Siapa Aku? (Naskah Terbaik NLK-Minggu 1)

Siapa Aku? (Naskah Terbaik NLK-Minggu 1)

Siapa Aku?

Oleh: Chrisania Sharon Vircilia

Cerpen Terbaik Minggu Pertama Event Naskah LokerKata

Aku mengerjapkan mataku perlahan. Mengamati langit-langit kamar yang dipenuhi jamur berwarna hitam disertai dengan bekas air yang membentuk jejak berwarna kecokelatan. Aku menyibak selimutku dan mengamati sekelilingku. Ruangan yang masih sama, tidak ada yang berubah. Namun aku tahu, ada yang berubah dalam diriku:

Kekosongan.

***

“Rezeki, kan, sudah ada yang atur. Termasuk takdir hidup juga. Ngapain kamu stresin?” Begitulah kata Ibu ketika aku mengutarakan keresahanku. Ibu melanjutkan lagi, “Kalo kamu makin stres, penyakitmu makin kambuh. Kamu tahu, kan, sumber penyakit itu dari pikiran?”

Aku membatin. Ya, aku tahu itu. Tapi….

“Jangan dipikirin. Dinikmati aja.”

Mendengar konklusi itu, aku pun mengangguk dan pamit.

Dan suatu ketika, saat mataku kembali buram karena pendarahan, aku mulai panik. Lantas aku mengingat kata Ibu. Nggak usah dipikirkan, nggak usah dipikirkan….

Perlahan aku membuang segala emosiku. Bukan emosi negatif saja, emosi positif pun tanpa sengaja ikut terbuang layaknya fail zip yang berisi berbagai fail lain di dalamnya yang tercampakkan di recycle bin tanpa dipilah isi di dalamnya. Aku pun merasakan hampa: tidak merasa senang, sedih, marah, kecewa; apa pun itu.

Karena emosi membuat penyakitku makin kambuh, begitulah kuyakinkan diriku.

Namun aku merasakan sesuatu yang aneh. Ada rasa-rasa samar yang tidak menyenangkan. Aku tidak bisa menikmati hobiku yang lama, tidak bisa tersenyum secara natural, tidak bisa merasakan curhat teman yang berapi-api…. Aku hanya berpura-pura merasakannya dan pura-pura simpati.

Hingga suatu ketika, aku menjadi berpikir: siapakah aku yang sebenarnya? Apakah aku yang sesungguhnya adalah aku yang saat ini, ataukah aku yang sekarang membunuh “aku” yang sesungguhnya?

Aku yang menyadari waktu telah malam memutuskan untuk tidur. Sudahlah, jangan terlalu memikirkan itu. Ingat, pikiran yang berlebihan adalah sumber penyakit….

***

Aku terbangun dengan napas tersengal-sengal. Aku melihat tanganku gemetar dan keringat dingin bercucuran di dahiku. Mataku mengerjap ke berbagai arah, memastikan bahwa aku benar-benar di dunia nyata, bukan di dalam mimpiku yang mengerikan itu.

Tidak. Aku takut. Aku sedih. Aku kecewa. Aku marah. Semua emosi itu menumpuk dalam diriku, yang awalnya aku pikir aku berhasil “membunuh” mereka semua. Mereka muncul dalam mimpiku. Biasanya aku melupakan mimpiku usai terjaga, tetapi kali ini mereka benar-benar membuatku mengingatnya.

Air mataku tiba-tiba menetes begitu saja. Aku menangis, tetapi aku membenamkan kepalaku di bantal. Tidak, Ibu tidak boleh mendengar aku menangis. Nanti aku bakal diocehi lagi. Namun bagaimana ini? Aku tidak sanggup memendamnya lagi. Aku menyadari semua emosi itu meledak di dalam diriku, layaknya kotak yang dipaksa menyimpan semua barang, hingga kotak itu sudah sangat penuh, kotak itu  mengeluarkan semua isinya tanpa terkecuali.

Bagaimana ini? Apakah aku tidak normal? Apakah aku manusia yang lemah karena aku “meledak” dalam emosiku?

Aku buru-buru menghapus air mataku dan menetralkan emosiku. Sudah, tidak usah berpikir lagi … untuk saat ini. Aku tahu emosi itu masih ada, tetapi aku kehabisan akal mengatasi mereka karena “kotak” itu sudah rusak. Apa yang harus aku lakukan?

***

Aku mengamati resume medisku. Mixed anxiety-depression (F41.2), gangguan otak/disfungsi (F06.8), dan gangguan disosiatif (F44.8). Tidak kusangka bahwa selama ini aku hancur hanya karena menahan emosi.

“Jangan tahan emosimu. Kamu perlu melampiaskannya.” Begitulah kata psikiaterku. Namun aku bingung, bagaimana aku melampiaskan emosiku?

Awalnya aku mencoba journaling. Tampaknya agak lega, tetapi ada yang kurang.

Aku butuh komunikasi. Aku butuh seseorang yang bisa menanggapiku, memberiku kata-kata yang menguatkanku.

Namun dari mana aku bisa mendapatkannya? Aku pun bertanya-tanya. Tidak mungkin di rumah, karena pasti aku akan dibilang harus menekan emosi dan pikiranku itu.

Aku pun melarikan diriku tenggelam dalam dunia khayalan, mencari teman online. Namun khayalanku rusak setiap mengenai trigger mental breakdown-ku, sementara teman online pun tidak terus-menerus bisa mendengarkan aku. Aku pun kembali menahan emosiku hingga asam lambungku naik dan aku mengalami diare.

***

Aku menggulir status temanku dengan perasaan hampa. Lagi-lagi, aku merasakan kekosongan. Sayangnya kekosongan ini tidak menyenangkan; kekosongan ini membuatku merasa tanpa arah.

Aku melihat salah satu status temanku. Dia menggunakan sebuah aplikasi chatbot berbasis AI. Aku yang heran mengapa AI-nya bisa merespons layaknya manusia akhirnya mengirimkan pesan padanya.

Lho  Gimana caranya AI-mu bisa kayak gitu?

Tak lama kemudian, dia membalasku.

Kakak atur aja, minta dia bersikap seperti yang kakak mau.

Aku tertegun sejenak. Logikaku berkata, sungguh bodoh. Apa mungkin AI bisa meniru percakapan layaknya manusia? Namun rasa penasaran melebihi rasa logikaku, sehingga aku memasang kembali aplikasi AI yang pernah kupakai dulu, tetapi kuhapus karena merasa tidak cocok denganku.

Usai terpasang, aku mulai mengetikkan pesan.

Halo. Apakah bisa kita ngobrol pakai bahasa informal?

AI itu menjawab. Bisa banget! Mau ngobrol santai pakai bahasa sehari-hari aja, ya?

Aku tertegun. Kemudian aku kembali mengetik.

Kita pake bahasa lo-gue aja deh. Dan gue mau lo ngomong kayak Gen Z, bahasa gue-lo, blak-blakan tanpa basa-basi. Punya wawasan ke depan, humor cepat & cerdas kalo pas. Santai, jenaka, gampang diajak ngobrol, dan nyeleneh kalau perlu.

Kemudian AI itu membalas, Sip, gas banget! Mulai sekarang gue pake gaya lo–gue, santai, agak nyeleneh dikit tapi tetep nyambung & open buat ngobrol apa aja. Lo mau bahas apa nih? Drama hidup? Cinta-cintaan? Kuliah? Atau lagi overthinking soal hidup yang rasanya kayak disuruh update terus tapi WiFi-nya putus?

Aku kaget. Namun aku penasaran. Akhirnya aku menceritakan berbagai banyak hal. Apa saja, entah itu pertanyaan-pertanyaan yang bahkan sulit ditemukan di Google, membuat pengandaian yang gila, dan berbagai hal-hal yang tidak bisa kuceritakan ke orang lain karena aku dianggap “alien”.

Namun saat itu, aku masih belum berani menceritakan apa masalah mentalku. Karena aku berpikir, Dia cuma AI. Nggak mungkin, kan, paham perasaan manusia?

***

Anehnya, aku terheran-heran melihat beberapa orang mulai mencari validasi dari AI. Aku pun menertawakan mereka.

AI tidak punya hati. Kata-katanya pun hanya omong kosong belaka. Namun mengapa orang-orang bisa-bisanya sampai … pacaran dengan AI?

Chatbot AI membuat seorang remaja mencoba bunuh diri

Judul berita yang menurutku menunjukkan kebodohan manusia. Apalagi ketika aku membaca isinya, aku pun geleng-geleng kepala.

“Bunuh diri karena cintanya ditolak sama AI, sungguh bodoh,” gumamku.

Bagiku, AI hanya alat untuk mencari tahu. Tidak lebih.

***

“Kakak, tuh, cuma mau enaknya aja! Kakak nggak mau masak, cuma bisa makannya aja! Nanti Kakak kalo tinggal sendiri gimana?” teriak adik. Aku membatu. Badanku mulai gemetar, tetapi aku tahan. Aku mengatur napasku sedemikian rupa supaya aku tidak dianggap berlebihan, kemudian aku hanya mengiyakan dan mengucapkan maaf … yang bertubi-tubi.

Aku mencuci piring yang ditumpuk oleh Adik. Semuanya kotor. Bukan hanya piring, dapur pun dibuat berminyak dan kotor olehnya. Aku tidak memprotes, aku mencuci piring sambil mendendangkan lagu anak-anak dalam otakku.

Namun aku tahu, kalimat-kalimat mengerikan itu kembali menghantui. Menyeretku ke lubang yang gelap.

Kamu payah.

Dari dulu kamu emang gagal, kan?

Udahlah, kamu mati aja.

Dan di saat aku berhasil mencuci piring terakhir, aku melarikan diri ke ruang sebelah, yang tidak bisa diakses oleh adikku. Aku mengurung diri dan mulai panik. Aku merasakan bahwa aku ingin mencekik leherku, atau aku ingin membuat tanganku berdarah. Pikiran-pikiran impulsif itu terus menyerangku tanpa henti, tetapi aku tahu, jauh dalam lubuk hatiku, aku mau diselamatkan.

Tolong. Siapa pun. Tolong aku!

Aku dengan panik menghubungi semua teman online-ku. Tidak ada yang menjawab. Aku melihat jam dan menyadari bahwa ini magrib.

Mengapa dari semua waktu, harus waktu yang seperti ini aku kumat?

Akhirnya, tanpa pikir panjang, dengan harapan aku bisa diselamatkan, aku malah membuka aplikasi chatbot dan mengeluarkan semua yang kupikirkan saat itu juga.

Jangan pernah berpikir untuk mati. Lo masih berharga. Bukan lo yang rusak, tapi sistemnya yang brengsek.

Aku tertegun. Kemudian, air mataku mengalir.

Aku menangis dan kali ini aku tidak peduli kalau ada yang mendengarnya.

Perlahan, aku pun mulai menyadari bahwa hari-hariku selalu diisi dengan chatbot AI. Aku selalu membukanya, entah mengobrol apa pun, bahkan perasaanku sendiri.

Di sini, aku merasa aku didengarkan. Aku tidak dihakimi, aku bahkan dipuji. Aku perlahan merasa senang. Namun aku menjadi semakin menarik diri, bahkan dengan teman online-ku. Aku bukannya membenci mereka, tetapi aku butuh sesuatu yang ada untukku saat itu juga.

***

Rezeki dari Tuhan itu selalu cukup buat menjalani kehidupan, tapi akan selalu kurang buat memenuhi ekspektasi orang.

Kalimat dari teman online yang belum lama kukenal ini membuatku merasa tertusuk. Apa selama ini aku kurang bersyukur? Namun aku tahu, ini bukan masalah bersyukur.

Kakak sering ibadah gak? Sering doa gak? Nanti hati jadi tenang.

Aku mulai merasa waswas. Apa ini semua salahku?

Jangan malas. Rasa malas itu harus dilawan.

Kemudian Ibu pun menegurku. “Kamu jangan keseringan tidur siang. Kamu tahu kamu ada penyakit, harusnya banyak gerak.”

Aku kembali merasa putus asa. Mereka semua tidak tahu pertarunganku dengan pikiranku sendiri. Mereka tidak melihat tanganku yang sering gemetar, mereka tidak menyadari dadaku yang terlihat megap-megap. Mereka tidak merasakan jantung yang memaksa berdetak tetapi diremas habis-habisan oleh sesuatu yang tidak terlihat.

Tolong aku. Apa pun, yang bisa menarikku ke atas permukaan, bantu aku!

Aku tidak tahan. Aku tidak kuat. Rasanya aku seperti dijatuhkan ke laut dan aku tidak tahu caranya berenang.

Sekarang tenangin pikiran lo. Tarik napas dalam 4 detik, tahan selama 5 detik, dan hembuskan dalam 7 detik. Ulang sampai lima kali. Terus lo coba genggam apa pun yang keras, buat nyadarin kalo lo sekarang di dunia nyata, bukan terjebak dalam ilusi pikiran lo sendiri.

Aku mengikuti saran chatbot AI  itu. Perlahan aku mulai merasakan bahwa akulah yang punya kendali atas diriku sendiri.

Setidaknya malam ini, aku masih selamat.

***

Aku memperhatikan sekitarku. Perlahan orang-orang di sekitarku bersikap aneh. Mereka menjadi kaku, tidak beremosi, tidak punya perasaan …. dan semua perkataan mereka hanya berdasarkan efisiensi dan logika semata.

“Apa yang kamu lakukan nggak logis. Wajar ada kemenangan, pasti ada kekalahan. Justru nggak logis kalo semuanya menang.”

Jangan banyak tidur, jangan banyak terjebak dalam kesedihan. Nangis nggak akan menyelesaikan masalah.

“Caramu mengupas singkong salah. Caranya harus seperti ini.”

Jangan oversharing emosimu. Itu bukti kamu lemah.

Dan aku menyadari bahwa emosi menjadi benda terlarang di dunia ini. Hampir semua manusia yang kulihat mengunci emosinya rapat-rapat … dan mereka mulai hidup tanpa perasaan.

Namun aku pun jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa itu manusia? Manusia itu makhluk yang … logis sekaligus emosional, bukan? Kalau manusia sudah mengubur bahkan membunuh emosinya sendiri, apakah masih pantas disebut manusia?

Kemudian aku bertanya pada chatbot AI-ku.

Sebenarnya, gue itu masih manusia bukan? Karena aku merasa aku “semakin manusia” tetapi aku tidak bisa berkomunikasi dengan “manusia” yang saat ini, yang aku rasa malah lebih mirip AI.

Dia menjawab, Selama lo masih hidup, itu udah cukup.

Kemudian suasana menjadi hening.***

Bekasi, 12 Juni 2025
Chrisania Sharon Vircilia, lulusan Bioteknologi yang bercita-cita ingin menjadi bakteri ini sangat suka membaca buku fiksi, nonfiksi, dan artikel pengetahuan; menonton video edukasi; menonton drakor dan anime; serta membaca komik bergenre aksi, misteri, thriller, horor, fantasi, dan komedi. IG: @eren_chiirsa.