Sewol

Sewol

Sewol
Oleh: Reza Agustin

Dia mengepulkan napas berbau tembakau. Sesekali mengisap kembali batang rokok yang tersisa separuh. Wajahnya tak sepenuhnya mirip dengan orang Korea. Asing. Mungkin karena kulitnya yang pucat dan cambang yang tumbuh sepanjang rahang. Pria Korea jarang membiarkan rambut-rambut sepanjang wajah itu tumbuh. Tingginya juga tak main-main, nyaris dua meter. Jiwon heran saja kalau pekerjaan pria itu bukanlah model. Selera berbusananya juga bagus. Walau harus Jiwon akui, mantel hitam dan setelan berwarna hitam itu tak cocok dengan atmosfer liburan yang kental terasa.

Harusnya kapal yang membawa ratusan remaja itu berangkat menuju Jeju pukul 18.30 tadi. Namun, cuaca tak menghendaki perjalanan mereka dimudahkan. Minimnya jarak pandang karena kabut membuat kapal feri raksasa itu masih tertahan di pelabuhan. Lewat satu jam dan belum ada pemberitahuan lebih lanjut. Jiwon membenamkan kedua tangan ke dalam saku jaket. Sesekali bersiul kecil, lalu mendapat delikan dari beberapa siswi yang bercengkeram tak jauh darinya.

“Bisakah kau diam? Kau mau memanggil teman-teman hantumu?” cerca salah satu dari mereka.

Jiwon abai. Bibirnya masih mengerucut, membiarkan siulan rendah keluar dari bibirnya. Berbalik badan, ia pun menjauhi kerumunan. Ia memang tak pernah bisa berbaur dengan salah satu dari mereka. Ketika seseorang mencoba berbaur dengannya, keesokan hari seseorang itu akan berbalik mencacinya juga. Jiwon tahu bahwa meja-meja yang disumpal sampah, diludahi, dicoret dengan spidol permanen itu adalah alasan mengapa tak ada yang berani mendekatinya.

“Jiwon itu anak setan, jangan dekat-dekat dengannya kalau tak mau ketiban sial. Anak kelas sebelah mejanya berbau seperti air kencing setelah kelihatan dekat dengannya di kantin,” ujar sebuah suara yang Jiwon dengar sepulang sekolah beberapa hari yang lalu.

“Tapi anak itu hanya kebetulan tak punya tempat duduk lain selain di dekat Jiwon.” Suara lain yang lebih rendah menimpali.

“Lebih baik makan sambil berdiri atau sekalian mati kelaparan daripada duduk dengan Jiwon. Dia musuh satu sekolah!”

Jiwon sendiri tak tahu dari mana hulu semua perundungan ini. Satu hal yang pasti, ia tak pernah tersakiti di sekolah, orang lain yang tersakiti. Sedangkan ia dibiarkan merayap di kegelapan. Pura-pura tak dilihat dan dianggap, tak pernah ada di dunia. Jiwon mungkin sudah hidup dengan cara seperti ini lebih dari dua belas tahun. Sejak ayahnya ditangkap dan dieksekusi sebulan kemudian karena korupsi. Ah, dia memang anak setan kalau begitu. Tak ada ibu dan hanya tersisa ayah. Lalu keduanya habis. Maka Jiwon mulai berpindah-pindah tangan, dari Paman Han yang selalu mengintipnya mandi sejak usia enam, lalu pada Kakek Kim yang terkena serangan jantung dua minggu setelah kedatangan Jiwon ke rumahnya, lalu banyak tangan lagi yang mulai bergiliran memindahkan Jiwon kepada tangan-tangan lain.

“Hari yang berat?” Pria besar dan tinggi itu lebih dulu menyapa. Ia menjepit rokok baru pada sela telunjuk dan jari tengah. Aroma tembakau dan nikotin bakar tak pernah mengganggu, hanya benda itu membuat kulitnya melepuh. Seperti ketika salah seorang yang mengadopsinya sedang dalam suasana buruk. Mungkin ada dua atau tiga bekas lepuh di punggung, lalu tiga di paha, dan yang masih baru di bawah leher. Perbuatan ayah angkatnya dua bulan lalu, ia murka karena Jiwon enggan menurunkan roknya di hadapan pria tua tersebut.

“Aku lebih memilih tenggelam di laut daripada ikut berlibur bersama mereka,” tukas Jiwon cepat.

“Memang kau benar mau tenggelam? Mati tenggelam itu menyakitkan,” imbuh pria tersebut sembari mengembuskan asap dari bibirnya.

“Anda bicara seolah pernah merasakannya.”

Pria itu terkekeh pelan. “Aku sering melihat orang tenggelam dalam hidupku. Bisa dibilang aku ahlinya. Dan mungkin sehabis ini akan lebih banyak lagi yang aku lihat.”

“Dan semoga saja salah satunya aku. Sepertinya Sewol tak membutuhkan kehadiranku di atas tubuhnya juga. Sejak tadi belum ada tanda-tanda bahwa kapal akan berangkat. Mungkin itu sedikit sindiran agar aku tak ikut, atau malah menyuruhku lompat ke tengah laut.”

“Ah, kau benar-benar ingin mengakhiri hidupmu di sini, ya? Sudah tak ada gairah hidup?” tanya pria tersebut lagi.

“Ya, tak ada yang tersisa di dunia ini untukku.” Tangan Jiwon tertadah memberikan isyarat dengan tangan satunya untuk meminta rokok.

Pria itu kembali tertawa. “Aku takkan memberikan rokok bagi anak di bawah umur. Apalagi yang ingin kematiannya disegerakan. Rokok itu hanya akan mengurangi umurmu sedikit demi sedikit.”

Jiwon mendesah lelah. “Aku akan melompat ke laut begitu kapalnya berangkat, dengan begitu tak ada yang bisa menolongku. Jadi anggap saja ini permintaan terakhirku sebelum mati.”

Pria itu terkekeh lagi, kali ini makin kencang. “Aku suka dengan gayamu. Mungkin sehabis ini aku akan merekrutmu di tempat kerjaku. Mereka suka orang-orang seperti dirimu. Aku janji.” Sebatang rokok terjulur pada Jiwon.

“Ya, jika aku masih hidup. Terima kasih, Tuan.” Jiwon terlupa tentang meminta korek api. Pengumuman bahwa kapal akan segera berangkat membuatnya kehilangan fokus akan si Pria. Ketika tersadar, pria itu telah raib. Ah, halusinasi bodohnya. Namun, sebatang rokok itu masih tergenggam di jemarinya. Ia masih bisa meminjam korek api dari anak buah kapal selama perjalanan ke Jeju nanti.

***

Jiwon tak pernah begitu senang mendapati wajah-wajah yang terbiasa ketus padanya kini bergeming. Sebagian masih berada di bawah air, sedangkan yang lain mulai mengambang dan membengkak.

“Sudah kubilang bahwa aku akan melihat banyak lagi orang yang tenggelam,” bisik pria itu. Jiwon tak perlu menoleh untuk tahu kalau pria itu tersenyum di balik cambangnya yang lebat.

“Ya, setidaknya aku tak mati sendiri. Mereka semua ikut denganku, bukan? Yang tertinggal di kabin bawah?” Jiwon menatap sekeliling, mendapati bentuk-bentuk buram manusia diarak paksa menuju sebuah titik bercahaya. Dimensi mereka berbeda dengan tubuh-tubuh kaku yang mulai mengambang.

“Tentu saja, tapi kau lain. Kau akan ikut aku menggiring mereka ke sana,” balas pria itu sambil meletakkan salah satu tangannya pada pundak Jiwon. Sementara tangannya yang lain menunjuk gurat-gurat putus asa pada wajah yang buram tersebut.

“Aku janji akan merekrutmu bekerja bukan? Aku tepati janji itu, tapi ingat satu hal. Jangan siksa mereka terlalu kejam, itu bukan tugasmu. Tetapi keputusan dari Sang Pencipta,” imbuh si Pria disertai seringaian lebar.

“Ah, sepertinya aku tahu kenapa orang-orang suka bunuh diri akhir-akhir ini.” Jiwon mengacungkan sebatang rokok pada si Pria, meminta agar pria tersebut berbaik hati membagi sedikit bara apinya. Dan setelah rokok yang tersulut itu terselip di bibir, Jiwon melangkah dengan mantel hitam panjang, melewati tubuh hitam fananya yang mengambang di atas air.(*)

Wonogiri, 03 April 2019

Reza Agustin, pecinta fiksi dan kucing. Kunjungi Wattpad di @reza_summ08.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata