Sewaktu Kecil Aku Buta (Bab 9)
Oleh : Dyah Diputri
Pukul lima sore. Boy pulang kerja dan segera menghampiri Arum di dapur. Bu Wanti sedang tidak enak badan, jadi Arum membuatkannya teh hangat dengan madu untuknya. Padahal, hari ini gadis itu mau pamit pulang. Sudah seminggu ini dia tidak mengunjungi panti.
“Buatkan satu lagi, sekalian.” Boy menjawil lengan Arum.
“Kamu minum teh? Sejak kapan?” tanya Arum.
“Bukan untukku. Untuk kekasihmu.”
Arum menghentikan gerakan menuang gula di cangkir. Tatapannya nanar. Darahnya berdesir kuat pun cepat. Dia tak sempat memarahi Boy karena mengajak Diaz ke rumah itu tanpa seizinnya. Lidahnya terlalu kelu untuk berucap sebab sergapan rindu datang terlalu tiba-tiba.
“Biar kuantar teh untuk Mama. Temui saja dia. Sekalian minta antarkan pulang ke panti.” Boy mengambil cangkir teh yang sudah siap lalu berbalik memunggungi Arum.
“Semalam aku bilang, kan? Aku belum siap menemuinya.” Pelan, Arum berucap.
Langkah Boy kembali terhenti. Dia sedikit merasa bersalah karena mengundang Diaz lewat telepon semalam. Pria itu paham Arum memang tak akan berani menelepon Diaz, makanya dia berusaha membantu keduanya untuk bertemu. Entah apa Arum siap atau tidak, mana dia tahu perasaan wanita.
Tadinya Boy pikir Diaz akan datang pagi atau siang hari. Jadi dia tak akan merasa bersalah kepada Arum secara langsung saat pertemuan itu terjadi. Sialnya, Diaz justru datang bersamaan dengan kepulangannya dari restoran. Mau tidak mau Boy harus menyembunyikan kesalahannya di balik raut malu.
“Apa bedanya sekarang atau besok? Masalahmu bukan cucian yang bisa kamu tunda untuk dikerjakan,” ejek Boy tak acuh. Keduanya masih dalam posisi memunggungi dan mematung satu sama lain.
“Kamu sok tahu.” Arum melipat tangan di dada. Diaturnya napas senormal mungkin walau degup di dadanya tak kunjung hilang.
Boy memutar badan. Dia letakkan cangkir teh di tempat semula, kemudian memegang kedua bahu Arum dengan tatapan tak biasa.
“Memangnya apa yang nggak aku tahu tentang kamu? Memangnya kamu anggap aku orang seasing apa? Aku cukup tahu segala tentang perasaan kamu, Rum. Bahkan sebelum kamu mengenalinya sendiri.” Suara Boy bernada lebih tinggi.
Detik itu Arum tercekat. Bahunya yang teremas, tetapi entah kenapa dadanya yang sakit. Boy tidak pernah seserius itu bicara tentang mereka. Persahabatan mereka berjalan sewajarnya sebelum ini.
“Maaf.” Boy melepaskan pegangannya. Kembali diambilnya cangkir teh sebelum berlalu pergi.
***
Setelah sesuatu terjadi, hanya orang-orang yang berpikir dewasalah yang masih bisa memasang wajah baik-baik saja. Terkadang mereka bukan sedang membohongi keadaan yang sesungguhnya, melainkan sedang berusaha tidak memperkeruh suasana.
Arum duduk di samping Diaz setelah meletakkan cangkir teh di meja ruang tamu. Mendadak rasa gugupnya berganti tak nyaman. Sadar, saat ini dia bukan ada di rumahnya sendiri, melainkan di rumah Boy. Kalau sedikit saja ucapannya mengencang, Bu Wanti dan Boy bisa saja keluar dari kamar. Sementara dalam hati Arum ingin memaki, memarahi Diaz, atau meluapkan kerinduan dengan tangisan di dada pria itu.
Namun yang terjadi selama beberapa menit hanyalah kebisuan. Keduanya gelisah dalam perdebatan rasa di dalam diri sendiri. Tidak ada pelukan, tidak ada amarah. Cinta memang seaneh itu.
“Kalau tidak ada yang ingin kamu katakan—”
“Ayo, kita tetap menikah!”
Kalimat Arum yang tak selesai itu seakan-akan mengambang di udara. Mulutnya terkunci pelan, seiring air mata yang mendominasi. Mendengar ajakan menikah itu sungguh membahagiakannya, seandainya saja keadaan sedang berpihak kepada mereka.
“Meski tanpa restu mamaku, aku tetap ingin menikah denganmu. Apa cinta itu salah, Rum?” Dia memandang lekat wajah Arum yang semakin basah oleh air mata.
Gadis itu tergugu tanpa suara. Ingin rasanya mengiakan permintaan Diaz, tetapi entah kenapa dia kesulitan mengungkapkan keinginannya. Di satu sisi hatinya merasa hal ini bukanlah solusi maupun jalan terbaik. Arum tidak mau menjadikan pria itu seorang anak yang durhaka. Lantas, untuk apa pertemuan itu jika pada akhirnya dia kembali terluka?
Diaz meraih Arum ke dalam pelukannya, menciumi kening gadis itu hingga rasa rindunya puas terbayarkan. Dua hari itu waktu yang teramat lama karena alasan tidak bertemu adalah kata pisah. “Aku mencintaimu, Rum. Lebih dari yang kamu tahu. Siapa pun kamu.”
Arum hanya mengangguk. Bisa dirasakan kekuatan rasa itu dari hangat pelukan Diaz. Begitu pun sebaliknya. Hatinya telah terkunci untuk pria itu. Pria yang mungkin bisa dimiliki setelah melewati terjal yang curam dan berliku.
***
“Suatu saat nanti, aku akan menemanimu duduk di ruang kerja, lalu kita akan sama-sama membaca buku.” Arum berkata seraya tersenyum.
Di sampingnya, Diaz yang sedang mengemudikan mobil membalas senyuman itu dengan wajah tak kalah berbinar. Sepulang dari rumah Boy, Arum minta diantarkan ke panti. Diaz begitu bersemangat mendengarnya. Andai Arum tahu kalau semalam pria itu pulang dengan tangan kosong dari panti, sebab ternyata dia bersembunyi di rumah Boy.
“Tidak perlu. Aku yang akan membacakan banyak buku untukmu. Orang bilang, jika mata tak bisa melihat, setidaknya telinga bisa mendengar, kan?” jawab Diaz.
“Tapi Boy bilang, ikut membaca bersama orang yang membaca itu lebih menyenangkan. Gambaran-gambaran liar tumbuh dengan sendirinya di kepala.”
“Namanya visualisasi.”
Arum mengangguk. Akhirnya, sejenak bisa merasa bernapas longgar setelah bertemu dengan Diaz. Boy benar, tidak ada bedanya menghadapi masalah sekarang ataupun besok. Meski masih dibuat gamang dengan rencana pernikahan Diaz, paling tidak Arum tidak lagi menyimpan kepedihannya sendiri. Orang yang diharapkannya berjuang lebih dulu menyodorkan keyakinan.
“Jadi, Boy bukan hanya chef di resto kamu? Kenapa aku tidak pernah tahu?”
“Hanya belum kuberi tahu, Iaz. Bukankah sudah kubilang ada banyak hal yang tidak kamu tahu tentang aku.”
“Katakan sekarang saja!”
“Dimulai dari mana?”
“Terserah. Mau alur maju atau mundur, mau cerita suka ataupun duka. Katakan agar aku tidak buta tentangmu. Apa kamu mau bercerita tentang mamaku? Ceritakan! Pasti dia banyak merepotkanmu dulu. Benar?”
Mama Diaz. Bu Andini.
Sekilas sebutan itu mengantarkan Arum pada malam penolakannya sebagai calon istri Diaz. Jika sekarang dia ingin berkeluh kesah tentang mama Diaz, pantaskah? Tidakkah itu terkesan seperti seorang gadis yang ingin menciptakan dinding pemisah antara anak dan ibunya?
Arum mengambil napas panjang. Diputuskannya untuk menunda kisah itu, sampai pada saat hatinya legowo untuk memaafkan dan menguarkan yang baik-baik saja tentang Bu Andini. Sesungguhnya hal terbesar yang belum bisa dia lakukan adalah memaafkan. Arum tidak mau kemarahan yang masih dia pendam itu meledak dalam bentuk yang tidak sepatutnya, terlebih kepada Diaz—yang tidak tahu apa-apa.
“Aku ceritakan alur mundur. Berawal dari Ibu, Boy dan mamanya, dan panti asuhan.”
Bersambung …..
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata