirnya memutuskan untuk segera melakukan pengangkatan tulang, untuk diganti pen stainless.
***
“Pak, ayo kita berdoa di sana!” ajak Winda kepada mertuanya.
Hari itu Vino memasuki ruang operasi khusus operasi besar, yang kata dokter akan menghabiskan waktu selama enam jam.
Menuruni lift yang terasa bak sel tahanan, Winda dengan gontai memasuki musala rumah sakit. Saat berjalan tadi, dia mendengar lagu yang menggema dari pengeras suara di tiap lorong. Lagu milik D’Masiv yang liriknya begitu menyayat kalbu.
Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik ….
Air matanya meluruh di antara rapalan doa yang dia panjatkan, butir demi butir tasbih jatuh tercerai dari ikatannya. Oh, Tuhan … firasat apa ini? gumam batinnya.
“Win …!” Suara itu kini memanggilnya lagi.
“Iya, Pak,” ujarnya. Wajah sang mertua begitu kusut.
“Bapak ingin bicara sebentar,” gumamnya lirih, lalu mengikuti langkah Winda menuju teras musala.
“Kamu masih muda, jalanmu masih panjang. Sudahlah! Jangan kau siksa hidupmu untuk mengurusi Vino,” ucapan yang baru saja meluncur dari lelaki tua itu membuat Winda seperti tersambar petir di siang bolong.
“Maksud, Bapak?” Wanita itu terperangah. Kening Winda menyembulkan garis-garis bergelombang.
“Bapak cuma ingin kamu bahagia. Pergilah! Biar Vino bersama kami dan kamu bisa melepaskan diri dari ikatan ini. Kami menyayangimu, Win.” Tubuh Winda bergetar seketika.
Maksud, Bapak? Aku harus meninggalkan Vino, tunggu … melepaskan Vino … arghhh! Ide gila macam apa ini! Batin Winda terguncang dahsyat.
***
Dan kini ia memutuskan untuk tetap di samping suaminya. Apa pun yang terjadi, Vino adalah hidupnya.
Peralatan juga makin bertambah di tubuh Vino. Selang napas yang dulu terhubung dengan tabung udara itu, kini berganti dengan selang besar yang masuk di tenggorokannya. Dipompa oleh sebuah ventilator yang dengan setia menarik dan memberikan sirkulasi oksigen sebagai alat penyambung hidupnya kini.
Bess … blubb … bess … blubb ….
Bunyi ventilator itu mengeluarkan alunan nada pilu yang menurut Winda sangat mengiris hatinya. Tiba-tiba sekelompok tim dokter datang, untuk sementara Winda keluar ruang rawat. Dari pembicaraan dokter berkacamata besar itu bersama rekan-rekannya, terdengar nada serius yang membuat dirinya sport jantung.
“Vino. Ayolah sembuh, Sayang! Kamu udah janji, kalau kamu sembuh kita akan membangun istana impian kita.” Tetesan bening kini bergulir di pipinya, bibirnya bergetar. Mendengar sayup-sayup dokter berdiskusi tentang keseriusan penyakit yang diderita suaminya.
“Bu Winda …! Bisa kemari sebentar?” kata dokter muda dengan wajah lesu memanggil. “Bu, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya karena kami tak mampu lagi melakukan tindakan medis apa pun untuk kesembuhan Pak Vino. Operasi ini justru meneteskan beberapa cc cairan darah ke paru-parunya. Sekarang, paru-parunya terkontaminasi darah kotor. Hanya ventilator ini yang membantunya bertahan hidup, tapi sekali lagi ini hanya alat pembantu sementara. Kemungkinannya sangat tipis.”
Awan hitam tiba-tiba menghiasi benaknya, kunang-kunang menari di depan mata.
***
“Win … ayo, kita pulang!” Vino menarik lengan Winda dengan senyuman yang belum pernah dilihatnya. Wajahnya bercahaya dengan peci dan pakaian putih bersinar. “Ayo kita bangun istana impian itu. Bukankah kamu ingin istana, Win?” Winda mengangguk. Langkahnya kini memasuki sebuah istana kecil yang cantik.
“Kejutan!” Vino berteriak memasuki istana itu, Winda begitu mengagumi keindahan rumah kejutan itu, tetapi bayang Vino kini makin menghilang dan lenyap ditelan kabut putih.
***
“Win! Sadar, Win.” Sebuah tepukan menyadarkan Winda. Dia bangun dan berlari memasuki ICU, ventilator itu kini dibuka. Dada Vino terlihat naik turun, kelopak matanya bergetar hebat. Air mata meleleh di sudut mata yang lemah. Winda memeluknya, membimbingnya melafalkan zikir, menuntun kata-kata terakhir yang terucap dari mulut suaminya.
Air mata Winda sudah kering, kini hanya ketegaran dan keikhlasan yang dia miliki melepas kepergian suaminya menuju pangkuan-Nya.
“Selamat jalan, Sayang ….” Mata itu akhirnya menutup dengan senyuman yang sangat indah.(*)
Tentang Penulis:
Zatil Mutie, perempuan penyuka novel romance, dan film Bollywood. Suka memasak, berasal dari cianjur, email: zatilmutie72653@gmail.com. Fb: Mom’s Zalfa Adeeva Zahra
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita