Si Anak Perempuan Berambut Keriting
Oleh: Fitri Fatimah
Dulu waktu kecil aku pernah naksir anak tetangga seumuranku. Karena dia berambut keriting seperti mi. Sungguh, selain rambutnya itu, aku tidak suka hal lain tentang dirinya. Karena meski dia anak perempuan, tapi dia berlaku lebih lagak dari anak laki-laki. Dia tidak pernah mengenakan rok atau baju terusan seperti anak perempuan biasanya, selalu adalah celana selutut, kadang juga romper. Dia juga tidak pernah tampak bermain masak-masakan atau dandan pengantin-pengantinan bersama anak perempuan lainnya, dia malah lebih seringnya main bersama kami, para anak laki-laki, menyerut bambu untuk dijadikan pancing, atau memanjat dahan pohon apa saja yang berbuah. Dia bahkan bisa bersalto.
Dia juga jadi anak pertama di antara kami yang lebih dulu tahu melepas dua tangan dari setang saat naik sepeda. Kami sampai menatap takjub—dan iri—sementara dia bertepuk-tepuk tangan sambil bersiul di atas sepeda yang terus dia kayuh tanpa goyah.
Tapi kukatakan lagi, sama sekali bukan karena tingkahnya yang tomboi itu yang membuatku naksir. Melainkan karena dia berambut keriting seperti mi. Kejadiaannya begini, suatu hari, saat dia mengayuh sepeda, masih dengan pongahnya karena dia tetap jadi anak satu-satunya yang bisa melepas kedua tangan dari setang, anak laki-laki lain—dan juga aku—agak kesal karena merasa disalip. Lalu akhirnya kami menantang dia untuk balapan sepeda. Dan dia, dengan wataknya yang memang patut dipertanyakan, langsung menyanggupi. Hatiku sama seperti anak-anak sekaumku, meradang.
Maka aku juga menaruh usaha keras untuk bisa mengalahkannya. Boleh saja kamu mengalahkan kami dalam melepas dua tangan, tapi soal kecepatan kamu pasti akan kalah, begitu patriku dalam hati.
Tak banyak hal yang bisa kuingat dari perlombaan ego siang itu. Samar-samar aku ingat bahwa sepanjang jalan desa kami yang memang tandus, debu-debu merah mengepul, dan ini membuat kami setelahnya dapat jatah omelan dari orangtua masing-masing. Aku bahkan tidak ingat siapa yang menang, intinya bukan dia. Karena kemudian dia melengos dengan agak cemberut, lalu kembali naik ke jok sepedanya, dan mengayuh dengan melepas dua tangan. Membuat kemenangan dari pihak kami jadi serasa tak banyak berharganya.
Hanya saja ada satu yang paling kuingat, bahwa saat balapan sepeda tadi, ketika aku berada beberapa meter di belakangnya, rambut keritingnya—yang sering kami ejek sebagai rambut mi, dan memang benar rambut dia seperti mi, keriting panjang dan mengembang. Dan terutama sekarang, saat dia mengayuh sepeda dengan cepat, membuat angin menerpa rambutnya yang biasanya tak pernah diikat dengan karet—jadi beterbangan seperti sulur-sulur kacau. Sinar matahari yang menimpa, entah kenapa menambah kesan artistik, membuat rambut itu jadi kuning berkilauan. Dan, aku jatuh hati seketika.
Lalu setelah itu … tak ada. Tak ada yang terjadi. Bukan berarti kalau aku naksir anak perempuan lalu aku bakal … ya … seperti yang dilakukan orang dewasa di televisi: membawakan bunga, membawakan cokelat, menyanyi sambil memainkan gitar di bawah jendela si gadis—bahkan sebagai anak kecil aku tahu bahwa tingkah itu benaran norak, dan tak patut dicontoh. Lagi pula waktu itu uang sakuku pas-pasan. Jadi memang tak ada yang berubah setelah kusadari aku naksir dia, pun sikapku. Aku masih bersikap sama seperti anak laki-laki yang lain, memusuhinya. Dendam kami saat balapan sepeda masih belum tuntas. Aku juga masih sering mengejeknya, terutama soal rambut keritingnya yang seperti mi, yang padahal diam-diam kukagumi.
Aku hanya bersyukur bahwa sekalipun ejekan-ejekan kami lumayan jahat, dia tidak pernah berlari sambil menangis. Selalu dengan tatapannya yang berani dia akan membalas mengejek kami, menjulurkan lidah, lalu barulah pergi.
Dan aku akan memandang rambut keritingnya yang berombak bergerak menjauh.
Tapi kemudian, pada suatu hari, dia mengirim surat izin ke sekolah, katanya dia hendak ikut orangtuanya mengunjungi sepupu jauhnya. Kalian tidak akan menyangka—aku juga tidak menyangka, bahwa pada hari dia kembali, akan menjadi hari aku patah hati. Dia pulang dengan rambut yang tak lagi keriting. Rambut keritingnya kini lurus selurus-lurusnya. Dia bilang—dengan nada penuh semangat dan pamer, pada siapa pun yang mau mendengarkan, yang mana berarti hanya para anak perempuan—bahwa di tempat sepupunya kemarin dia diajak pergi ke salon, dan melakukan rebonding.
Kalian tak akan menyangka bahwa pada hari itu sebagai anak kecil aku bisa patah hati sedemikiannya. Aku sampai jatuh sakit tiba-tiba—sebenarnya mungkin lebih karena keracunan makanan, tapi waktu itu, ditambah patah hati dan bakteri dari makanan kedaluwarsa, aku tumbang.
Aku senang bahwa karenanya aku tak perlu pergi ke sekolah ataupun ke lapangan tempat kami biasa bermain. Dengan begitu setidaknya, untuk sementara, aku tidak perlu bertemu dengan anak perempuan itu. Yang sekarang sudah tidak bisa kutaksir.
Kalian tidak akan tahu, betapa kecewanya aku bahwa di atas kepalanya kini tak lagi ada rambut favoritku. (*)
Sumenep, 25 Mei 2019
Fitri Fatimah, suka membaca dan mencoba menulis. FB: Fitri Pei.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata