Si Kepala Batu
Oleh: Triandira
Cahaya kuning kehijauan berkelap-kelip di tengah hijau rerumputan. Malam itu, seekor kunang-kunang bernama Moly tengah asyik memperhatikan teman-temannya yang sedang berterbangan di sekitar rawa. Ekor mereka yang bercahaya terlihat begitu cantik saat sekumpulan hewan tersebut bermanuver layaknya pesawat terbang, bergerak ke sana kemari hingga membuat Moly berdecak kagum. Ia ingin sekali terbang, dan berpetualang seperti dulu. Menyusuri keindahan alam dengan kepakan sayapnya yang cepat. Tapi sayang, beberapa hari yang lalu kejadian buruk menimpa dirinya.
Bruk!
Moly tersungkur keras usai terpeleset dari atas pohon di sisi selatan rawa. Kejaran seekor burung yang hendak memangsanya tak mampu lagi ia hindari, dan memaksa Moly untuk segera bersembunyi. Namun sial, kakinya yang mungil tidak menginjak batang dengan benar.
“Aw!” pekiknya menahan sakit begitu terkapar di atas tanah, membuat langkah Bimbim terhenti. Si tupai bergigi dua itu langsung berlari menghampiri Moly yang masih merintih sambil mengusap tangis.
“Astaga, Moly! Kau baik-baik saja?”
“Tolong aku, Bimbim. Ini benar-benar sakit.”
Tupai jantan itu pun tak tega melihat kawan baiknya terus menangis kesakitan. Tanpa memedulikan buah yang diincarnya tadi sudah dipetik oleh tupai lain, Bimbim bergegas menolong Moly untuk berdiri. Ia juga menyingkirkan ranting kering yang menindih tubuh si kunang-kunang.
“Oh, tidak! Ekormu berdarah,” ujar Bimbim.
“A—apa kau bilang? Berdarah?”
“Tenanglah, aku akan mengantarmu pulang sekarang.”
Moly menganggukkan kepala. Meski sedih tapi ia bersyukur karena ada Bimbim yang membantunya dengan setulus hati. Setidaknya, dalam suasana yang gelap ia tidak lagi ketakutan. Walaupun burung pemangsa masih berkeliaran bebas, ada tupai yang akan menjaga dan mengantarnya pulang dengan selamat.
***
Keesokan harinya, teriakan teman-teman yang memanggil namanya menarik kembali perhatian Moly untuk keluar rumah. Dengan sedikit keberanian ia mencoba membujuk Ayah dan Ibu.
“Apa kami tidak salah dengar?”
“Ayolah, Bu. Hanya sebentar saja,” bujuk Moly pada Nuna, ibunya.
“Tidak, Sayang. Kau baru saja sembuh jadi mana mungkin Ibu membiarkanmu pergi. Apalagi hutan itu cukup jauh.”
“Benar, Moly. Itu terlalu berbahaya untukmu,” sela Teo. Kunang-kunang jantan yang suka berburu makanan di tepian sungai dekat hutan. Tempat yang ingin Moly kunjungi untuk bertemu dengan Bimbim.
“Tapi, Yah. Aku ingin sekali terbang dan bermain di sana.”
“Tidak untuk saat ini, Nak. Ah, sudahlah. Ayah dan Ibu pergi dulu,” pesan Teo tak mengindahkan keinginan anaknya itu. “Pulang nanti kami akan membawakan makanan untukmu. Oke?”
“Hm, baiklah.”
Temaram sinar rembulan menyambut hangat langkah kaki kunang-kunang bertubuh mungil itu. Ia mendekat ke arah pintu sampai sosok Teo dan Nuna tak lagi terlihat, keduanya terbang begitu jauh menuju tempat perburuan untuk mencari mangsa. Menyadari hal tersebut Moly langsung melonjak girang. Sekarang tidak ada lagi yang akan menghalanginya untuk pergi ke hutan.
“Maafkan aku, Bu. Aku janji akan segera pulang nanti,” bisiknya dalam hati.
“Hei, Moly. Kau mau ke mana?” sapaan seekor capung mengagetkan hewan berantena itu.
“Eh, Kuma! Kau di sini rupanya. Apa yang kau lakukan?”
“Aku akan pergi ke sungai. Kau sendiri? Apa kau juga ingin pergi ke sana untuk bermain dengan teman-teman?”
“Ah, tidak.”
“Lalu?”
Spontan Moly meletakkan jari telunjuknya di depan mulut. “Aku akan pergi ke hutan untuk bertemu dengan Bimbim.”
“Apa aku tidak salah dengar? Oh, tidak. Kuharap kau tidak akan melakukannya. Lagi pula dengan siapa kau akan pergi?”
“Sendiri,” sela Moly dengan penuh keyakinan.
“Hah? Tidakkah kau lihat sekarang begitu gelap?”
“Lalu apa masalahnya? Aku sudah terbiasa pergi sendiri.”
Kuma menggeleng pelan. Ia tahu tabiat Moly yang keras kepala itu, tapi capung berayap tipis tersebut tak mau kalah. Ia terus membujuk Moly agar berdiam diri saja di rumah. “Itu saat ekormu masih bisa menyala dengan terang. Tapi sekarang? Bagaimana jika nanti ada burung pemangsa yang mengincarmu di tengah jalan?”
Seketika Moly tersenyum. Ia mengepakkan sayap perlahan, lalu dalam hitungan detik ekornya berkelap-kelip.
“Lihatlah! Meski tak begitu terang, tapi ekorku masih bisa bercahaya. Jangan khawatir, Kuma. Aku bisa menjaga diri.”
Belum sempat menimpali apa yang Moly ucapkan, kunang-kunang itu sudah terbang menjauh.
“Dasar keras kepala,” gumam Kuma sambil terbang ke arah sungai. Saat itu juga ia hendak mencari keberadaan Teo dan Nuna, lalu menceritakan percakapan yang terjadi di antara dirinya dan Moly. Sementara itu, di tengah jalan Moly sedang asyik menikmati perjalanannya. Ia sangat senang karena akhirnya bisa keluar rumah. Namun sayang, ia tidak menyadari bahwa ada bahaya yang tengah mengintai.
“Aarrggh!” jerit Moly ketika seekor burung berhasil membuatnya terjatuh. Sontak ia berdiri, lantas terbang sambil mengedip-ngedipkan ekornya. Berharap si burung pemangsa akan menjauh.
“Halo, Jagoan!” ejek burung pemangsa itu. Paruhnya yang tajam sudah siap menerkam tubuh Moly. Ia mengejar kunang-kunang yang kini sedang menjerit ketakutan.
“Tolooong…! Tolong aku!!!”
“Haha, aku akan menangkapmu jagoan kecil.”
Hampir saja Moly tertangkap oleh burung yang ada di belakangnya. Ketika ia terbang merendah untuk mencari tempat persembunyian, sayap kirinya membentur semak-semak.
Crash!
Moly merintih dengan tubuh yang melemah. Matanya berkaca-kaca seiring jantungnya yang berdegup kencang. Ia takut dan bingung harus berbuat apa. Dalam keadaan yang menyeramkan itu, nasihat Teo dan Nuna beberapa saat yang lalu kembali terngiang.
“Ah, sial. Itu pasti sakit, bukan?” ejek si burung sekali lagi.
“Berhenti atau aku akan menjerit nanti!” ancam Moly. Sambil sesenggukan ia terus mengitarkan pandangan.
“Haha, bukankah kau sudah melakukannya tadi? Tapi lihatlah, tidak ada yang akan menolongmu saat ini.”
“A—ayah … Ibu ….”
“Lari sekarang juga, Nak!” suara keras Teo menghentikan tangis Moly. Ia menoleh cepat begitu Teo, Nuna, Kuma dan beberapa kunang-kunang terbang menghampiri dirinya.
Mereka mengepung burung pemangsa yang berada dekat dengan Moly. Seketika burung itu merasa panik. Terlebih saat hewan buruannya berhasil melarikan diri.
“A—apa yang kalian lakukan? Hentikan!” teriaknya kesal sebab cahaya dari ekor kunang-kunang yang mengepungnya telah menyilaukan matanya.
Tak peduli dengan teriakan burung tersebut, para kunang-kunang semakin mendekat.
“Seraaang…!!!” jerit Kuma. Seketika burung pemangsa terbang menukik ke bawah. Ia panik bukan main, dan akhirnya pergi meninggalkan hutan.
Cahaya dari ekor kunang-kunanglah yang membuatnya ketakutan. Para pemangsa mengira bahwa ekor tersebut beracun. Dan itulah kenapa ekor kunang-kunang tak ikut disantap ketika pemangsa menjadikannya makanan.
“Kau tidak apa-apa, Sayang?” tanya Nuna saat menghampiri Moly yang tengah bersembunyi di balik pohon. Begitu pula dengan Teo dan Kuma.
Moly mengangguk, lalu memeluk mereka semua dengan erat.
“Maafkan aku, ya,” sesalnya kemudian. “Dan terima kasih sudah menyelamatkanku.”
“Ya, Moly. Kami semua sudah memaafkanmu tapi Ayah harap kau tidak akan bersikap seperti ini lagi.”
“Iya, Yah. Moly janji akan menjadi anak yang baik dan patuh terhadap Ayah dan Ibu.”
Malam itu Moly telah mendapatkan pelajaran berharga. Ia sudah jera dan tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Membantah nasihat orangtua baginya hanya akan merugikan diri sendiri. Karena itulah ia telah bertekad dalam hati tidak akan keras kepala lagi.(*)
Tentang Penulis:
Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira, email: triwahyuu01@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita