Judul: Si Loreng
Oleh: Isnani Tias
Seekor harimau loreng tengah berbaring di dalam gua beralaskan bebatuan. Ia ingin memejamkan mata, tetapi suara genderang yang terdengar dari perutnya terus saja mengusik. Harimau itu merintih. Akhirnya, ia beranjak dari peraduannya, mencari suatu yang dapat mengisi perut demi menghilangkan bunyi tersebut.
“Pantas saja perutku tak berhenti berbunyi, sejak semalam aku lupa belum makan apa pun,” gerutunya sambil melangkah keluar dari sarang.
Si Loreng berjalan menelusuri hutan yang gelap gulita. Rimbunnya pepohonan menghalangi cahaya bulan masuk ke dalam hutan. Meskipun begitu, tidak menjadi persoalan yang berat bagi si Loreng. Dengan mengandalkan mata tajamnya, ia pasti bisa menemukan buruan dengan mudah.
Si Loreng menghentikan langkah sejenak. Ia semakin menajamkan mata untuk melihat sesuatu yang tengah berdiri di pinggir sungai sana. Sepertinya, bayangan itu adalah seekor rusa yang sedang minum. Ah, itu memang seekor rusa—ia bisa melihat sepasang tanduk di kepalanya! Air liur mulai menetes-netes melewati giginya yang tajam ketika ia membayangkan betapa empuknya daging rusa itu.
Malam ini, si Loreng akan berpesta sendiri. Biar saja temannya yang lain asyik menelan liur, toh, mereka juga memperlakukannya tak lebih dari itu—membiarkannya jadi penonton belaka meski tahu seberapa laparnya ia kemarin. Ah, rasanya semakin tak sabar menangkap si Rusa.
Walaupun si Loreng memiliki bantalan di bawah kaki yang bisa menyembunyikan bunyi langkahnya, ia tetap saja berjalan dengan mengendap-endap saat mendekati mangsanya. Dua langkah lagi menuju pesta. Lantas, ia melompat dan ….
Byuurrr!
“Ah! Sial!” pekiknya sambil mengaum.
Bukannya menerkam daging empuk, si Loreng malah menerkam tanah lembek. Sungguh, buruannya itu pandai melarikan diri sebelum kuku tajamnya mendarat mengenai tubuh si Rusa.
Sekali lagi, ia mengaum keras, menumpahkan kekesalan atas bayangan pesta tunggal yang hancur begitu saja. Suara si Loreng menggema dan memecah heningnya malam. Burung-burung yang terlelap seketika terbangun dan beterbangan serta binatang kecil yang ada di sekitar situ, juga pergi bersembunyi ke tempat yang mereka rasa aman.
Harimau itu tak mau putus asa. Ia segera mencabut kuku-kukunya dari jepitan tanah, lalu bergegas mengelilingi wilayah hutan di sekitar tempat tinggalnya sepanjang sisa malam itu. Dalam lenguhan napasnya yang tersengal-sengal, ia masih terus berjalan dan berharap bisa menemukan binatang-binatang lain yang bisa menjadi santapan malam ini. Namun, yang terdengar hanyalah suara burung hantu yang bertengger di dalam lubang pohon. Bunyi keroncongan dari perut si Loreng semakin keras. Sungguh, rasanya ia akan terkapar sebentar lagi dan mungkin … mati? Tidak, tidak, tidak! Ia tidak mau mati sekarang, sebelum membalas kekikiran teman-temannya semalam.
Si Loreng berhenti sambil mata tajamnya bergerak ke kanan-kiri. “Ke mana perginya mereka? Biasanya di sini ada babi hutan. Apa ada binatang lain yang sudah berburu di sini?” desah kecewa pun terlepas begitu saja.
Tak terasa, sinar kemerah-merahan mulai tampak di sebelah timur. Sebentar lagi matahari akan muncul di balik kaki bukit. Namun, harimau muda itu belum menemukan mangsa satu pun sejak buruan pertamanya di bibir sungai kabur. Perutnya semakin terasa melilit. Lantas, ia memutuskan untuk kembali ke dalam gua dengan langkah yang terhuyung, membawa rasa lapar, lelah, dan kantuk yang tak tertahankan.
Namun, kali ini si Loreng memilih jalan pulang yang berbeda dari biasanya. Ia ingin memutar melewati hutan yang sudah sering didatangi oleh manusia. Ia masih menyimpan sisa-sisa harapan untuk bisa menemukan pengganjal perutnya di tempat itu.
Harimau itu tak mau lagi peduli akan perkataan si Serigala perihal larangan mendatangi tempat ini yang katanya, “Banyak jebakan yang dibuat manusia untuk kita”. Siapa yang tahu jika binatang licik sepertinya tidak akan berbohong?
Halah! Itu pasti hanyalah akal-akalannya saja agar ia tidak kehilangan sumber makanan akibat binatang lain yang datang ke sini! Untuk itu, dia meracuni pikiran kami dengan hal-hal bodoh semacam itu, katanya dalam hati dengan begitu yakin.
Si Loreng pun melihat bulu-bulu ayam di sekitar semak-semak yang tampak mencurigakan. Pasti di sana ada sesuatu yang bisa dijadikan sarapan. Ia mulai mendekati semak-semak yang melingkar di samping pohon dan mendongak agar bisa melihat apa yang ada di balik sana.
Nah, dugaanku betul, ‘kan? Untung aku tadi memutuskan lewat sini. Tenang, ya, perut. Bentar lagi kita akan berpesta he-he-he, ucap si Loreng dalam hati dengan begitu girang saat melihat empat ekor ayam sedang tertidur di antara semak-semak. Kali ini tak boleh gagal. Dapat seekor pun tak apa.
Si Loreng mengendap-ngendap dan menahan napas karena ia tidak ingin embusan napasnya dirasakan oleh buruannya. Ia mulai menghitung dalam hati.
Satu, dua, tiii … gaaa!
Ia sukses melompat dan menerkam mangsanya. Betapa bahagianya binatang itu. Namun, suara berisik mulai terdengar. Ia mendongak dan melihat lonceng yang digantungkan di dahan pohon. Ia segera berdiri. Suara patahan ranting pun ikut terdengar, kemudian ia terjatuh di dalam lubang bersama ayam yang kakinya sudah berlilit tali.
“Malangnya nasibku ini. Coba aku menuruti perkataan Serigala kemarin dan tidak berprasangka buruk, pasti tidak akan begini jadinya!” sesal si Loreng. Suara aumannya pun membelah ketenangan pagi itu.
Tamat.
Sidoarjo, 17 Januari 2021.
Bionarasi:
Penulis dengan panggilan akrab Tias ini, seorang ibu dari dua gadis cantik. Ia sekarang ingin mencoba menorehkan penanya untuk cerita yang bisa dinikmati oleh anak-anak.
Editor : Rinanda Tesniana