Si Beruang Kutub Tersayang
Tak Cinta. Tahukah rasanya mencintai orang yang sama sekali tak ada perasaan padamu? Mencuri-curi pandang saat di kantin kampus, menjadi stalker di setiap akun media sosialnya. Bahkan, sampai menulis surat cinta yang sampai saat ini belum juga terkirim ke tangan si penerima.
Sebagai gadis yang baru saja menginjak usia 23 tahun, baru kali ini aku merasakan jatuh cinta pada lawan jenis. Namun sayangnya, pemuda itu tak menaruh perhatian yang sama. Setiap kali berpapasan saat di kampus, tak pernah ada sapa atau sekadar senyum basa-basi yang terukir di bibirnya.
Ia adalah Randi, senior di kampus yang sama denganku. Pemuda tinggi berkulit kecokelatan dengan jambang tipis yang menambah manis wajahnya. Sikap kalem dan tak banyak bicara dibanding teman lainnya membuat beberapa gadis mencoba mendapatkan hatinya. Namun, sia-sia belaka. Randi bagaikan sosok manusia dengan hati sedingin es. Jangankan mendekat. Baru menatap matanya saja, sudah membuat beku sekujur tubuh.
Ternyata nasib mujur berpihak padaku. Tanpa perlu bersusah payah keganjenan dan sok cantik di depan Randi, aku terpilih jadi primadonanya. Bukan hanya sebagai pacar, tapi istri!
Ayahku yang notabene adalah sahabat ayahnya Randi semasa SMA mempermudah kisah cinta kami. Reuni mereka bulan lalu membuahkan kesepakatan pernikahan ini. Senang? Sudah pasti. Dua bulan lagi aku resmi menjadi istri dari pria yang namanya selalu terselip dalam doa di sepertiga malam.
“Mas, malam ini mau makan apa? Biar aku masakin buat nanti malam,” tanyaku manja sambil bergelayut pada lengan kekarnya.
“Terserah!” Randi sama sekali tak mengalihkan fokus dari buku tebalnya.
Lagi-lagi aku harus menelan kekecewaan mendengar jawaban singkat pria yang sudah lima bulan berstatus suamiku itu.
Tak ada respons manis atas tingkah manja dan pertanyaanku. Semua terjawab hanya dengan satu kata “terserah”. Sikap sedingin es itu sama sekali tidak berubah. Ia tetap seorang beruang kutub.
Aku beranjak dengan kesal. Ayam yang tadi sudah dicuci kembali kumasukkan ke dalam freezer. Bumbu yang juga sudah siap dipakai, terbuang sia-sia. Dapur yang semula penuh bahan makanan, kini bersih tanpa noda. Sisi egoisku tak mengizinkan untuk memasak makan malam. Biar saja kelaparan. Toh, dia bilang terserah. Berarti terserah aku dong, mau masak atau tidak!
Selepas Isya, aku mengurung diri di kamar. Randi masih belum pulang dari masjid depan kompleks kami. Hati ini sedikit merasa bersalah membiarkan suamiku nanti malam kelaparan. Tapi, rasa kecewaku lebih besar dari itu.
Sayup terdengar bunyi pintu depan yang berderit. Suamiku pasti sudah pulang dan sebentar lagi masuk ke kamar. Aku berpura-pura sibuk dengan laptop kesayangan. Padahal dalam hati berdebar menanti reaksi si beruang kutub.
Benar saja. Ia masuk kamar tanpa banyak bicara selain mengucapkan salam. Setelah itu, tak ada lagi kata-kata yang terucap dari mulut kami.
Ia berganti pakaian saat aku mulai merebahkan diri di kasur. Melipat sarung dan keluar kamar tanpa menoleh ke arahku.
Ingin rasanya menjerit sekencang-kencangnya melihat sikap dinginnya. Namun, apa daya? Cinta dalam hati ini selalu bisa meluluhlantakkan rasa kecewa akibat ulahnya. Berkali-kali terluka tapi senyumnya mampu mengobati tanpa diminta.
“Kamu nggak masak, ya, Ris?” suara berat Randi terdengar dari celah pintu kamar yang terbuka. Wajah teduh tapi kaku itu terlihat kebingungan.
“Nggak. Tadi, kan, Mas bilangnya terserah. Jadi, aku nggak usah masak sekalian.”
Kupejamkan mata yang masih ingin terbuka. Berpura-pura tidur sambil menajamkan telinga bersiap mendengar keluhannya. Nihil. Bahkan, ketika kubuka lagi mata ini, sosoknya pun tak berada di kamar.
Sesak kembali membuncah, cairan bening mengalir dari sudut mataku. Isakan yang teredam bantal membawaku ke alam mimpi yang lebih indah dari dunia nyata.
Sikap dingin Randi tetap tak mengalami perubahan. Mirisnya, malah diriku yang mulai terbiasa dengan semua itu. Terkadang muncul pikiran negatif. Jika bukan karena dosa, mungkin saja ia bahkan enggan menyentuhku.
“Mas, si Rena itu tiap posting status ngeselin banget, deh,” curhatku sore itu, sambil menemani Randi merawat beberapa bunga mawar di halaman belakang.
Hening. Tak ada jawaban.
“Kayaknya dia masih ada rasa sama kamu, deh, Mas!”
Hening lagi. Aku hanya menghela napas yang terasa menyesakkan. Rena, gadis yang dulu pernah menyatakan cinta pada suamiku tapi tak bersambut. Dia sering membuat status yang membuat darah mendidih. Hampir selalu ada sosok Randi dalam tulisannya meski tak ada nama di dalamnya.
“Cuekin aja! Toh, aku udah menikah dan juga nggak pernah online. Lebih baik kamu kurangi bersosialisasi di medsos.”
Aku terkejut mendengar kata-katanya yang lumayan panjang. Senyum berkembang di bibirku, mungkin seindah mawar yang sedang disirami olehnya.
“Iya!” Aku merasa gunung es itu mulai mencair meski teramat perlahan. Namun, itu sudah cukup bagiku.
Semburat senja memanjakan mata dan hatiku yang tengah berbunga. Ah … bahagianya! Malamnya, kami sepakat makan malam di luar. Setelah memesan makanan, Randi pamit ke toilet. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kafe bernuansa minimalis dengan gaya Sunda yang kental.
Mataku terpaku pada sosok di sudut ruangan. Gadis manis berhidung mancung terlihat tersenyum ke arahku. Tanpa menunggu lama, dia sudah berada di hadapanku. Rambut panjangnya yang tergerai menambah kesan cantik wanita ini.
“Hai, Ris! Sama Randi, ya? Senang banget bisa ketemu kamu di sini.”
“Hai, Ren. Iyalah sama Randi. Masa sama suami orang!” ketusku membuat Rena terkekeh.
“Ketus banget, sih! Boleh gabung nggak?”
“Kamu nggak malu makan bareng kami? Ini, kan, acara dinner pasutri.”
“Nggak. Buat apa malu? Anggap aja latihan.”
What? Latihan? Aku mulai kesal dibuatnya. Tangan yang tersembunyi di bawah meja sudah terkepal erat, menahan gejolak emosi yang hampir membeludak.
“Apa maksud kamu?”
“Dua minggu lalu, aku nembak Randi lagi. Dia nggak respons apa-apa, tuh! Aku anggap dia butuh waktu untuk berpikir.”
“Kamu sadar, kan?” sinisku, berdiri cepat diiringi tatapan heran tamu lainnya.
“Seratus persen sadar. Aku rela jadi yang kedua.”
“Cewek gila!” teriakku. Tangan ini sudah hampir melayang ke wajah mulusnya jika tidak dicekal oleh seseorang.
“Jaga ucapan dan sikap kamu, Riska! Ini tempat umum.” Tangan kekar itu mencengkram erat. Sakit! Tapi, tak senyeri hati yang tersayat oleh pembelaannya untuk wanita di hadapanku.
“Kamu … membela dia?” Air mata menetes tanpa terbendung lagi. Aku melirik sekilas Rena yang tersenyum puas. Apa ini jawaban atas sikap dinginnya? Apa mungkin ini juga alasan Randi mengajak makan malam di sini?
Randi melepas cekalan tangannya. Wajah teduh itu terlihat menyesal melihat air mata yang selalu kusembunyikan selama menjadi istrinya. Sebelum sempat ia berbicara, aku berlari sekuat tenaga. Bisik-bisik terdengar dari mulut para tamu. Mereka pasti sedang mencibir.
Taksi membawaku pergi menjauh. Tanpa pikir panjang lagi aku pulang ke rumah Ayah di Bogor. Beliau heran melihat putri semata wayangnya ini datang dengan derai tangis.
Aku merebahkan diri dalam kamar yang selalu menjadi milikku. Untung saja, Ayah tak menuntut penjelasan apa pun dariku. Aku sendiri ragu, apa Randi masih mau menjemputku besok.
Baru saja mataku hendak terkatup terkalahkan oleh kantuk. Ayah memanggil sambil mengetuk pintu kamarku.
“Ris, bangun! Ada Randi di luar!” suara Ayah terdengar bagai perintah bagiku.
Mau tak mau aku menemui si pria es itu. Ia tampak pucat dan menggigil akibat mengendarai motor ke Bogor di tengah malam begini.
“Ayah mau tidur. Selesaikan masalah kalian sekarang juga. Besok pagi, Ayah ingin kalian sudah berbaikan.” Ayah meninggalkan kami berdua di ruang tamu.
Lagi-lagi hening yang sama. Tak berubah.
“Maafkan aku, Ris!” Randi memegang tangan yang pernah ia cengkeram tadi.
“Untuk apa? Bukannya yang salah itu aku?” jawabku sinis.
“Semuanya. Semua kesalahanku selama ini. Aku tahu kamu menderita akibat sikap dingin ini. Tapi, kamu harusnya tahu. Nggak ada satu pun wanita yang ada di hatiku selain kamu.”
Kalimat panjang itu membuat hati ini mulai meleleh. Benarkah itu suamiku yang pendiam?
“Rena?”
“Aku sudah tak lagi mau berurusan dengannya sejak lama. Itu alasan sebenarnya aku tak menjawab ide gilanya itu. Kamu satu-satunya!”
“Serius?”
“Mmm ….”
Ia merengkuhku dalam pelukannya.
“Kenapa sikapmu selalu sedingin itu? Sejak dulu.”
“Karena kamu. Aku terlalu menyukaimu sampai tak tahu harus bereaksi bagaimana bila berhadapan langsung. Kalau aku nggak cinta, pernikahan ini nggak akan pernah terjadi.”
“Bukankah menurut hadist Rasullullah berkata sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya. Masa kamu mau kaku terus, sih, Mas?”
“Insha Allah. Ada baiknya perbaiki dulu cara berkomunikasi kita. Kalau ada sikapku yang kurang enak, kamu langsung bilang aja. Jangan malah berasumsi sendiri. Nanti aku juga akan belajar terbuka sama kamu.” Mata hitam Randi menatap lekat wajahku yang mungkin sudah berubah merah.
Jika diingat-ingat lagi, memang kesalahan terletak pada komunikasi kami. Aku yang selalu berpikiran negatif menanggapi respons irit itu dan dia yang juga tak mau terbuka tentang perasaannya.
Setiap kali aku tidak memasak, ia selalu mau menggantikan posisi koki di rumah. Bahkan, pekerjaan rumah lainnya pun ia tak segan membantu.
Malam ini, hari ke-200 kami berumah tangga. Namun, ini adalah permulaan bagi kami menempuh hidup baru. Membangun keluarga bahagia yang selalu menjadi mimpiku sejak dulu.(*)
TNG, 31/01/2018
Penulis: Raini Azzahra
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita