Si Penghuni Kamar
Air keran terdengar menetes dari kamar mandi. Oh, sepertinya si penghuni kamar lupa mematikannya dengan sempurna. Ia juga terlihat asyik dengan buku politik di atas kasur yang empuk. Di sela keasyikannya itu, seseorang datang mengagetkannya. Ia berdiri di samping ranjang. Seketika hal itu membuat si penghuni kamar terkejut.
“Mengapa kau selalu menggangguku, datang di setiap aktivitasku?” tanya si penghuni kamar tanpa memalingkan pandangannya.
“Aku tak rela kamar ini kau pakai.”
“Mengapa tak rela?”
“Ini kamar favoritku. Dalam setahun, hanya hitungan hari aku tak menempati kamar ini.”
“Mengapa harus kamar ini yang menjadi kamar favoritmu?”
“Aku suka warna oranye.”
“Mengapa kau takcoba cari kamar lain?”
“Aku tak mau!”
“Kenapa?”
“Aku ingin kamar ini.”
“Kenapa?”
“Terlalu banyak kenangan.”
“Misalnya?” Si penghuni kamar menutup buku dan menatap ke lawan bicaraya.
“Ah. Banyak omong kau! Bukan urusanmu.”
“Kau membuatku takut.” Ditariklah selimut tebalnya untuk menghangatkan tubuhnya. Udara dingin semakin dalam menembus pori-pori kulitnya.
“Pergi dari sini!”
“Aku tak mau. Kamar ini sudah kupesan dengan harga tinggi dan tempo yang lama. Aku juga betah di sini. Air shower-nya hangat, kasurnya empuk, saluran televisinya lengkap, dan masih banyak lagi. Aku suka di sini.”
“Aku takkan rela kau tetap di sini.”
“Kenapa?”
“Sampai titik penghabisan pun aku terkapar di sini.”
Udara semakin dingin, meraba kulit dan menembusnya hingga ke sumsum tulang. Jendela kamar terbuka dan tertutup berulang-ulang dengan keras oleh derasnya angin. Tabir pun tersibak kencang. Langit hitam pun tampak jelas. Si penghuni kamar menarik bantal di sampingnya dan mendekapnya dengan erat.
“Me—me—mengapa kau terkapar?”
“Aku tak sanggup melayani tiga laki-laki brengos itu. Dengan harga rendah pula.”
“Lalu?”
“Transaksi masih berlangsung di kamar ini selama hampir satu jam. Mereka tetap menawarku dengan harga rendah. Aku tak mau.”
“Kemudian?”
“Salah satu dari mereka melayangkan sebuah guci China ke kepalaku. Aku tersungkur dengan darah mengucur dari pelipisku, dan laki-laki lain menancapkan pecahan guci itu ke kepalaku, lalu leherku.”
Angin semakin garang berembus. Jendela kamar semakin kencang bergoyang hingga kacanya retak dan akhirnya pecah. Semua benda ringan di kamar itu terpontang-panting.
Lawan bicara si penghuni kamar mulai tampak mengerikan. Kepalanya perlahan terbelah sampai ke hidung hingga otaknya terlihat. Lehernya pelan-pelan terkoyak hingga kepalanya teleng ke kiri. Si penghuni kamar ingin berteriak, namun suaranya tersekat di tenggorokan. Ia ingin lari namun tubuhnya menancap di kasur.
“Pergilah!”
“A—aku tidak mau.”
“Keras kepala!”
“AAARRGGHH!!!”
Sebuah guci melayang ke kepala si penghuni kamar berkepala plontos itu hingga ia terlempar dari kasur dan terkapar di lantai dengan bersimbah darah. Kemudian keluarlah penghuni-penghuni dari kamar sebelah karena suara keras tersebut. Mereka berhasil mendobrak pintu kamar bernomor 273 itu. Mereka histeris dan ketakutan melihat tubuh si penghuni kamar yang telah terkapar.
Salah satu di antara belasan pasang mata itu melihat selendang oranye yang melayang keluar dari jendela kamar.(*)
Lathifah Istiqomah, gadis penyuka senja dan hujan ini sedang menempuh jenjang S1 di kampus hujau IAIN Bengkulu. Hingga kini, tempatnya bercerita adalah Tuhan dan puisi. FB: Lathifah Istiqomah.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata