Si Penjual Sapu Lidi

Si Penjual Sapu Lidi

Si Penjual Sapu Lidi

Oleh : Jeevita Ginting

 

Saya kembali mendengar keributan dari dalam rumah bercat kuning itu. Seseorang sepertinya sedang memaki, dan yang lainnya menyanyi dengan nada yang benar-benar tak enak didengar. Selain itu, juga terdengar teriakan-teriakan yang begitu memekakkan telinga. Sudah pasti ada sesuatu yang tak beres dengan satu keluarga itu, sebab tiap saya lewat pasti ada saja keributan yang terdengar. Namun anehnya, orang-orang di sekitar sini semuanya tak acuh. Barangkali itu karena mereka memang sudah terbiasa dan sengaja menutup mata dan telinganya.

Tak lama, seorang perempuan keluar dari dalam rumah itu. Sesuatu yang sangat langka bagi saya, sebab selama setahun penuh berkeliling jualan sapu lidi di daerah sini, tak sekali pun saya melihat seseorang keluar atau masuk dari rumah itu. 

Saya pun mendekatinya, dan menawarkan barang dagangan. “Sapu lidinya, Mbak. Dijamin awet ini.”

Perempuan itu bengong. Dia diam memandang saya dengan tatapan kosong. 

“Mbak?” Saya pun mencoba kembali menyapanya.

Dia tetap diam. Lalu, tanpa ba-bi-bu, perempuan berambut panjang itu lekas masuk ke rumah dengan tergesa.

Sekarang malah saya yang bengong. Apa mungkin dia tunarungu makanya mengabaikan saya seperti itu? Ya sudahlah, lebih baik saya lanjut ngider lagi.

Beberapa ibu-ibu terlihat sedang asik membicarakan sesuatu sembari menemani anak-anaknya yang sedang bermain di halaman. Kesempatan. Siapa tahu di antara mereka ada yang mau membeli barang dagangan saya. 

“Permisi, Bu-ibu, mau beli sapu lidi? Murah meriah, cuma sepuluh ribu aja,” papar saya sambil menunjukkan barang dagangan.

Rezeki memang tak ke mana. Dua orang di antara mereka memilih-milih sapu lidi, sedang yang lain mengatakan bahwa sapu lidi di rumahnya masih bagus. 

“Eh, Mas. Tadi Masnya ketemu sama orang yang tinggal di rumah cat kuning di sana ya?” cetus seorang ibu bertubuh agak gempal.

Saya pun mengangguk, dan menjelaskan bahwa saya tadi tak sengaja bertemu dengannya.

Ibu-ibu kini mulai membicarakan keluarga itu. Dan saya jadi ikut mendengarkan. Rupanya, perempuan yang saya temui tadi adalah putri tunggal mereka. Kasihan sekali, ternyata dia tidak tunarungu, hanya saja sedang depresi karena suami yang baru sehari dinikahinya meninggal. 

Sesaat setelah sang suami meninggal, perempuan itu sering tiba-tiba menjerit histeris, dan mencari suaminya ke segala penjuru tempat. Makanya, keluarga perempuan itu lantas memutuskan untuk mengurungnya di dalam rumah. Dan mereka pun akhirnya seperti mengasingkan diri dari lingkungan sekitar.

“Kenapa nggak dibawa ke dokter aja ya? Daripada dibiarkan depresi begitu.” Saya hanya menggeleng-gelengkan kepala, iba pada perempuan itu.

“Ya nggak tau, Mas. Tapi emang sih, keluarga itu tuh aneh, sejak mereka pindah ke sini tiga tahun lalu memang jarang sekali ada interaksi,” kata seorang ibu berkerudung biru sambil menyerahkan uang selembar dua puluh ribuan. “Itu uangnya, sekalian bayar yang ini ya, Mas,” tambahnya.

***

Jujur, saya masih kepikiran dengan perempuan berambut panjang itu. Dia sebenarnya cantik, hanya saja mukanya terlihat pucat. Tapi … sudahlah, untuk apa saya memikirkannya. Masih banyak sapu lidi yang harus saya jual. Saya pun membuang puntung rokok yang masih menyala ke tanah dan menginjaknya. Langit sudah mulai meninggi, saya harus lanjut ngider lagi.

Entah kenapa, saya memutuskan untuk kembali melewati rumah bercat kuning ini. Saya juga sedikit mengawasi sekelilingnya. Dan ketika saya sudah lumayan jauh, tiba-tiba seseorang memanggil saya.

“Mas, beli sapu lidinya!” 

Seorang perempuan setengah baya. Sepertinya dia ibu dari perempuan tadi. Sambil tersenyum semringah, saya bergegas menghampirinya.

Ibu berbaju abu-abu itu pun segera mengambil sebuah sapu lidi tanpa memilihnya. 

“Sepuluh ribu aja, Bu,” tutur saya.

Dia meraih uang dari dalam dompet dan lekas menyerahkan satu lembar seratus ribuan kepada saya.

“Kamu masih muda, tapi pekerja keras ya. Hebat.”

Ucapannya benar-benar membuat saya merasa sangat canggung. Saya pun hanya melemparkan senyuman menanggapinya.

“Omong-omong, Mas ini sudah menikah belum?”

Lagi, saya hanya tersenyum. Kali ini beliau menjelaskan maksud dari pertanyaannya. Dia bermaksud untuk menjodohkan saya dengan anaknya. Dia tadi tak sengaja melihat kami saat sedang bersama, meski sebenarnya perempuan itu mengabaikan saya. Menurutnya, anak perempuannya itu sama sekali tak mau keluar rumah. Tapi saat dia melihat saya tadi, dia buru-buru keluar.

Terkejut? Tentu saja. Saya yatim piatu dan masih lajang. Jika menikahi perempuan itu, mungkin hidup saya akan jauh lebih baik sebab sepertinya mereka keluarga yang cukup berada. Tapi tetap saja … haruskah saya menikahi perempuan gila? (*)

 

Jeevita Ginting. Si Pisces yang sangat suka mencoba hal-hal baru.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply