Silam yang Tak Lekang

Silam yang Tak Lekang

Silam yang Tak Lekang 

Oleh : Dhilaziya

Dania terbatuk-batuk setelah seolah-olah sekarung debu berlompatan dari seikat koran lama yang dihempaskannya ke lantai. Kertas itu telah menguning dan berbau apak. Kata Bibi, garasi tempat dia menemukan koran lama itu dulu penuh dengan berbagai barang. Bibi Dania terakhir berkunjung tujuh tahun silam. Sayangnya meski rumah utama telah dikosongkan dan isinya berpindah memenuhi garasi, tetap saja tak ada seorang pun yang bersedia menyewa apalagi membeli rumah itu. Bisa jadi karena lokasi rumah yang tidak berada di tepi jalan besar walaupun terletak di pusat kota.

Dalam kunjungannya yang terakhir itu, Bibi bercerita bahwa dia sudah menyingkirkan semua barang. Namun ketika tadi malam berkata sudah waktunya Dania menengok rumah peninggalan orang tuanya itu, sepertinya Bibi lupa pada koran-koran yang masih mengepulkan debu di kaki Dania. Dania sendiri berpikir untuk membakar koran-koran usang itu setelah seluruh ruangan selesai dia bersihkan.

“Siapa tahu setelah kamu dan Damar menikah, kalian mau tinggal di sana. Rumah itu dekat dengan lokasi Damar bekerja, kalian bisa menghemat ongkos bensin dan tidak perlu mengontrak atau membeli rumah.”

“Kenapa aku baru dikasih tahu?”

“Sejujurnya aku masih berharap rumah itu laku. Tentu saja uangnya untukmu. Tapi lamaran Damar minggu lalu membuatku berpikir siapa tahu rumah itu memang menunggu kalian. Lihatlah lebih dulu, beri tahu kekasihmu jika kamu menyukainya.”

Seekor kecoa berlari dari laci sebuah meja tempat koran-koran lama itu berada sebelumnya saat tangan Dania mengibaskan serbet yang dia bawa dari rumah. Kecoa itu jatuh dengan posisi terbalik. Tubuhnya mengangkang sempurna, kaki-kakinya bergerak-gerak, seolah-olah meminta tolong. Dania sejenak berhenti dari mengelap meja, lantas berjongkok memusatkan perhatian pada makhluk hidup pertama yang ditemuinya di ruang berukuran enam belas meter persegi itu.

Tiga setengah menit yang hening dan Dania tahu amat jarang kecoa mampu membalik badannya setelah kecelakaan semacam itu. Dania berdiri kemudian dengan hati-hati menempatkan kepala kecoa di bawah sepatunya, lalu dengan satu gerakan mantap, dia membuat kepala kecoa itu lumat. Menggunakan dua jarinya, Dania menjepit antena kecoak tersebut, lalu melempar bangkainya melalui jendela di sebelah kiri ruangan.

Bersenjatakan kemoceng, Dania terus menyingkirkan debu, menggosok beberapa tempat dengan noda yang urung hilang sedikit keras menggunakan lap basah, menyingkirkan penanggalan dua puluh lima tahun lalu, dan mulai mengepel. Dari rumah, Dania sudah mengusung ember dan perlengkapan mengepel berikut satu galon air isi ulang untuk bersih-bersih. Kata Bibi, selepas Zuhur, akan ada mekanik yang akan mengecek listrik dan saluran air—mekanik yang katanya bertempat tinggal di ujung gang itu sekarang sedang membetulkan genteng yang melorot di rumahnya akibat hujan semalam.

Menyelonjorkan kaki, Dania duduk di halaman garasi sambil meneguk kopi kalengan. Matanya melirik tumpukan koran di sebelah kanannya. Koran paling atas bertanggal dua puluh Juli dua puluh empat tahun silam. Tajuk beritanya membuat Dania menggagalkan gerakannya kembali menyesap kopi.

Akhiri Penderitaan, Bos Pabrik Plastik Menembak Kuda Kesayangannya.

Dania melepaskan satu ekslempar koran paling atas dari ikatan, menepuk debunya, dan mulai membaca. Diceritakan di sana, seekor kuda terjebak dalam kebakaran yang melanda kandangnya. Sebenarnya kuda tersebut bukanlah satu-satunya hewan yang dimiliki si milyuner, tetapi hanya hewan itulah—yang kebetulan juga merupakan hewan kesayangan si milyuner—satu-satunya yang masih hidup saat si milyuner berlari dengan kaki telanjang mencapai halaman belakang rumahnya di malam naas itu. Sampai berita itu terbit belum ada informasi yang bisa disebut sebagai penyebab terjadinya kebakaran itu. Polisi masih bekerja, sementara tuan kaya raya terlihat menekuri jasad binatang kesayangannya yang terlihat gosong mengenaskan.

“Saya mengintainya dengan teropong, dan melihatnya begitu panik, begitu ketakutan. Terbakar adalah cara mati yang amat menyakitkan, saya tidak tega. Saya mencintainya.”

Kalimat itu memunculkan desah prihatin dan empati di hati Dania. Entah mengapa Dania menyepakati tindakan pemilik kuda, dan justru merasa lega sekaligus terluka melihat wajahnya yang berantakan, seperti baru saja diterjang badai.

Di sebelah kiri tajuk utama hari itu, memakan ruang yang lebih kecil, sepotong judul kembali memaku pandangan Dania.

Bocah Perempuan Korban Kekejian Ibunya Berhasil Selamat.

Sekali lagi Dania menyusuri kalimat-kalimat yang tertera di berita tersebut.

Setelah menjalani perawatan selama tiga hari, DS, berhasil melewati masa kritisnya. Rupanya bocah tiga tahun itu yang paling sedikit meminum racun dibanding kakak laki-laki dan adiknya. Ada jejak muntahan di kasur yang diduga berasal dari DS. 

Seperti diberitakan sebelumnya, seorang ibu mencekoki ketiga anaknya sekaligus dirinya sendiri dengan racun tikus tiga minggu setelah kematian suaminya. Diduga, si ibu terguncang jiwanya karena harus membesarkan tiga anak sendirian, ditambah dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa dia dalam keadaan hamil dua bulan.

Selanjutnya DS akan berada dalam pengasuhan adik dari ayahnya yang berdomisili di luar kota.

Dania membuka lipatan koran, dan mencermati foto sebuah rumah yang diambil dari depan. Bentuk jendelanya sama dengan yang tadi sempat dilihatnya ketika pertama kali tiba di rumah ini. Tanpa diundang, beberapa fragmen bergambar bergiliran singgah di benaknya, memperlihatkan Dania kecil yang histeris oleh mimpi buruk; pelukan bibinya; seorang wanita bersuara lembut yang rajin mengantarkan pil-pil yang harus dia habiskan.

Dania Sudrajat merasa oksigen lenyap dari udara. (*)

DZ.15082021

Dhilaziya. Perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

Leave a Reply