Si Secawan Madu

Si Secawan Madu

Si Secawan Madu
Oleh: Fitri Fatimah

Pertemuanku dengannya mirip adegan klasik di sinetron-sinetron: aku yang tergesa-gesa melewati koridor sekolah karena takut telat pelajaran pertama, membenturnya yang sedang berjalan dari arah berseberangan. Buku di dekapanku berhamburan. Oh Tuhan, pagi yang buruk, keluhku waktu itu sebelum mendongak untuk melihat siapa yang sudah kubentur. Bahkan dia sudah baik sejak sebelum kami memperkenalkan nama masing-masing. Alih-alih marah karena sudah kubentur, dia malah membantuku mengumpulkan buku-buku. Alih-alih aku yang mestinya minta maaf, kata maaf itu malah lebih dulu meluncur dari mulutnya. Memangnya minta maaf untuk apa? aku membantah. Kubilang, aku yang seharusnya minta maaf duluan. Aku kan yang sudah bersalah menabraknya.

Aku bertanya-tanya apakah dia adalah anak baru karena wajahnya tampak asing. Pertanyaanku kemudian terjawab dengan sendirinya saat dia bertanya di mana kantor kepala sekolah. Dia bilang dia belum mengenal tempat ini.

“Oya, namaku Sena,” sambil dia mengulurkan tangan.

“Aku Sila.” Aku menjabat tangannya. Saat akhirnya dia berlalu ke arah jalan yang sudah kutunjuk, dia sempat berbalik dan berkata, “Senang bertemu denganmu. Sampai jumpa.”

Ya, aku juga Senang bertemu denganmu dan semoga benar-benar berjumpa kembali.

***

Entah itu hanya basa-basi keramah-tamahan, tapi salam perpisahannya benar-benar terkabul. Tak sampai lima belas menit, kami benar-benar berjumpa lagi. Dia diantar kepala sekolah ke kelasku. Kepala sekolah memperkenalkannya sebagai murid baru pindahan dari sekolah negeri ternama. Pindah ke sini karena ikut ayahnya yang mutasi dari kantor lamanya. Dia memperkenalkan diri, membuat kelas tiba-tiba jadi riuh, terutama oleh bisik-bisik murid perempuan yang gaduh bertanya, “Dia sudah punya pacar, belum? Bagaimana tipe gadis kesukaannya?”

Biasanya aku akan menganggap gadis-gadis yang bertanya seperti itu sebagai gadis centil. Tetapi khusus kali ini rasanya aku bisa memaklumi. Bahkan rasanya aku juga ingin bertanya hal yang demikian. Karena makhluk yang bernama Sena itu, yang menjadi pusat perhatian seisi kelas, adalah makhluk Tuhan yang cakap luar biasa.

***

Saat bel istirahat berbunyi, murid-murid mengerubunginya. Semua berebut perhatiannya. Tak ketinggalan murid-murid perempuan yang tadi berbisik gaduh, mengelilinginya seperti pagar besi, seperti dia adalah secawan madu yang menjadi pusat kawanan lebah. Aku beringsut mundur. Awalnya aku berniat mengantarnya tur keliling sekolah: menunjukkan tempat-tempat seperti kantin, perpustakaan, jalan ke toilet, halaman belakang sekolah yang dipenuhi pohon-pohon rindang—cocok untuk tempat santai sambil membaca buku atau sekalian tidur—dan juga atap sekolah yang meski aku belum pernah mengunjunginya, tapi santer kudengar kabar adalah tempat persembunyian paling strategis untuk membolos. Aku mau mengantarnya ke mana saja. Aku bisa mengantarnya ke mana saja dan ini bukan sekadar basa-basi keramah-tamahan. Tapi … melihat semua kerumunan itu, siapalah aku dibanding mereka. Mereka si cantik, aku si jelek. Mereka tampil seperti model pragawati, dengan sekolah adalah panggung fashion show. Sementara aku tampil apa adanya, sangat apa adanya sampai tidak ada apa-apanya: cupu, tidak sedap dipandang, si itik buruk rupa, kutu buku. Kalau Sena disuruh memilih antara Sophia Latjuba dan korban anoreksia, manalah mungkin dia memilihku. Manalah mungkin dia memilih sumpit ketimbang gitar Spanyol. Aku bisa menerima keputusannya, kok. Kecewa tak usah ditanya. Cukup sering aku mendengar ejekan yang mengata-ngatai penampilanku. Aku tidak menampiknya, tapi tak lantas berlapang dada menerima setiap ejekan itu. Meski itu benar sekalipun. Dan membayangkan Sena mungkin lebih memilih mereka ketimbang aku karena alasan rupa, dan mungkin hari esok dia juga akan mengejekku seperti mereka, sedihku makin berlipat ganda. Akhirnya aku menghabiskan waktu sendirian, tak ada tugas sebagai guide, tak ada teman baru.

***

Di luar dugaanku, ketika aku akhirnya kembali ke kelas sehabis istirahat, Sena menghampiriku. Dengan wajah merengut lucu yang tak ada cocoknya sama sekali dengan citra cowok cool, dia berkata, “Kamu ke mana tadi? Kenapa ninggalin saya sendiri? Saya dibiarin mati gaya sama cewek-cewek itu. Saya masih baru, enggak kenal seorang pun di sekolah ini. Di sini saya cuma punya kamu.”

Rentetan kata-katanya membuatku terkejut sekaligus tersanjung. Bagaimana tidak? Orang yang kukira tak akan ada bedanya dengan mereka yang sering mengejekku ternyata … menganggapku penting? Untuk pertama kalinya sejak hari ini—sejak hari pertama aku sekolah di sini bahkan—aku tersenyum.

***

Aku terbiasa sendiri, bukannya aku menghindar, tapi mereka yang menjauhi. Tak ada yang mau berteman dengan gadis cupu. Gadis cupu yang memakai kacamata setebal tapal kuda, yang pipinya dipenuhi jerawat sebesar biji jagung, yang tinggi kurus ceking seperti tiang bendera, yang ke mana-mana lebih sering berkutat dengan buku daripada gadget. Mereka tak mau bergaul dengan anak yang tak sepadan dengan mereka. Kalaupun akhirnya mereka mendekat itu karena ada udang di balik batu. Ada PR di dalam buku. Biasanya mereka hanya mau memanfaatkanku untuk mengerjakan tugas-tugas mereka. Tapi akhir-akhir ini ada yang berbeda. Ada seseorang yang rupanya mau dengan tulus berteman denganku. Seseorang yang tak keberatan dengan penampilan kacauku. Seseorang yang kalau dia mau dia bisa-bisa saja bergaul dengan murid-murid populer di sekolah ini. Tapi dia malah memilih berkarib denganku, makan di kantin bersamaku, pulang sekolah bersama, ngobrol bersama, belajar bersama, tanpa memerdulikan perbedaan di antara kami yang seperti langit dan tanah. Bahkan dia juga selalu baik padaku: ketika aku terjatuh, dia tidak tertawa sepeti yang akan mereka lakukan. Dia membantuku bangun. Dia baik sekali, begitu baik sampai membuatku tak ingin jadi sekadar temannya. Dia adalah Sena, si secawan madu.

***

Suatu hari, iseng aku bertanya, “Kamu sudah punya pacar?”

Kepalanya menggeleng.

“Kalau tipe gadis kesukaanmu?”

“Emm … gadis yang pintar.”

“Bukan yang cantik?”

“Bukan. Kalau cantik mesti artis dong.” Lalu dia tertawa. “Emm … soalnya cantik itu cuma kemasan luar, bisa didapat secara praktis. Kalau pintar enggak bisa praktis. Mesti rajin belajar. Saya suka gadis yang tekun dan mau berusaha keras.”

Di dalam hati aku ingin menjerit kegirangan, berpikir aku mungkin punya peluang.

***

Tadi malam aku begadang, belajar sampai mata rasanya mau juling. Ada lingkar hitam di bawah mataku. Sudah jelek tambah jelek. Tapi biar, dia kan tidak keberatan dengan gadis jelek. Ini juga makin jelek supaya tambah pintar. Supaya ….

Dia bertanya apa aku sakit karena mukaku pucat. Mungkin maksudnya aku seperti zombie.

“Ayo saya antar ke UKS, dari pada kamu pingsan di sini mending kamu istirahat di sana saja.”

Aku menolak. Kalau aku ke UKS, nanti aku ketinggalan pelajaran. Dia lalu mengulurkan minyak kayu putih padaku. “Supaya baikan,” katanya sambil tersenyum. Senyum yang rasanya lebih ampuh dari kayu putih.

***

Mungkin seperti proses bunga, dari kuncup jadi mekar, dan mekar tak selamanya merekah. Mekar bakal layu, kering, berguguran. Dan ini adalah hari ketika angan-anganku berguguran. Hari ketika angan-anganku dihempas ke tanah. Harusnya tak pernah kulambunggkan angan-angan itu. Perasaan itu membuatku jadi berpikiran tidak rasional. Mestinya aku tahu, di mana-mana tak ada ceritanya si itik buruk rupa bersanding dengan sang pangeran. Kecuali si itik berubah jadi angsa.

Kukira dia dapat menerimaku apa adanya, tanpa aku perlu jadi siapa-siapa, tanpa aku perlu berubah jadi angsa. Kukira cukup seperti inilah yang dia mau. Nyatanya, aku melihat Sena bergandengan tangan dengan Lisa, gadis di kelas kami yang tak hanya cantik tapi juga pintar. Dia menatap Lisa dengan tatapan yang tak pernah dia tujukan padaku: tatapan mendamba. Lihat, dari tatapan saja mestinya aku sudah tahu. Aku saja yang naif. Dia menyukai gadis pintar, bukan berarti dia benci gadis cantik. Kalau ada gadis pintar sekaligus cantik, kenapa tidak? Itu seperti mendapat paket komplet.

Aku sering berpikir, karena aku tidak cantik setidaknya aku harus pintar. Sejak aku bertemu Sena aku semakin berpikir bahwa cantik itu urusan kesekian. Yang utama adalah pintar. Nyatanya, menjadi pintar tidak cukup menarik perhatianmu, ‘kan?

***

Aku duduk di atap sekolah. Melihat birunya langit yang terbentang tanpa batas. Ini adalah tempat yang belum sempat kutunjukkan pada Sena. Lagi pula dia tidak tampak seperti murid yang butuh tempat untuk membolos. Dulunya aku juga tak butuh tempat ini. Tapi akhir-akhir ini tempat ini menjadi tempat pelarian terbaikku. Aku sedang menghindari Sena. Tak mungkin berada di dekatnya kalau aku tak mau makan hati karena cemburu.

Aku hanya bisa merutuki kebodohan. Sena itu memang orang baik, dia baik pada siapa saja. Aku saja yang salah mengartikan kebaikannya.

Hah, hela napasku terasa berat.

Mestinya dia jangan baik padaku.

 

Sumenep, 2016.

Fitri Fatimah, kelahiran Sumenep, suka membaca dan mencoba menulis. Ia sering menghalu dengan ngelunjak.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply