Pelanggan kedua. Ya, sekali lagi aku menemukan pelanggan kedua dengan kebetulan yang lebih unik lagi: seorang perempuan cantik yang bertubuh langsing dan mengenakan gaun terusan berwarna hitam yang dihiasi dengan motif polkadot berwarna putih berdiri termenung di pinggir sebuah jembatan, sepertinya ia hendak bunuh diri dengan cara terjun ke sungai. Saat itu aku tengah mendorong motorku yang sedang kehabisan bensin. Perempuan itu tegak mematung sambil melihat arus sungai yang deras. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan sesuatu. Aku tahu, ada sesuatu yang tidak beres. Lalu perlahan ia menaiki besi pembatas jembatan dan tak lama tubuhnya telah berada di ambang sungai dan tinggal menunggu untuk terjun ke bawahnya.
Matanya memejam, mungkin ingin menepis keraguan, namun oleh suatu sebab … ia tetap melanjutkan keinginannya untuk bunuh diri. Dan pada saat ia hendak melepaskan pegangan tangannya, aku buru-buru menangkap tangannya dan memegang tubuhnya erat-erat, lalu menariknya ke pinggir trotoar.
“Lepaskan … lepaskan …. Aku ingin mati! Aku ingin mati!” perempuan itu berteriak-teriak histeris dan suaranya yang keras, memancing perhatian orang-orang. Mereka segera mengerubungi kami, sebab ingin mencari tahu.
“Ia ingin mati. Ia ingin bunuh diri!” aku menjelaskan kepada orang-orang.
“Oh, aku kira sampeyan sedang berantam dengan istri …” seorang lelaki tua yang mengenakan topi lusuh ikutan berkomentar. Ah, sok tahu kamu, jawabku dalam hati.
“Kemarin ada yang terjun, Mbak. Seminggu baru ketemu. Mayatnya kembung! seorang anak muda bercerita, dan perempuan cantik itu sungguh terkejut.
Lalu orang-orang yang berkerumun segera bubar. Tinggal aku sendiri, menatap wajah perempuan itu dan mengajaknya pergi suatu tempat agar perempuan itu dapat menenangkan diri. Di sebuah warung yang beratap Rumbia dan teduh, aku segera memesan dua gelas es kelapa. Hmm, semoga minuman dingin yang menyegarkan ini dapat mendinginkan suasana hatinya. Ah, semoga saja ….
Setelah ia meneguk setengah minumannya, dan wajahnya berubah tenang, barulah aku mulai berani bertanya, mengapa ia berpikiran sependek itu, ingin melakukan perbuatan tadi.
Ia bilang ia sedang putus asa. Suaminya yang kaya raya hendak menikah lagi. Astaga, dalam hatiku …. Istri secantik ini saja, si suami masih berniat ingin kawin lagi. Dasar laki-laki! Eh, tapi aku juga laki-laki ya? Iya juga sih, memang laki-laki kadang tidak pernah puas hanya dengan satu wanita, he he he he … aku tertawa dalam hati.
“Baiklah aku bisa membantumu, namun lebih jelasnya lagi bukan aku … melainkan temanku. Ia bukan paranormal, tapi yang jelas, ia bisa membantu,” aku mengambil kesempatan dalam kesempitan. Tidak, sebenarnya aku hanya ingin membantu. Masalah bayar membayar atau biaya yang harus ia keluarkan, menurutku adalah wajar. Toh, seperti tadi, sehabis menolong perempuan itu aku malah keluar uang. Apa aku tipe orang yang suka hitung-hitungan?
“Tapi ini bukannya gratis, kalau tadi aku mencegahmu bunuh diri tadi sih, tidak perlu bayar. Sayang banget, kalau perempuan secantik kamu harus mati sia-sia, menjadi mayat yang mengambang di aliran sungai!”
“Bagaimana caranya?” perempuan itu jadi penasaran, ingin tahu, apakah temanmu seorang dukun santet atau bukan ….
“Tidak! Tidak! Ia bukan seorang dukun santet. Susah aku menjelaskannya. Besok saja kita ketemu. Berikan nomor handphone-mu, kita janjian di mana …. Aku pikir temanku butuh informasi yang lengkap tentang suamimu.”
**
Keesokan harinya aku dan Si Penjual Mimpi bertemu perempuan itu. Kami menggali informasi sebanyak-banyaknya dari bibir perempuan itu. Misalnya, jam berapa suaminya tidur? Siapa kekasih suaminya? Atau apakah suaminya punya kebiasaan minum obat penenang atau tidak? Setiap peluang adalah kesempatan untuk masuk ke dalam kepala orang yang akan kami intimidasi dengan mimpi-mimpi ciptaan kami.
Dan yang terakhir, aku memberikan nomor rekeningku dan mewanti-wanti, agar ia nanti membayar uang muka 50 %, dan jangan sampai ia mengabaikan jasa-jasa kami kelak, setengahnya lagi harus dibayar setelah misi ini berhasil. Atau … ia akan mengalami mimpi buruk sepanjang hidupnya.
Perempuan itu menyanggupinya, karena bagaimanapun juga ia tidak ingin kehilangan suaminya. Lagipula ia tidak perlu berusaha keras untuk menyingkirkan calon madunya, atau maju-mundur berpikir kembali untuk bunuh diri. Mungkin terbersit dihatinya, ingin menikmati hidupnya seperti dulu. Sekali lagi kami katakan kepada perempuan itu: tenang saja, kami yang akan membereskan semua masalahnya.
Lalu, dalam waktu sebulan, suami perempuan cantik itu telah kembali dalam pelukannya. Si Penjual Mimpi telah membuktikan janjinya: tidak berhasil uang kembali! (dalam hatiku, jika tidak berhasil kami akan segera menjadi penipu dan berakhir tidur di dalam kantor polisi).
Kalian ingin tahu cara kami bekerja? Tentu saja si Penjual Mimpi memang bisa membuat mimpi. Tapi bagaimana bentuk konkretnya agar lelaki, suami dari perempuan itu kembali, adalah teknis yang sangat sulit. Ada proses kreatif. Ada pikiran-pikiran nakal dan liar. Aku dan Si Penjual Mimpi harus berdiskusi terlebih dahulu agar apa yang ia lakukan berdayaguna dan memberikan hasil yang cepat. Ingat, kami bukan tukang santet atau tukang teluh!
Jadi pertama-tama kami harus lakukan adalah membuat si lelaki itu selalu ingat istrinya, si perempuan cantik itu. Kedua, kita harus membuat keyakinan, bahwa selingkuhan lelaki itu adalah tidak setia dan bermaksud jahat. Mimpi seperti itu harus diciptakan terus-menerus agar lelaki itu merasa tidak nyaman, tidak betah dan ingin segera kembali pada istrinya. Ketiga, ini yang sedikit jahat! Si penjual mimpi harus masuk ke dalam mimpi perempuan selingkuhan suaminya atau calon madunya. Cara kerjanya tentu sama saja: agar kedua pasangan tersebut saling curiga, lalu mereka akan bertengkar hebat karena saling tidak percaya, dan mereka segera memutuskan untuk berpisah.
Sederhana saja kan cara kerja kami …. (K)
KarnaJaya Tarigan, seorang penulis pemula. Ia tinggal di Bekasi.