Sewaktu Kecil Aku Buta (Bab 1)

Sewaktu Kecil Aku Buta (Bab 1)

Sewaktu Kecil Aku Buta (Bab 1)
Oleh : Dyah Diputri

Diaz menjentikkan jari ke depan wajah Arum. Sudah ada empat menit gadis itu terbengong memandangi kotak cincin di meja dinner mereka. Entah dia memandangi betapa indahnya cincin lamaran Diaz, atau karena tak menyangka akan dilamar secepat itu.

Terhitung tiga bulan, dua puluh empat hari, dan dua jam mereka saling kenal. Berawal dari rasa terima kasih Diaz karena restoran Arum telah memberikan pelayanan terbaik untuk acara gathering keluarga besarnya. Sekali-dua kali mereka bicara tentang bisnis, lalu pertemuan berikutnya mereka mulai merasa cocok untuk membuka diri satu sama lain. Namun, untuk bicara soal pernikahan, Arum pikir itu terlalu … dini.

“Hai, mau jawab sekarang atau butuh waktu? Asal jangan waktu untuk melamun saja, Rum. Bisa-bisa kamu ketiduran!” gurau Diaz, menyembunyikan rasa gugup yang sebenarnya hampir mendobrak pertahanan senyumnya.

“Ini … serius?” Arum tak bisa lepas dari mimik terkejut. Lamaran Diaz memang mengejutkan.

Diaz adalah pria pertama yang mengisi hati Arum sepanjang usianya yang berada di ambang angka dua puluh enam. Diaz tampan dan menawan, bujang pula. Suatu keberuntungan jika pria yang dua tahun lebih tua darinya itu menjatuhkan pilihan kepadanya. Arum pun berniat serius, hanya saja dia butuh waktu untuk mengenal lebih dalam pribadi masing-masing.

“Kamu belum kenal aku seratus persen,” ucap Arum lirih. Sungguh kontradiksi dengan pembawaannya selama ini sebagai pemilik sekaligus manajer restoran.

Diaz tersenyum lembut. Katanya, “Aku akan mengenalmu seribu persen setelah kita menikah.”

Arum tergelak, memperlihatkan dua lesung pipit yang dalam dan indah disertai binar mata yang semakin teduh. Dia main-mainkan jemarinya di kotak cincin beludru warna merah, sesekali membuka-tutup kotak itu, hingga suara tak-tuk-tak-tuk mengisi jeda sunyi setelah tawanya reda.

“Aku tahu kamu tidak bercanda, Iaz. Aku juga tidak sedang main-main. Usiaku tidak lucu lagi untuk membahas lelucon,” ucap Arum dengan memanggil sebutan khas kepada Diaz.

“Oke, aku memberimu waktu. Satu bulan saja.” Diaz mengulas senyum seraya mengacak rambut Arum.

Andai saja mereka tidak sedang di restoran Arum dan duduk di meja khusus pembeli VIP, tentu Arum tak bisa mengelak dari rona merah yang menyebar cepat di pipinya. Diaz selalu lembut dan memperlakukannya seperti anak SMA, dan itu selalu sukses membuat debar di dada Arum seumpama bola bekel yang terpantul-pantul di atas lantai.

“Seharusnya aku yang meminta waktu ….” Malu-malu, Arum berucap.

“Aku akan memberi sebelum kamu meminta.” Diaz semakin gencar menggelitik hati Arum, membuat perempuan itu semakin kesusahan mengalihkan degupnya.

“Kamu bukan kaum bucin, ‘kan?”

Kali ini Diaz tak mau bercanda. Dipegangnya tangan lembut itu hingga sentuhan hangatnya mengalir melalui buku-buku tangan Arum. Matanya lekat menatap, menelusuri kedalaman rahasia yang memang belum terlalu dikuaknya. Akan tetapi segera, segala tentang perempuan itu, Diaz akan membacanya secepat dia membaca buku-buku manajemen atau perbisnisan.

“Kita hanya bisa memahami jika kita punya ruang untuk menyelami. Aku ingin … berenang, bahkan tenggelam di ruang hatimu.”

🍁🍁🍁

Hal pertama yang Arum ingin Diaz tahu adalah bahwa dia seorang perempuan yang tinggal di panti asuhan. Sebuah rumah bertingkat tiga dengan tujuh asisten yang membantunya mengurus dua puluh satu anak yatim piatu. Arum menemukan anak-anak itu satu demi satu di jalanan, di kantor satpol PP, bahkan di depan halaman panti—berupa bayi merah yang ari-arinya belum terputus. Selama lima tahun terakhir, Arum mengeluarkan uang hasil kerja kerasnya demi membangun panti tersebut.

“Hampir empat bulan, Rum. Dan aku sangat keterlaluan karena tidak pernah tahu di sini tempat tinggalmu yang sebenarnya.” Diaz menggelengkan kepala begitu duduk di ruang tamu panti.

Sudah pukul sembilan malam, anak-anak sudah masuk ke kamarnya masing-masing. Kalau tidak, tentu mereka sudah menghambur ke pelukan Arum, juga menebar tawa cekikikan ketika tahu ibu asuh mereka datang bersama seorang pria tampan.

“Jarak panti dengan resto cukup jauh. Aku tidak mungkin pulang setiap hari. Karenanya aku menyewa rumah dekat resto,” jelas Arum.

“Dan aku tertipu!” Diaz menepuk keningnya, masih bergeleng-geleng.

“Aku tidak berniat, kamu saja yang belum tahu. Sudah kubilang, kita belum saling mengenal dengan baik.” Arum menyatukan jempol dan telunjuk kanannya hingga membentuk lingkaran. Satu kedipan matanya membuat Diaz semakin gemas.

“Apa lagi yang tidak kutahu?”

Pertanyaan itu hanya mendapatkan helaan napas Arum. Sejenak perempuan itu menyandarkan kepala di sandaran sofa, memejam selama setengah hingga satu menit, lantas bersenandung kecil. Sebuah lagu yang tidak jelas nadanya, apalagi hanya berupa gumaman.

“Katakan hal kedua yang ingin kamu ceritakan. Lima menit lagi aku akan pulang, Rum.”

Arum membuka mata. Senandungnya terhenti. Dia menoleh ke kiri, lalu menyilakan Diaz minum. “Tidak ada yang pulang dari panti ini sebelum menghabiskan secangkir teh pandan.”

“Aku akan habiskan kalau kamu mau bercerita. Sedikit, mungkin.” Diaz mengerling.

Arum mengedarkan pandangan ke sekitar ruang tamu. Dia berdeham, kemudian berkata, “Tiga belas tahun yang lalu aku menapakkan kaki di kota ini. Tepatnya setelah lulus SMP. Sendiri. Sendiri saja.” Tampak mimiknya beralih sendu.

“Sendiri? Gila!”

“Aku sama seperti anak-anak panti yang kubawa dari jalanan. Aku berjalan sendiri di sekitaran stasiun, dengan sisa uang celengan di saku baju. Aku berhenti di warung, mengisi perut, lalu berjalan lagi tanpa tujuan. Sampai seorang perempuan dewasa menyapa dan menanyakan asal-usulku. Namanya Bu Asiyah.”

Arum berjalan ke sudut ruangan, membuka salah satu laci nakas, kemudian mengambil album foto kecil yang tidak terlalu tebal. Disodorkannya album itu kepada Diaz yang masih menanti kelanjutan ceritanya.

“Bu Asiyah seorang janda. Tinggal sendiri di rumah ini sepeninggal suaminya. Dia tidak punya anak. Makanya, dengan senangnya menemukan aku seperti anak kecil menemukan mainannya yang hilang.”

“Ke mana Bu Asiyah sekarang?”

“Ibu sudah meninggal. Beberapa hari setelah aku lulus SMA.”

🍁🍁🍁

Ada banyak hal yang tidak ingin kita ketahui, tetapi nyatanya seperti lembar-lembar buku yang kita baca dengan teliti. Ada juga banyak hal yang ingin kita sembunyikan, tetapi nyatanya seperti tumpukan belanjaan yang mau tidak mau harus di-scan harganya di depan kasir. Rahasia dan keingintahuan itu adalah dua hal bertentangan yang jaraknya dekat sekali.

Darah Arum berdesir kuat melihat tumpukan buku di pelukan Diaz. Pria bermata tajam itu bilang, hanya tersisa satu buku di meja kerjanya yang hampir tuntas dibaca. Jadi Minggu pagi ini adalah waktu yang tepat untuk memborong buku di toko buku pusat kota.

“Berapa lama biasanya kamu habiskan buku ini?” tanya Arum.

Seusai membayar buku, mereka bergegas mencari tempat duduk di salah satu kafe dekat toko buku. Menu breakfast dan secangkir kopi rasanya pas menemani pagi yang agak dingin.

Diaz duduk di sebelah Arum, mengeluarkan sebuah buku yang lebih tipis dari kawannya, kemudian membuka halaman pertama. “Satu jam untuk buku ini,” ucapnya.

Arum tercekat. Tenggorokannya seketika kering. Dia haus, tetapi kopinya belum diantar. Sial sekali!

“Kamu tidak pernah baca buku bisnis, Rum?” Diaz bertanya tanpa menoleh. Pandangannya fokus ke abjad-abjad yang berderet cantik di bukunya.

“Memang harus, ya?” Wajah Arum tampak polos. Ah, tidak! Mungkin lebih tepatnya tampak bodoh. “Aku membangun resto dari nol. Tanpa membaca buku, Iaz.”

Sontak Diaz menghentikan kegiatan membacanya. Dia merasa lucu mendengar perkataan kekasihnya. Bagaimana mungkin ada pebisnis yang tidak membaca buku dalam mengembangkan bisnis yang dikelolanya? Kalaupun ada, biasanya tidak akan bertahan lama.

Arum yang merasa diperhatikan seperti itu, merasa geli sendiri. Cubitannya mendarat di lengan Diaz. “Aku serius. Maksudku, kenapa kita harus membaca banyak teori, sedangkan praktiknya nol! Itu membuang waktu! Dan … kamu jangan pernah memandangku dengan wajah seperti itu, Iaz! Itu menyebalkan! Aku tahu, aku bukan orang kantoran sukses sepertimu. Rival kerjamu siap menerkam setiap saat. Tapi serius, ini serius! Aku tidak suka membaca.”

Diaz tertawa lepas melihat Arum kebakaran jenggot hanya karena masalah buku. Pikirnya, kalau tidak mau baca buku bisnis, ya, sudah! Tidak perlu sewot juga. Lagi, cubitan perempuan itu masih panas terasa, membuatnya ingin membalas, tapi ….

“Kita tidak dipandang kaya atau miskin saat membaca, Rum. Setiap bacaan pun akan bermakna pada saatnya. Ada banyak keajaiban dalam sebuah buku, dan tidak ada yang tahu selain pembacanya.”

Arum berpikir keras, sekeras perasaannya yang menolak untuk menyentuh buku bacaan setelah kepergian Bu Asiyah. 

Bersambung …

 

Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.
Editor : Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply