Siaran Pandangan Mata Pertandingan Sepakbola

 

Siaran Pandangan Mata Pertandingan Sepakbola


“Argentina pasti kalah. Inggris akan menang besar.”

“Tidak? Argentina yang menang ….”

“Ya, sebab Maradona sangat berbakat. Ia pasti menciptakan keajaiban.”

“Kau lihat, betapa tangguhnya Peter Shilton di bawah mistar gawang!”

“Tapi dia juga manusia. Manusia bisa saja berbuat kesalahan!”

“Tentu, semua manusia bisa berbuat salah. Tapi Peter seorang kiper kawakan yang sangat berpengalaman.”

Percakapan demi percakapan mengalir bahkan justru lebih seru sebelum pertandingan dimulai. Sebuah televisi hitam putih diletakkan di tengah-tengah lapangan, semua orang berkerumun dan berkumpul untuk menyaksikan siaran langsung pertandingan perempat final Piala Dunia 1986. Mendadak banyak pengamat “dadakan” yang biasanya hanya menonton pertandingan sepakbola lima tahun sekali.

Pertandingan telah di mulai. “Priiiiiit”, wasit telah meniup peluit dan para pemain dengan gesit langsung mengejar si kulit bundar. Di layar televisi, suara komentator mengikuti setiap pergerakan pemain dan bola, ke arah mana mereka bergerak, ke mana arah bola mengalir. Mulutnya tidak berhenti-henti berbicara, melaporkan siaran pandangan mata jalannya pertandingan sepakbola.

Sesekali komentator berteriak jika gawang nyaris dibobol. Tapi suaranya akan berbalik datar jika bola hanya bolak-balik dan tidak pernah melewati garis gawang. Lalu ia berteriak kembali jika ada pemain yang melakukan kecurangan atau bertindak kasar atau hampir menciptakan momen indah yang di depan gawang. Begitu seterusnya, seterusnya dan seterusnya, seolah mata dan mulutnya adalah sebuah kamera yang bergerak. Dan mata para penonton akan semakin gelisah jika pemain kesayangannya melakukan kesalahan, atau melantur jika salah operan dengan menendang tidak tepat sasaran.

*

Wak Udin membakar rokoknya. Ia tengah gelisah, taruhan uang 50 ribu terasa sangat besar untuknya, saat ekonomi sedang dilanda resesi. Tapi rasa gengsi tidak dapat dikalahkan, atau surut dengan akal sehat sebab Pak Dullah tadi sore menantang. Ia adalah musuh besarnya dalam persaingan memperebutkan Ceu Lilis, seorang janda cantik, pedagang gado-gado.

Wak Udin selalu memegang Inggris, siapapun lawannya. Pak Dullah memegang Argentina, bahkan ia percaya, bahwa Maradona adalah tuhannya sepakbola. Hanya satu kesamaan yang mereka miliki, sama-sama ingin memiliki Ceu Lilis, janda cantik yang tubuhnya masih ranum dan segar.

Di samping Pak Dullah, duduk bersila, Roni, seorang pemuda yang sudah tiga tahun menganggur. Ia bukan pendukung Inggris atau Argentina. Di matanya hanya Der Panzer atau Jerman barat yang patut jadi juara. Jadi di sini ia bukan untuk menonton sepakbola melainkan hanya untuk mencari rokok gratis. Dan ia sangat tahu, sepakbola adalah peluangnya untuk menyambung asap rokok jika mulutnya mulai terasa asam. Kadang ia meminta pada Wak Udin. Kadang sesekali juga tangannya diam-diam bergerilya, mengurangi sebungkus rokok milik Pak Dullah yang tergeletak di depan kaki lelaki berkumis tebal itu. Pak Dullah adalah seorang duda yang telah tiga tahun ditinggal mati isteri tanpa anak.

“Maradona menggiring bola, lalu ia melewati tiga pemain, lalu ia berlari kencang untuk mendahului bek lawan, Saudara … Dan, Maradona terjatuh, tackling keras yang dilakukan lawan telah menghentikan serangannya ….”

“HUUUUUUUUU,” suara penonton pendukung Argentina bersorak kecewa, tapi pendukung Inggris sedikit lega.

Maradona lalu mengambil tendangan bebas yang terukur dan salah seorang kawannya bergerak lincah menjemput dan menyundul bola ….

“Gooooool!” Bola melesat sedikit saja di atas tiang gawang, Peter Shilton dengan reflek yang bagus berhasil menepisnya. Penyelamatan yang gemilang.

“Sialan. Hampir aja,” sahut Pak Tedja, tapi duduk selonjor di belakang Wak Udin dengan senyum yang hampir berbunga-bunga.

Roni permisi pamit, ia ingin buang air sebentar. Pak Dullah hanya mengangguk, tapi matanya tidak pernah lepas dari kaki kiri Maradona yang sedang menggiring bola.
Pertandingan berjalan seru. Argentina dengan gaya Tango-nya yang mengalir, berusaha memborbardir gawang Inggris. Sebaliknya, Gary Lineker dan kawan-kawannya yang lebih mengandalkan kecepatan dan kekuatan, berusaha melakukan serangan balik yang mematikan.

Maradona berkali-kali jatuh dijegal dan berkali-kali pula ia segera bangun. Ia tidak pernah patah semangat. Ia mampu berlari maju-mundur tanpa lelah untuk mengatur serangan. Kali ini ia tidak menjadi striker, mungkin sang pelatih menunjuk dia untuk menjadi gelandang serang. Tetapi itu adalah pilihan yang lebih baik baginya jika tidak ingin tulang kakinya patah atau tubuhnya hancur lebur diserang lawan saat pertandingan. Ia belajar dari pengalamannya lima tahun yang lalu. Dengan menjadi gelandang serang ia lebih mendapat banyak ruang untuk menciptakan peluang. Ia terus bergerak dan terus berlari mengejar bola. Kali ini lelaki itu terlibat dalam sebuah perebutan bola di udara, jelas ia pasti kalah sebab lawannya jauh lebih tinggi.

Tapi ….

“Goooool …,” entah bagaimana si bogel itu berhasil memenangkan duel udara. Bola berhasil menceplos ke dalam gawang. Wasit meniup peluit, gol dianggap sah. Skor berubah, Argentina 1-Inggris 0.

Di kesempatan yang sama, Roni yang mengendap-endap tidak ingin diketahui tetangga juga berhasil menjebol gawang Ceu Lilis. Kedua orang itu berteriak setelah mendapat orgasme mereka yang pertama. Tak ada yang mendengar suara berisik mereka.

Pemain Inggris di tengah lapangan sedang berbagi bola untuk memulai serangan dan Roni juga mulai mengumpulkan napas untuk memulai serangannya yang kedua. Ceu Lilis betul-betul haus kehangatan. Serangan demi serangan yang dilancarkan Roni membuat ia mendesah, mengerang, menikmati permainan dengan mata terpejam.

*

“Sial! Itu gol yang tercipta lewat tangan,” gumam Pak Dullah dalam hati, “bukankah itu seharusnya itu handsball!”

“Bagus, meskipun bola terkena tangan tetapi wasit kurang teliti, hehehe,” Wak Udin berteriak girang dalam hati.

Suasana memanas di lapangan sepakbola. Suasana juga memanas di antara pendukung dua kesebelasan. Suasana yang berbeda juga semakin lebih panas. Roni dan Ceu Lilis, kedua insan itu memacu tubuh lebih cepat untuk segera menuntaskan nafsu mereka. Keringat kedua insan itu mengucur deras sebagai mana keringat para pemain yang sedang berjuang memetik kemenangan.

“Gooooooooool”

Tiba-tiba penonton satu lapangan berteriak. Maradona membuat keajaiban. Ia meliuk-liuk, mengecoh dan melewati beberapa pemain sekaligus, dan kemudian mampu memperdaya Peter Shilton. Lalu si kulit bundar masuk ke dalam gawang dengan sebegitu mudahnya.

Peter tertunduk lesu. Wak Udin juga menunduk lesu. Tapi Roni menunduk lemas kelelahan, ia baru saja menutup bagian kedua dengan sempurna.

Roni buru-buru berpakaian sebelum warga sekitar mengetahui perbuatan asusila mereka. Ceu Lilis masih terbaring lemas. Tubuhnya masih terasa pegal, terutama di bagian paha.

Di stadion Azteca, pendukung Argentina mengelu-elukan Maradona yang menjadi pahlawan pada pertandingan itu. Ceu Lilis buru-buru bangkit dari kasur sambil tertatih-tatih, memeluk tubuh Roni dari belakang dan mencium pipi lelakinya.

Sebelum suara riuh, gelak tawa dan kecewa, Roni buru-buru menghilang ditelan gelapnya malam.

Di lapangan, Wak Udin dengan muka lesu menyalami tangan Pak Dullah. Uang 50 ribu segera pindah dari dalam dompetnya ke genggaman Pak Dullah. Dan Pak Dullah dengan wajah sumringah langsung menyimpannya ke balik lipatan kopiah. Rencananya, malam Minggu ia akan mengajak Ceu Lilis jalan-jalan ke pasar malam.

Ia tidak tahu, perempuan yang diincarnya sudah bunting dua bulan. ©

KarnaJaya, 10 Desember 2020.

Leave a Reply