Setitik Noda yang Menawan
Oleh: Fathia Rizkiah
Pagi ini saya sudah mengenakan pakaian rapi dan menggendong tas ransel. Saya berdiri di depan gerbang indekos. Berniat memesan jasa ojek online, tetapi buru-buru saya urungkan. Saya lupa ojek online belum beroperasi kembali. Akhirnya pilihan lain, saya harus berjalan hingga ujung gang, bersiap menaiki angkot, angkutan umum yang biasa saya tumpangi semasa sekolah.
Angkutan umum yang sudah tidak tahu berapa usianya, yang pasti sudah jauh lebih tua dibanding usia saya. Kendaraan beroda empat ini dulunya sangat populer, terlebih saat seluruh angkot membuat tarif khusus untuk pelajar. Pelajar berkantong tipis seperti saya merasa sangat beruntung, karena uang jajan saya—yang biasa saya tabung di warung internet sepulang sekolah—hanya terpotong sedikit, sehingga saya bisa dengan leluasa mendekam di warnet sesuai paket yang saya ambil per jamnya.
Karena tarif khusus, angkot selalu ramai dengan penumpang berseragam sekolah. Akibat ini, banyak pelajar yang membawa seragam sekolah ke mana-mana, padahal tujuan mereka bukan untuk ke sekolah, dan bukan juga di waktu pulang atau pergi sekolah. Bahkan, tidak sedikit manusia yang sudah tamat sekolah, ikut mengenakan seragam saat menaiki kendaraan beroda empat ini.
Menurut saya semacam itu adalah hal paling nyeleneh. Seru juga kalau mengingat kembali perdebatan antara kenek dan penumpang berseragam sekolah yang bersikeras ingin menaiki angkutan umum itu, pada jam-jam sekolah. Namun, itu tidak berlaku lagi sekarang. Kendaraan beroda empat itu banyak terlupakan, hanya beberapa orang saja yang masih meliriknya.
Tepat saat saya sampai di ujung gang, kendaraan umum yang saya maksud melaju pelan. Ciri khasnya memang begitu, berjalan pelan-pelan jika melintasi gang. Jika ada orang berjalan di dalam gang, biasanya angkot akan menepi dan menawarkan, siapa tahu saja orang itu ingin menaikinya.
“Ampera?” tawar kenek yang duduk di sebelah sopir.
Saya menganggukkan kepala, mobil angkot pun berhenti.
Saya masuk sambil membungkuk menuju kursi yang paling ujung. Kaca jendela saya buka sedikit. Di dalam ruang yang lumayan pengap ini, terkena tiupan angin sedikit saja rasanya seperti mendapat jatah uang arisan saat tanggal tua, beruntung!
Sebelum saya, sudah ada dua anak laki-laki berseragam SMA. Keduanya duduk tepat di ambang pintu. Saya perhatikan, penampilan mereka cukup berantakan. Baju seragam tidak dimasukkan celana, celana panjang sudah mengatung, warna seragam sudah bule, dan yang paling mencuri perhatian saat saya melewati keduanya, aroma rokok menguar tajam. Apa mereka merokok sepagi ini?
Tidak lama, yang duduk persis di belakang sopir merogoh sesuatu di saku celana. Teman di sebelahnya bertanya, “Punya lo masih ada?”
“Masih, nih, mau lagi nggak lo? Mulut lo masih pahit, ‘kan?”
“Iya, pahit banget.”
Kemudian keduanya menyundut ujung rokok menggunakan korek milik kenek angkot.
“Pada ngga sarapan, Tong? Masih pagi udah ngerokok?” tanya sopir angkot, matanya melirik kaca spion tengah yang menggantung di atasnya.
“Sarapan mah sarapan, Pak. Tapi nggak ada kopi, mulut pahit,” jawab salah satu anak SMA itu, lalu kembali mengisap rokok dan meniupkan kepulan asapnya di dalam ruang pengap ini.
Asap-asap itu kini menyatu, sudah seperti pengganti pengharum ruangan. Saya benci betul aroma ini, meski saya laki-laki. Sebisa mungkin saya mencari cara agar hidung saya tidak menghirup lebih banyak asap mematikan ini. Saya menghadapkan wajah di depan jendela, meski kesempatan untuk tidak mencium aroma itu sangat kecil, karena tiba-tiba angkot memperlambat laju—yang berarti angin yang menyelinap masuk pun sangat sedikit.
Saat angkot berhenti, kedua anak SMA itu sedikit heboh. Saya penasaran, saya menoleh. Ternyata ada teman mereka ingin menaiki angkot yang sama. Tidak tahu ini baik atau sebaliknya untuk saya, yang jelas sekarang saya benci berada dalam angkutan umum ini.
Ternyata tidak buruk juga, anak SMA yang baru menaiki angkot menolak saat ditawarkan rokok. Saya bernapas lega, ruang pengap ini tidak semakin dipenuhi asap. Namun, muncul suasana baru saat satu anak bergabung. Tampaknya pertanyaan yang ia tanyakan membuat temannya tidak nyaman.
“Beng, gimana hubungan lo sama Irene? Gue lihat dia update status galau terus, lo selingkuhin, ya?”
Anak yang duduk beberapa jengkal dari tempat saya duduk, mengembuskan asap secara sengaja ke udara.
Temannya yang duduk di belakang sopir tertawa pelan. “Lo nanyain beginian ke Abeng? Dia, kan, nggak boleh pacaran sama mamaknya.”
“Benar, Beng? Posesif amat mamak lo?” tanya anak yang duduk di bangku kecil depan pintu, bangku itu biasanya digunakan untuk mengganjal pintu agar tidak tertutup sendiri.
Anak yang ditanya mengembuskan asap rokoknya ke udara sekali lagi. “Bingung gue juga, udah gede masih aja dilarang ini-itu ini-itu.”
“Perempuan kalau udah sayang emang gitu, Beng. Posesif,” timpal teman di sebelahnya yang sama-sama sedang asyik merokok.
Ingin sekali saya menambahkan, itu termasuk salah satu sikap peduli orangtua ke anak, tetapi saya urungkan. Saya tidak mengenal mereka dan juga belum pernah berjumpa sebelumnya, apa tidak terkesan terlalu ikut campur? Akhirnya saya memutuskan untuk diam saja, penuh harap angkot cepat membawa saya ke tempat tujuan. Saya sangat merasa asing di sini.
Anak yang bernama Abeng kembali mengisap rokok. “Sayang, sih, sayang, tapi nggak nyiksa juga!”
“Lo pacaran nggak boleh, tapi masa ngerokok boleh?”
“Emang mamak gue tahu kalau gue ngerokok? Kaga. Kalau dia tahu, ya pasti nggak bolehlah. Di hidup gue apa, sih, yang dibolehin? Semuanya dilarang! Makan tidur doang yang dibebasin.”
Anak yang duduk di sebelah Abeng menepuk-nepuk bahunya. Suasana berubah canggung, anak yang sejak tadi melempar pertanyaan pun terdiam, ia menatap ke luar pintu.
Saya yang tidak ikut mengobrol pun mengakui suasananya menjadi sangat canggung. Sepertinya sopir dan kernetnya pun mengalami hal serupa. Saya lihat sopir melirik melalui kaca di atasnya.
“Kok berhenti? Udahan ngejelekin orangtuanya?” tanya sopir tiba-tiba.
Saya sedikit terkejut, sejak tadi sopir menyimak percakapan mereka. Saya kira ia akan diam saja seperti saya. Memang, kalau dilihat dari raut wajahnya, sopir angkot ini bukan tipikal bapak-bapak yang sangat tidak memedulikan sekitar. Kulit wajahnya sedikit mengeriput dan matanya yang sayu seperti menyembunyikan sesuatu.
“Bukan ngejelekin, Pak. Orangtua saya emang kayak begitu. Setiap orangtua punya cara masing-masing buat ngerawat anak-anaknya, ‘kan? Salah satu caranya, menyiksa batin anak. Dan itu yang diterapin mamak saya ke saya.”
Pak sopir tersenyum tipis. “Tahu dari mana kalau mamak lo nyiksa lo? Tong, nggak ada orangtua yang nyiksa anaknya. Mungkin sekarang lo mikir kayak gitu, tapi gue yakin saat lo punya anak nanti lo pasti paham kenapa mamak lo begini.”
Suasana semakin canggung.
“Gini deh, coba lo ingat-ingat lagi. Seberapa banyak hal baik yang mamak lakuin buat lo? Coba bandingin sama hal yang lo rasa itu menyiksa lo, dari kedua itu banyakan mana?”
Hening, tidak ada yang menjawab.
“Jangan memandang buruknya aja, Tong. Jangan mau dibawa arus emosi. Kendaliin diri lo.”
Perlahan angkot berhenti. Semua penumpang—termasuk saya—menatap luar, kami sudah sampai di sekolah menengah atas. Ternyata ini sekolah ketiga anak itu, mereka bersiap-siap turun dan membayar. Namun, sopir menolak uang ketiga anak itu.
“Jangan lupa PR dari gue, pikirin mana yang lebih banyak dari pertanyaan tadi. Kalau kalian dapat jawabannya, anggap itu bayaran buat tenaga nyopir gue yang udah nganterin kalian ke sekolah hari ini.”(*)
Tangerang, 19 Juli 2020.
Tentang Penulis
Fathia Rizkiah pencinta kucing oren yang tinggal di Kota Tangerang. Masih dalam tahap belajar mari dukung ia dan berikan komentar yang membangun. Sapa Fathia di Instagram @fath_vhat.
Editor: Dyah Diputri
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.