Silsilah
Oleh : Lutfi Rose
Jangan memandangku seperti itu! Sungguh kalian akan mahfum dengan keapatisan jika berada di posisiku. Bagaimana rasanya tumbuh dalam keluarga besar yang benar-benar menolak kelahiranmu. Bahkan sejak di dalam kandungan pun, konon, aku akan dilenyapkan. Sungguh mengenaskan!
Tak perlu merasa iba padaku! Bersikaplah biasa saja, cukup perlakukan aku selayaknya gadis lain seusiaku. Jangan pula memandang dengan mata menyelidik kepadaku, ini bukan kesalahanku. Tak ada anak yang mau dilahirkan dari buah kesalahan orangtuanya.
Bagaimana aku hadir di dunia ini sudah tak menjadi soal bagiku. Itu sudah hal usang yang jadi buah bibir sedari aku masih kanak-kanak. Gunjingan, tatapan jijik, bahkan penolakan ketika bermain dengan teman sebaya sudah menjadi lauk-pauk setiap hariku. Apakah aku marah? Ya! Tentu aku geram dengan semua itu. Aku ingin menusuk mata-mata yang memandang tidak bersahabat itu. Andai mereka tahu bahwa sikap mereka lebih menyakitkan dari kenyataan yang harus aku hadapi.
Masih tergambar jelas malam itu, di tanggal yang sama ketika aku dilahirkan di dunia ini. Tepat saat usiaku sepuluh tahun, Ayah dan Ibu mengajakku bertamu ke sebuah rumah besar bergaya klasik. Tiang pancangnya besar–serupa istana di negeri dongeng dalam film-film yang kerap kulihat di televisi–langsung terlihat dari kejauhan. Kami melewati pagar setinggi dada orang dewasa saat memasuki pekarangan yang cukup luas. Ada dua buah pohon mangga besar, beberapa pohon cemara yang ditanam memanjang mengikuti jalan setapak yang sengaja dibuat sebagai jalan menuju serambi rumah. Aku melangkah diapit kedua orangtuaku. Seorang pria tua, memakai penutup kepala dari kain yang mirip jarit Ibu, mendekati kami.
“Non Septi … Den Aji …,” sapanya sopan.
Dia menunjukkan jempol kanannya, menyilakan kami pinarak di serambi. Ayah dan Ibu mengangguk, melangkah maju menuju kursi kayu yang tampak kukuh di serambi rumah. Ayah membimbingku duduk di pangkuannya setelah Bapak Tua itu memberi isyarat pada kami.
Tak berapa lama keluar seorang pria yang sudah lanjut usia. Dia memakai tongkat kayu dan sebuah cerutu besar terselip di sela jari tangan kirinya. Aku beringsut berusaha bersembunyi dalam dekapan Ayah. Pria tua itu tampak garang dan menakutkan. Tak ada senyum sama sekali di wajahnya.
“Untuk apa kalian datang! Sudah puas kalian berbuat dosa? Hah!” hardiknya pada kami.
Aku mengintip dari sela dekapan Ayah. Terdengar Ibu mulai menangis.
“Maafkan kami, Romo,” suara Ibu terdengar lirih.
“Iya, Ka–” Kalimat Ayah terputus.
“Setop, ra usah ngowong kowe! Bajingan! Setan kowe. Cukup!”
Ayah mendekapku erat, aku juga makin membenamkan wajah ke dalamnya. Semua gelap dan hanya suara tak jelas yang kudengar. Aku ikut menangis karena takut. Kukira pria tua itu pasti orang jahat. Lalu untuk apa mereka membawaku menemuinya?
Suara makin gaduh. Umpatan demi umpatan menghujani kami, kata-kata yang asing di telingaku yang diucapkan dalam bahasa Jawa kental. Aku dibesarkan di Kalimantan, bahasa sehari-hariku adalah bahasa Indonesia. Hanya sesekali Ibu bicara menggunakan bahasa Jawa, itu pun jarang.
“Kalian harus bercerai! Pisah! Sekarang juga! Jika kalian memang mau diterima di rumah ini kembali!” seru Pria Tua itu, dengan nada makin meninggi.
Tangis Ibu terdengar makin keras.
Ada apa ini? Mengapa Ayah dan Ibu harus berpisah? Mereka orang baik dan pasangan yang saling menyayangi. Aneh! Orangtuaku tak hendak melawan, mereka bungkam menghadapi semua hardikan.
“Kang Mas. Sudah cukup dukanipun.” Suara lembut seorang wanita terdengar.
“Ibu ….” Terdengar suara Ibu.
Aku mengangkat wajah, melihat siapa gerangan. Seorang wanita tua yang masih tampak cantik. Rambutnya digelung rapi, mengenakan setelan kebaya dan jarit. Dia mendekati kami.
“Siapa ini? Cah ayu ….” Tangan keripit itu menyentuh kepalaku.
“Anggi, Bu. Putri kami.” Ibu menjelaskan.
Wanita tua itu mengambilku dari pangkuan Ayah. Aku berusaha menolak, tetapi Ayah mengangguk seolah memerintahkan aku menurut padanya.
“Panggil aku Eyang, ya!” ucapnya saat menuntunku masuk ke dalam rumah.
Sejak hari itu aku tak pernah bertemu Ayah lagi. Aku tinggal di rumah besar ini bersama Ibu dan sepasang orang tua yang kini kupanggil Eyang Putri dan Eyang Kakung. Mereka baik tetapi mendidikku dengan keras. Mereka melarang aku bertanya apa pun yang berhubungan dengan Ayah. Setali tiga uang, Ibu juga bungkam. Sedangkan seluruh abdi dalam rumah seolah bisu ketika aku menyinggung masalah tersebut.
***
Sudah seharusnya Ayah datang hari ini. Besok aku menikah–aku muslim–dan butuh seorang wali ketika ijab kabul diikrarkan. Namun bersikeras Eyang Kakung tak bersedia jika Ayah datang.
“Izinkan dalem meminta hak, Eyang … kali ini saja. Setelah ini tak akan ada lagi pertanyaan meskipun puluhan ketidaktahuan menyiksa batin. Dalem mohon Eyang,” mohonku.
Eyang tak memberi jawaban, meraih sebuah buku besar dari deretan paling atas rak bukunya.
“Bacalah! Di mana aku harus menempatkan posisimu dalam silsilah keluarga kita? Jangan menuntut lebih banyak lagi, Nduk. Eyang sudah lelah untuk berdebat lagi.”
Aku meraih buku di atas meja, membalik halaman demi halaman hingga pada halaman di mana ada nama Ibu tetulis aku berhenti. Ada namaku di bawah namanya. Tetapi mengapa tak ada nama Ayah? Bukankah Ayah dan Ibu punya surat nikah yang sah?
“Eyang, kenapa tak ada nama Ayah di sini?”
“Gerakkan jarimu ke atas, Nduk.”
Aku mengikuti instruksi Eyang Kakung.
“Ya! Tepat di samping namaku.”
Seketika aku ternganga. Udara terasa sesak. Apakah ini jawaban dari semua pertanyaanku?(*)
Lutfi Rose, seorang Ibu yang akan berproses menjadi lebih baik bersama keempat buah hatinya.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata