Si Pengais Rezeki

Si Pengais Rezeki

Si Pengais Rezeki

Oleh: Triandira

Jam masih menunjukkan pukul empat dini hari. Seperti biasa, Karyo sudah bersiap di depan cermin. Mengenakan pakaian yang sudah lusuh, lalu menyisir rambut dengan jari tangannya. Lepas itu duduk di sebuah kursi plastik di samping meja makan. Tak lama kemudian, putrinya yang masih duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar muncul dari balik pintu kamar. Menghampiri bapaknya dengan mata yang masih menyimpan kantuk.

“Sudah bangun, Nduk?”

Gadis bernama Menur itu mengangguk pelan. Sesekali menguap sambil melangkahkan kaki ke dapur, hendak membuatkan segelas kopi kesukaan Karyo. Juga menyiapkan sepiring nasi sisa kemarin yang harus ia hangatkan terlebih dahulu. Jemari mungilnya nampak cekatan, dalam beberapa menit saja ia sudah berhasil menyalakan api di atas tungku dan meletakkan dua buah panci usang di atasnya.

Sepeninggal Surti—ibunya, ke hadapan Sang Maha Kuasa, Menur memang sudah terbiasa menyelesaikan pekerjaan rumah seorang diri. Termasuk menyiapkan sarapan untuk Karyo sebelum lelaki berkumis itu berjuang mengais rezeki.

“Kopinya, Pak,” ucap Menur usai meletakkan segelas kopi yang masih panas di atas meja.

“Iya, taruh saja di situ. Nanti Bapak minum.”

Tanpa menoleh lagi, gadis berlesung pipit itu bergegas kembali ke dapur. Mengambil nasi hangat dan beberapa potong tempe yang sudah ia goreng tadi, lantas menaruhnya di sebelah kopi yang masih utuh. Belum diminum sedikit pun.

Menur menghela napas. Memandang wajah Karyo yang kini masih sibuk melilitkan perban di kakinya setelah meneteskan obat merah terlebih dahulu. Ada kekhawatiran di sana, saat membayangkan lelaki yang ia sayang hendak pergi dengan kondisi seperti itu. Berjalan di bawah terik matahari dengan satu tongkat yang menyangga tubuhnya.

Semoga tidak terjadi hal yang buruk lagi ya, Pak. Menur … takut.

Tiba-tiba saja ingatan itu muncul lagi. Seminggu yang lalu, Karyo mengalami kecelakaan saat menyeberangi jalan di tengah kota. Beruntung ada seseorang yang berbaik hati membawanya ke Puskesmas terdekat dan mengantarnya pulang ke rumah. Padahal jarak tempat Karyo bekerja dengan rumah sangat jauh, butuh dua jam perjalanan jika ditempuh menggunakan angkutan umum.

Sejak awal, hal tersebutlah yang mengusik pikiran Menur. Sebenarnya ia ingin agar Karyo mencari pekerjaan di sekitar tempat tinggal mereka saja. Selain dekat, ia juga tidak akan kesepian karena ditinggal sendirian.

“Bapak kerja kan, supaya kamu bisa sekolah.”

“Tapi kenapa jauh, Pak?”

“Lho, yang penting pulang setiap hari, to?” jawab Karyo kala itu. “Lagi pula di sana Bapak bisa mendapatkan uang yang lebih banyak.”

“Terus bagaimana kalau—”

Wis, ndak usah berpikiran macam-macam. Kamu belajar saja yang rajin, dan ingat pesan Bapak. Ngerti?”

Menur yang penurut hanya bisa menganggukkan kepala. Sampai kapan pun ia tidak ingin menjadi anak yang durhaka karena membantah nasihat orang tua. Apalagi setelah mengingat alasan dibalik keputusan yang Karyo ambil.

Lelaki itu hanya ingin agar sang anak tak sampai putus sekolah, bagaimanapun caranya. Meski sebetulnya ia juga merasakan kekhawatiran yang sama, tapi Karyo sudah terlanjur nyaman dengan rutinitas yang ia jalani. Musibah yang pernah dialami pun tak menyurutkan niatnya untuk mencari nafkah. Seperti sekarang, ia tampak bersemangat untuk segera pergi. Mengumpulkan pundi-pundi uang demi Menur, putrinya.

Usai meletakkan kotak obat di kamar, Karyo bergegas ke meja makan. Duduk di hadapan Menur dan menyeruput habis kopi yang tadi dibuatkan untuknya.

“Ini.” Karyo menyodorkan selembar uang lima ribuan yang diambil dari saku bajunya, “buat jajan di sekolah. Sebelum berangkat jangan lupa sarapan dulu.”

“Terus Bapak?”

“Gampang. Nanti Bapak bisa cari makan di luar.”

“Pak …,” gumam Menur ketika Karyo baru saja meraih tongkat di sisi jendela.

“Apa?”

“Menur takut.”

Karyo menoleh. Menghela napas panjang sembari menatap lamat-lamat wajah gadis yang kini tengah menunduk. “Takut apa? Bukannya Bapak—”

“Ada teman yang sudah tahu, Pak.”

Sesaat keduanya terdiam. Meski sadar bahwa risiko semacam ini bisa saja terjadi, tapi apa yang Menur ucapkan cukup mengejutkan.

“Ya, sudah. Biarkan saja,” balas Karyo tiba-tiba.

“Menur ndak mau sekolah.”

“Apa? Terus kamu pikir buat apa Bapak bekerja?”

“Menur malu, Pak!” jerit Menur dengan mata berkaca-kaca. “Mereka semua mengejek Menur dan bilang kalau Bapak ….”

Gadis itu terisak. Sesekali mengusap wajah yang sudah basah oleh tetesan air mata. Sedangkan Karyo hanya termangu dengan tangan yang mengepal kuat. Menahan emosi yang hendak keluar.

“Sudah. Kita bicarakan lagi nanti. Sekarang Bapak harus berangkat.”

“Bapak juga takut, bukan?” sela Menur menghentikan langkah Karyo. “Karena itu Bapak berangkat di pagi buta.”

“Bapak lebih takut kalau sampai kamu putus sekolah, Nduk.”

Belum sempat Menur membuka mulutnya lagi, Karyo sudah melangkah pergi. Menyusuri gang depan rumah yang masih terlihat sepi. Lelaki itu terus berjalan dengan tongkat yang menyangga tubuhnya, menuju jalan raya dan menanti angkutan umum di sana. Sebuah bis yang akan membawanya ke pusat kota.

Setelah menutup pintu, Menur masuk ke dalam kamar. Mengeluarkan selembar kertas dari dalam lemari yang ia selipkan di antara tumpukan baju. Itu adalah sebuah foto dengan wajah seorang perempuan yang mirip dirinya. Surti.

“Seandainya Ibu masih di sini,” gumamnya dalam hati. Mengusap pelan lembar foto yang ada di tangannya sambil sesenggukan. “Sekarang apa yang harus Menur lakukan, Bu?”

Bukannya tenang, ucapan bapaknya beberapa hari yang lalu malah kembali terngiang.

Bapak kerja kan, supaya kamu bisa sekolah.

Menur menggeleng keras. Menutup mata dengan tangis yang semakin menjadi-jadi. Ia kira kecelakaan yang sudah terjadi bisa menghentikan perilaku Karyo, tapi nyatanya tidak. Lelaki itu malah memanfaatkan keadaan, dan semakin menikmati kemalasannya. Menjadi seorang pengemis dengan cacat di tubuhnya.(*)

Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira

Email: triwahyuu01@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita