Setidaknya Aku Pernah Bercerita

Setidaknya Aku Pernah Bercerita

Setidaknya Aku Pernah Bercerita
Oleh : Hassanah

Cerita ini biasa saja dan akan aku ceritakan dengan biasa pula. Sebuah cerita sederhana yang aku kumpulkan dari seorang ibu biasa, membesarkan putra satu-satunya seorang diri, dan bukan itu keistimewaannya.

Dulu aku tidak begitu memahami apa yang dia rasakan. Sebab, aku hanya melihatnya dari satu sisi saja. Ya, dulu ketika aku masih sendiri sementara dia dengan putra berumur delapan tahun.

Dia seorang perempuan yang lahir tanpa orang tua. Tidak bersuami, tidak pula menikah. Namun, dia selalu tampak bangga atas putra satu-satunya. Ketika tatapan tak suka dari orang-orang tertuju kepadanya, dia terlihat baik-baik saja. Entah apa yang membuatnya bisa bertahan seperti itu. Aku hanya menerka, mungkin asam garam kehidupan telah mengenyangkan perasaannya. Dia seperti perempuan mati rasa akan celaan dan gunjingan. Dia pasti kesepian dan cukup menderita. Satu-satunya kesimpulan yang aku tarik dengan sangat bodohnya kala itu.

Dia bernama Gentili. Nama yang cukup aneh di telingaku untuk sosoknya yang terlihat kebulean. Tubuhnya tidak tinggi, tidak pula pendek. Rambutnya pirang keemasan dan keriting. Bibirnya tipis kemerahan dengan hidung mancung seperti bule kebanyakan. Namun, bicaranya jauh dari kesan bule yang ada di pikiran orang-orang. Termasuk aku.

“Aku memutuskan untuk membawa Gurda ke luar negeri.” Nada bicaranya yang medok selalu sukses membuatku terkejut. Entah sampai kapan aku akan terbiasa dengannya.

“Bukannya minggu depan dia akan ujian kenaikan kelas?” Dahiku berkerut sesaat sebelum menanggapi ucapannya kala itu.

Gentili mengangguk seraya tersenyum kecil. Kemudian, dia menarik napas panjang dan mengembuskannya sambil memalingkan wajah ke arah putranya duduk, di meja terpisah, satu meter dari kami. Ada empat kursi pada setiap meja. Termasuk meja kami dan Gurda. Dia tengah menggambar saat ini.

“Aku tidak ingin menjadi orang tua yang buruk.”

Lagi, aku mengerutkan dahi.

“Kau ndak akan mengerti, Nur. Tunggulah masamu saat seorang bayi lahir dari rahimmu dan kau membesarkannya dengan suka cita. Ndak ada yang lebih bahagia selain melihat kebahagiaan anakmu.” Gentili seolah tahu apa yang aku pikirkan. Dia menjawab pertanyaan yang masih kutahan di pangkal lidah. Ya, walau ucapannya tidak menjawab pertanyaanku sepenuhnya.

Aku terus memperhatikan wajahnya yang tersenyum menatap Gurda. Ada kilau kesedihan di sana. Namun, aku tidak berkata-kata lagi. Lebih baik begini, bukan? Sebab, dia memang tidak banyak bicara sejak pertemuan kami yang pertama.

Saat itu, aku tidak sengaja menumpahkan kopi di mejanya dan mengenai beberapa lembar kertas berbahasa Inggris. Dia tidak marah dan hanya tersenyum kepadaku. Katanya, pekerjaanku pasti sangat melelahkan hari itu sehingga tanganku gemetar kala hendak meletakkan gelas di meja. Dan kau tahu, aku langsung mengaguminya kala itu.

Dulu, dia sering datang ke kafe tempat aku bekerja. Duduk di sudut ruangan, jauh dari pintu masuk dan daerah yang sering dilewati orang. Sendirian. Pesanannya pun selalu sama, kopi hitam tanpa gula yang biasa dikenal orang dengan sebutan Americano.

Aku dan Gentili awalnya hanya saling bertukar senyum. Kala dia baru sampai di kafe, atau saat hendak keluar kafe. Hingga suatu waktu, aku meminjamkannya payung. Dan siapa yang menyangka, dia sangat baik orangnya. Saat memulangkan payung hitamku, dia memberiku dua potong brownies buatannya. Ternyata, dia menjual kue-kue baking buatan sendiri.

“Nur, sepertinya aku akan mengeluarkan Gurda dari sekolahnya.” Gentili berkata dengan senyum keraguan di wajahnya, di minggu pagi kala itu. Tepatnya, dua hari setelah kepulangannya dari Eropa.

“Kenapa? Apa kau tidak memikirkan masa depan Gurda nantinya? Bagaimana dia akan menghadapinya di saat anak-anak lain menamatkan pendidikan tertinggi hingga ke luar negeri? Kau tidak boleh egois, Tili!” Entah mengapa, aku merasa sangat berang saat itu. Aku hanya tamatan SMP dan bekerja sebagai pelayan sementara teman-temanku yang lain sudah tamat S2 dan bekerja di perusahaan. Tidak salah memang, tapi tetap saja rasanya ada sesuatu yang membuat dadaku sesak setiap kali melihat mereka.

Gentili menatap wajahku dengan cukup serius. Tidak lama setelahnya, dia beralih menatap Gurda yang sedang menggambar di meja yang sama setiap kali kami bertemu. “Cuma dia yang aku miliki di dunia ini,” ucapnya, kemudian.

“Aku tahu itu. Sudah dua tahun kita berteman, tidak mungkin aku tidak memahami kondisimu.” Aku berujar dengan menggebu-gebu.

“Kau tidak pulang kampung? Bukankah katamu mau pulang di penghujung bulan ini?” Ah, Gentili memang pandai mengalihkan topik pembicaraan. Dia selalu begini.

Aku mengembuskan napas panjang, lalu menenggak latte hangat di tanganku. “Tidak jadi. Ayah dan Ibu akan mengunjungi adikku di ibukota.” Ada rasa panas yang memenuhi rongga dadaku setiap kali menyebut kata ‘Ayah dan Ibu’.

“Kalau begitu, bagaimana kalau kita main ke pantai minggu depan. Gurda bilang, dia mau menggambar di atas pasir.” Wajah Gentili terlihat berseri. Dia menenggak kopi panasnya setelah mengangkat gelasnya sejenak ke arahku.

Aku hanya membalasnya dengan anggukan. Mau bagaimana lagi, aku pun butuh liburan saat ini. Ajakan teman-temanku minggu lalu untuk mendaki Gunung Rinjani dengan terpaksa kutolak karena hendak pulang kampung. Namun, pesan yang masuk malam tadi membuatku menghela napas. Seingatku, sudah tiga tahun sepertinya aku tidak pulang kampung. Selalu, orang rumah sedang tidak ada di rumah kala aku hendak pulang. Adik tengahku bekerja di luar negeri, sementara yang bungsu sedang kuliah di ibukota.

Minggu pagi itu pun kami habiskan dengan memperhatikan orang-orang yang sedang berlari, bersepeda, berjalan santai sambil mengobrol di luar kafe, dan tentu saja senyum Gurda yang hampir menyelesaikan gambarnya. Kami sangat menikmati waktu-waktu seperti ini. Tidak terlalu sering, hanya ketika aku menelepon Gentili dan mengajaknya bertemu. Aku pikir, dia butuh teman untuk mendengarkan ceritanya. Ya, aku sangat suka mendengar cerita teman-temanku.

***

Aku menatap kursi kosong di hadapanku. Hanya ada dua kursi di sini, satu yang aku duduki dan satunya lagi yang biasa Gentili duduki. Meja yang biasa menjadi tempat Gurda menggambar pun kosong. Hanya ada kotak makanan dan botol minuman sisa yang ditinggalkan pemiliknya di sana.

Saat aku mengalihkan pandangan ke arah jalan, tidak banyak yang sedang berolahraga. Orang-orang menggunakan masker dan berjalan secara terpisah. Ini lebih baik menurutku dibandingkan satu tahun lalu. Seluruh kota menjadi sepi karena toko-toko terpaksa tutup dan orang-orang dilarang keluar rumah. Ya, setidaknya ini lebih baik walau aku sendiri tidak tahu kapan akan kembali seperti sebelumnya.

Aku rindu saat Gentili dan Gurda masih ada di sini, dan sekaligus iri kepadanya.

Ya, mereka sudah pindah ke Den Haag, sepuluh tahun lalu, dua bulan setelah liburan kami ke pantai. Gentili bilang, anaknya tidak suka belajar. Dia benar-benar serius saat mengatakan akan mengeluarkan Gurda dari sekolah.

Di tahun pertama mereka di kota keadilan itu, Gentili mengajak Gurda keliling pameran lukisan di sana. Ya, hanya berkeliling tanpa berniat memasukkan Gurda ke sekolah di sana. Katanya, Gurda seperti menemukan rumahnya. Seharusnya, tahun lalu mereka hendak kembali ke Indonesia untuk mengunjungiku. Namun, pandemi mewabah hingga mengguncang dunia dan aku kehilangan kontak dengan mereka. Ah, aku sangat menyesalkan hal itu terjadi. Entah bagaimana.

Kini, aku hanya menatap burung-burung merpati yang tengah mengerubungi remah-remah roti di trotoar. Ada yang berwarna hitam polos, abu-abu, putih dengan corak cokelat, juga yang berkaki merah muda. Mereka datang bergerombol, pun terbang bersamaan. Terlihat sangat kompak layaknya keluarga. Sementara itu, foto kiriman adik bungsuku, satu tahun lalu, memenuhi layar ponsel di atas meja. Dia mengirimi foto keluarga besar suaminya di Austria saat melahirkan putri ketiga mereka.

Ayah dan Ibu, mereka tersenyum sangat bahagia di dalam foto. Rambut Ibu dicat pirang dan kulitnya terlihat lebih cerah dari sebelumnya, saat mereka memutuskan untuk pindah ke Austria, dua tahun lalu. Saat menelepon, Ibu akan menggunakan bahasa Inggris dan sedikit bahasa Jerman. Tampaknya, tinggal di sana membuat mereka serasa jadi orang bule.

Cih, seharusnya aku merengek saja untuk ikut dengan mereka. Tapi, Lula anakku tak mungkin dibiarkan sendiri di rumah sakit. Putri sulungku, anak satu-satunya. Toh kalau pergi ke Austria, ayahnya Lula akan segera lepas tanggung jawab dan merasa bebas hidup dengan pacar bulenya. Enak saja dia.

“Permisi, Nona. Boleh aku duduk di sini?” Aku menatap sumber suara. Seorang lelaki berpakaian olahraga yang membalut tubuh atletiknya tampak tersenyum dengan keringat memenuhi dahi. Sementara itu, aku melirik ke sekitar ruang kafe yang entah sejak kapan ternyata sudah ramai. Meja-meja sudah terisi oleh pelanggan.

“Silakan.” Aku memasukkan ponsel ke dalam saku jaket dan hendak beranjak dari sana.

“Maaf kalau aku mengusik ketenangan Anda.” Kulihat wajah lelaki itu cemas. Beberapa detik setelahnya, aku kembali duduk. Sepertinya, duduk sebentar lagi tidak mengapa. Toh aku tidak punya kegiatan lain setelah Lula dipeluk kematian, dua bulan lalu.

Lelaki itu pun tersenyum dan duduk di kursi, di hadapanku. Dia meletakkan helm, sepertinya helm pesepeda, di meja. Lalu, dia kembali berkata, “Boleh aku memperkenalkan diri?”

Aku mengangguk. Lelaki ini terlihat muda dariku. Agaknya, dia seumuran dengan adik bungsuku.

“Saya Gentala. Bulan lalu, aku dipindahtugaskan ke sini. Boleh aku bercerita, Nona Nur?”

Tunggu, mengapa namanya seakan-akan seperti Gentili versi laki-laki?

“Pegawai kafe di sana bilang, kalau perempuan yang duduk di kursi ini adalah seorang pendengar yang baik. Sering duduk sendiri seperti seseorang yang kesepian.”

Aku mengalihkan pandangan ke arah pelayan yang dimaksud. Ah, gadis muda itu. Padahal aku hanya mendengarkan ceritanya satu kali, kenapa dia berlebihan seperti ini?

“Tidak juga. Aku hanya melakukan rutinitas saja. Dan, hanya cerita istimewa yang akan kudengar.” Aku tidak berbohong. Semua cerita yang pernah kudengar, pasti selalu istimewa.

“Apakah ada syarat agar ceritaku menjadi istimewa?”

“Tidak juga. Kau hanya harus memikirkan, seberapa istimewanya ceritamu untuk aku dengarkan.”

Aku lihat lelaki ini tampak menimbang-nimbang. Setelah beberapa saat, dia menatapku dan berujar, “Bagaimana kalau aku mendengarkan cerita istimewa milik Nona? Apakah dari sekian banyak cerita yang pernah Nona dengar, ada yang paling istimewa?”

“Tentu.”

Lelaki ini mengerutkan dahinya. Tak lama setelahnya, dia meletakkan kedua tangannya di atas meja. Dia terlihat bersiap-siap untuk mendengar ceritaku. Jujur, ini adalah kali pertama aku bercerita kepada orang lain. Dan, sepertinya aku akan bercerita dengan cara yang aneh nanti. Tapi, setidaknya aku pernah bercerita.

“Cerita ini biasa saja dan akan saya ceritakan dengan biasa pula. Sebuah cerita sederhana yang saya kumpulkan dari seorang ibu biasa, membesarkan seorang putranya seorang diri dan bukan itu keistimewaannya.”(*)

 

Bumi Lancang Kuning, 22 Juni 2021 (revisi pada 14 Juli 2021)

Hassanah adalah seorang gadis kelahiran Aceh yang besar di Tanah Melayu, Riau. Bukan seorang yang mahir melakukan sesuatu, tapi dia sangat suka mencoba untuk melakukan sesuatu yang baru.

Editor : F. Mudjiono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply