Sewindu Rindu
Oleh : Hertiya
Saat bibir tak bisa mengucap, air matalah yang berbicara. Saat wajah tak bertatap, hanya rindu yang mendera.
Kepahitan hidup sejatinya memang pasti dirasakan manusia. Dengan begitu manusia bisa tahu, bagaimana mengelola hati dan perasaaan saat sedang dalam fase itu.
Seperti hari ini. Bumi berbisik pada langit, “Tumpahkan hujan yang sangat deras, agar manusia bumi merasakan airmu membawa kesedihan mereka.”
Hal ini sedang aku rasakan sekarang. Menatap air hujan dengan tenang. Menikmati setiap petrikornya yang menerpa wajah. Aroma khas air yang bercampur dengan tanah, membuatku nyaman berada di bumi manusia. Inilah senyaman-nyamannya tempat yang ada di dunia.
“Gita ….” Suara lembut memanggilku pelan. Aku menoleh ke arah sumber suara, meninggalkan pandangan terhadap hujan yang masih mengguyur bumi.
“Sudah, jangan diingat lagi.” Tangan lembut yang sudah merawatku selama dua puluh lima tahun ini masih terasa nyaman. Tak ada yang berubah, yang berubah hanya satu. Kepergian seseorang.
Mataku kembali menatap air hujan. Kali ini kuulurkan tangan guna merasakan deras dan dinginnya air itu.
“Apa hanya sekadar mengingat saja gak boleh, Bu?” tanyaku pelan sambil menarik napas panjang, menghirup kembali aroma air hujan yang bercampur dengan tanah. “Apa memiliki rasa rindu juga salah?” lanjutku.
“Tidak, Nak. Bukan begitu maksud Ibu.” Kurasakan tangannya kini menyentuh kedua pundakku. Seakan menahan agar diri ini tidak runtuh dalam kesedihan yang mendalam.
Kupejamkan mata sambil terus merasakan air hujan yang menerobos sel kulit. Telapak tangan kututup, guna menggenggam air yang terus jatuh melalui genting rumah. Namun sayang, justru tak tergenggam. Ia mengalir begitu saja melalui sela-sela jemariku.
“Seperti inilah Ayah yang sudah pergi, Bu. Air yang digenggam kuat pun akan keluar melalui sela jari. Sisanya … basah. Seperti rindu yang menapak dalam hati.”
Kalimat itu keluar dari mulutku. Lebih tepatnya dari hatiku, bersamaan dengan mata yang mulai mengembun. Akan ada air yang kembali tumpah. Bukan air hujan, tetapi air mata.
Dengan cepat Ibu memeluk tubuhku yang lemah–mungkin juga rapuh. Kurasakan ia mengecup kepalaku dengan lembut. Membelainya lalu mengecupnya lagi.
“Delapan tahun, Bu. Delapan tahun Ayah pergi,” ucapku tertahan. Bukan hanya menahan kata, tapi juga menahan tangis.
Ibu mengusap lembut kedua pipiku sebelum berkata, “Ikhlas. Ikhlaskan, Nak.” Tatapannya sangat lembut, bahkan melebihi lembutnya sutra.
Aku bergeming. Kembali fokus pada benang putih yang menjuntai dari langit sana. Kembali menikmati instrumen yang langit ciptakan. Menikmati melodi yang hujan nyanyikan.
Namun, kali ini hujan tampak abu-abu. Seperti menggambarkan hati yang tengah pilu. Sendu dalam rindu. Selama kurun waktu sewindu.
Rinai Kelabu
Awan berarak dengan cepat
Dari langit timur menuju barat
Angin pun turut menemani
Tiba sudah hujan di awal Juni
Rinainya semakin tampak
Dihiasi kelabu dalam petrikornya
Sementara itu kalbu sesak
Mematri jiwa penuh tanya
Harap jingga akan datang
Hias benak sudah suram
Bagai purnama di kegelapan malam
Namun inilah rinai kelabu tanpa terang
-Kota Hoedjan-
Tiga bait puisi ini mengakhiri hari yang kelabu di Sore hari. Menamatkan derai yang mengalir sedari tadi. Sampai pada akhirnya semua kembali menjadi sepi. Sunyi.
***
Ini sudah sewindu empat puluh hari. Tak ada yang berubah. Semua masih sama. Lantas memori dalam otak kembali berputar pada sosok lelaki yang pernah menjadi pujaan hati.
“Ta, kamu tahu gak arti namamu itu apa?” tanyanya saat kami sedang memakan siomay dan batagor sehabis pulang sekolah di kedai yang menjadi langganan kami.
“Apa?” kataku sambil mengunyah.
“Kunyah dulu baru ngomong,” cibirnya. Aku hanya nyengir dan menunggu perkataan dia selanjutnya.
“Gi-ta. Nama yang diambil dari bahasa Sansekerta yang memiliki arti nyanyian.” Wajah tampannya menengadah ke atas langit yang mulai gelap. Membuat pandanganku turut mengikutinya.
“Terus, kenapa lihat langit?” tanyaku yang masih mengikutinya memandangi langit.
Sekilas dia tertawa lalu berucap, “Kamu kenapa ikutin aku lihatin langit?” Pertanyaannya membuatku salah tingkah. Lalu kusuap tiga potong siomay yang masih tersisa di atas piring dengan cepat.
“Santai aja, Ta, makannya. Kamu kalau salah tingkah lucu, ya,” ujarnya menertawakanku.
Kukerucutkan bibir lalu melap asal sudutnya yang berlumur saus kacang. “Kalau nge-lap tuh yang bersih, dong, Ta. Nih, masih belepotan.” Tangan kokohnya terulur untuk membersihkan sisa saus kacang yang ada di sekitar bibirku. Sesaat rasa hangat menjalar dalam pipiku.
“Ayo kita pulang, Ndra. Sebentar lagi mau hujan.” Aku beringsut berdiri dari duduk. Kemudian Indra melangkah terlebih dahulu menuju sepeda motornya setelah membayar semua makanan kami.
Baru saja melangkah, hujan tiba-tiba turun sangat deras. Sontak aku mengambil langkah mundur untuk kembali ke dalam kedai. Akan tetapi Indra dengan cepat menahan tanganku.
“Kita hujan-hujanan, yuk, Ta!” Suaranya sedikit berteriak karena hujan yang semakin lebat.
Aku menggeleng kuat. “Enggak. Hujannya deras banget,” kataku.
Indra lalu menarik tanganku sehingga membuatku terseret keluar. Rasa dingin dari air hujan menerobos baju seragam hingga kulitku.
Indra membawaku ke tempat yang sedikit jauh dari kedai itu. Dia menggenggam tanganku dan memasukkan jemarinya di sela jemariku.
Inikah rasa hangat di tengah kedinginan?
“Ta, aku suka hujan. Karena itu aku ajak kamu main hujan-hujanan. Supaya kamu tahu, bagaimana rasanya diterpa milyaran air dalam waktu bersamaan,” ujar Indra.
“Tapi lama-lama sakit tahu, Ndra, dijatuhi air hujan gini.” Lalu Indra menghadapkan tubuhku ke arahnya. Membuat jarak kami sangat dekat.
Kemudian dia memegang kedua pundakku dan berkata, “Justru itu, di balik rasa sakit air hujan yang jatuh ke tubuh kita, ada rasa bahagia di dalamnya. Karena aku menikmatinya bersama kamu, Ta. Kamu adalah nyanyian di kala hujan. Maka dari itu aku ajak kamu untuk merasakannya hari ini.”
Aku tersenyum dan menatap mata cokelat terang miliknya. Dia yang membuat aku selalu merasa nyaman sejak kami mengenal satu sama lain saat kelas satu SMA.
Indra lalu mengajakku untuk berputar di tengah hujan yang semakin deras. Mengekspresikan rasa bahagia yang sedang menghinggapi diri masing-masing. Dia adalah hujan dalam nyanyianku.
Tak terasa aku melamunkan kejadian itu. Kejadian delapan tahun lalu. Indra–lelaki yang aku cintai–pergi meninggalkan sejuta rasa dalam diriku. Dia pergi bersamaan dengan kepergian ayahku.
Kenapa semua orang yang aku sayang dan cinta pergi dalam waktu bersamaan? Kenapa, Tuhan? Ini sungguh tidak adil.
Ayah pergi karena takdir. Indra pergi juga karena takdir. Lantas, apa kesendirianku juga ini bernama takdir? Sendiri dalam sepi yang berbalut sunyi. Menahan aneka rasa dalam hati. Terutama rindu. Perasaan yang satu ini tak juga menemui temu. Dia masih membelenggu hati yang pilu. Menemani waktu yang tak pernah berlalu. Sewindu. [*]
Bogor, 20 Juni 2020
Hertiya, penyuka seni, pengagum mawar, dandelion, dan penikmat hujan.
Editor: Erlyna
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.