Setetes Embun Sebelum Engkau Bicara
Oleh: Dyah Diputri
Aku benci hujan. Juga aroma basah yang menyeruak indra penciuman kala langit berwarna kelabu. Saat dingin begitu menusuk kulit hingga rasa ngilu di sekujur tubuh menjelma gigil. Bagiku, sejak bayangan Neema lenyap bersama rinai air langit, tidak ada lagi “petrikor” dan hujan.
Neema. Gadis berkulit sawo matang yang tak pernah sekali pun memanggil namaku. Kami bertetangga sejak kecil, acap kali bermain bersama secara sembunyi-sembunyi, dan saling memandang saat aku asyik bermain hujan.
Berawal dari sepuluh tahun silam, ketika usiaku masih sepuluh tahun. Neema yang tiga tahun lebih muda dariku duduk di teras rumahnya sambil memandang hujan. Matanya bersinar takjub, tetapi bibirnya sama sekali tak melukiskan senyum. Datar.
“Hei, Neema!” seruku. Aku berlarian di bawah hujan deras hanya dengan mengenakan kaus dalam dan celana pendek. Berperang melawan dingin yang menyelusup kulit.
“Ikutlah bermain hujan denganku!” Kuhampiri ia setelah aku puas merentangkan tangan di bawah guyuran air dari talang rumah salah seorang tetangga yang bocor. Telunjukku mengarah pada hujan lalu tangan ini refleks mengisyratkan gerakan yang bermakna “Ayo!”.
Gadis kecil itu menggeleng. Sesekali kepalanya melongok ke dalam rumah, takut ibunya marah. Namun, tanganku tak bisa menahan hasrat untuk menggodanya. Serta-merta kucubit pipi tirus Neema dan menarik tangan halusnya untuk bertemu hujan.
Dia tertawa, tetapi terdengar seperti menangis. Dia bilang senang hujan-hujanan, tetapi tak tahu bagaimana mengucapkan. “Eeemaa … huka huwan,” jelasnya.
Aku tahu hanya dari sunggingan senyumnya kalau ia bahagia. Tidak merasa terkekang seperti ketika ibunya berteriak dan mendikte agar Neema hanya duduk diam di teras, tak boleh bermain dengan siapa pun. Aku paham betapa ia ingin bergaul bebas dengan anak-anak lain tanpa merasa tersisih sebab kekurangan yang dimiliki. Neema tunawicara.
“Neema! Siapa yang mengizinkanmu hujan-hujanan? Masuk, cepat!” Suara Bu Eida terdengar menyeramkan. Neema berlari meninggalkanku sendiri di bawah rintik yang mulai berhenti.
Bisa kulihat, wajahnya tetap basah walaupun ia telah berdiri di hadapan sang Ibu. Air matanya menitik tanpa ada suara. Sementara ibunya mulai bertindak kasar: menjewer telinganya, memukul pahanya, juga mencubit tangannya. Aku ikut merasakan sakitnya walau bukan aku yang disiksa.
Setelah hari itu Neema tak pernah lagi terlihat. Namun aku tahu, dari balik kaca jendela depan rumahnya ia sering menatapku ketika aku kembali berkecipuk dalam deras air langit itu. Terbukti, setiap aku berhenti di depan rumahnya cukup lama, maka tiba-tiba terdengar suara melengking ibu Neema dari dalam rumah. Sejurus berikutnya terdengar pula pekikan Neema yang hampir kabur tersamarkan nyanyian hujan.
—
AKU AKAN PERGI
Aku membaca tulisan Neema pada secarik kertas di suatu malam. Sudah hampir dua bulan aku tak melihatnya karena ibunya tak membolehkannya keluar rumah.
“Pergi ke mana?” tanyaku gusar.
Gadis itu menggeleng. Kuberikan sebuah buku dan pulpen agar ia menjelaskan lebih detail padaku apa yang direncanakan oleh orangtua tunggalnya itu, dan cepat-cepat ia menulis sesuatu.
KE KAMPUNG
JANGAN TUNGGU AKU
JANGAN MENCARIKU
NANTI AKU KEMBALI
BERMAIN HUJAN
Kubaca dengan saksama. Namun, tetap tak kumengerti.
“Berapa lama kau akan pergi, Neema?”
Ia bergeming. Tidak juga menulis lagi jawaban atas pertanyaanku.
“Apa sangat lama?”
Anggukan pelan diikuti isak seolah menamparku.
“Lalu mengapa kau berjanji jika kau akan pergi lama?” lirihku.
Neema menoleh ke kanan-kiri. Mungkin sedang takut jikalau ibunya tiba-tiba bangun dan memergokinya keluar rumah diam-diam hanya untuk menemuiku.
“Mmm … mmm … mmm.” Tanganya bergerak-gerak mengisyaratkan ia harus pulang.
“Hei, tapi kau belum menjawabku!” Kucekal tanganya sebelum ia beranjak pergi. “Apa kau akan kembali? Apa kau akan mengingatku? Katakan, apa kau akan memanggilku saat kita bertemu lagi? Katakan, katakan padaku! Berjanjilah kau akan belajar memanggil namaku, Neema!” cercaku.
Setitik air meluncur dari pelupuk mata berbulu lentik itu. Lalu seiring pegangan tangan yang terurai, air mata menjadi lebih deras.
—
Neema pergi, meninggalkanku—seorang bocah kecil saat itu, yang bahkan belum tahu apa itu cinta—hingga kini. Usiaku sudah tidak lagi muda, 37 tahun. Entah mengapa aku tak tertarik dengan wanita mana pun karena hatiku seolah dikunci mati untuk membeku menunggu sebuah janji, janji Neema.
“Awan, kamu nunggu apa lagi? Sudah waktunya kamu menikah. Ibu keburu tua, Nak. Mau nimang cucu sebelum pergi.”
“Awan—”
“Jangan bilang kamu masih nunggu Neema. Sudah puluhan tahun, Wan. Gadis kecil itu sudah tumbuh, lalu mungkin menikah dengan pria lain. Sudah bahagia. Lagi pula, kamu nggak punya kewajiban untuk menunggunya. Bagaimana? Ibu carikan lagi calon istri untukmu, ya?”
Kuhela napas kasar. Kupikir-pikir Ibu benar juga. Aku sudah mirip orang gila karena menunggu seorang gadis kecil bisu menepati janjinya. Tetapi ….
“Beri aku waktu, Bu. Hatiku belum bisa ikhlas jika Allah belum menunjukkan jalan-Nya. Aku tidak bisa bilang aku mencintai Neema, tapi nyatanya aku masih mengharapkannya kembali.”
Cerutu yang masih menyala kutandaskan di asbak, membingkai siluet asap putih yang meliuk-liuk. Kutinggalkan Ibu termenung di ruang tamu, sendirian setelah belum lama ini Ayah meninggal.
Kulirik sekilas mobilku yang masih terbungkus mantel mobil. Rasanya ingin berjalan saja, walau tak tahu ke mana aku ingin melangkah.
Bimbang, aku berhenti di depan rumah Neema. Rumah itu kini tampak tua dan tak terawat, sudah mirip rumah hantu yang sering dijadikan lokasi dalam film horor Indonesia. Tak ada kabar dari Neema ataupun ibunya, tidak juga ada orang yang mengurus rumah itu.
Penasaran. Aku melangkah menuju rumah itu. Pintu depan masih terkunci, jadi kuputuskan masuk lewat jendela. Debu, pengap, dan bau tidak sedap menyeruak indra penciuman.
Ada sebuah kamar kecil dengan stiker bergambar kelinci yang hampir usang di bagian pintunya menarik perhatianku. Mungkin ini kamar Neema, dulu.
Aku masuk ke dalamnya. Mencoba menemukan sesuatu yang bisa menjadi petunjuk di mana Neema berada. Sebuah meja belajar berdiri kokoh tapi buku-bukunya sudah hampir habis dimakan rayap. Selebihnya, hanya ada ranjang kecil Neema.
Kakiku terus menyusuri tiap liku rumah itu. Masih tak ada hasil. Hingga kemudian aku berhenti di dalam kamar yang lebih besar.
Ada sesuatu yang menggelitik hatiku di sana. Sebuah pigura dengan foto keluarga yang masih terpajang di dinding. Kuusap kaca pigura itu dengan detak jantung yang meningkat. Kukerjapkan mata berkali-kali agar aku tak salah lihat. Namun … aku tak salah lihat!
—
“Katakan yang sebenarnya, Ibu!”
“Ya … Neema adik tirimu. Ayahmu menghamili ibunya dan lahirlah Neema.” Ibu menunduk lesu.
“Lalu kenapa Ayah tak pernah ada bersama mereka?” Pertanyaan selanjutnya mulai berbaris di otakku.
“Karena Ibu tak mengizinkan ayahmu menikah lagi. Cukup rumah itu menjadi harta mereka, Wan. Tapi … ayahmu masih saja menemui mereka. Ibu kesal, akhirnya meminta mereka pergi dari rumah itu.”
“Ibu ….”
“Maafkan Ibu, Wan.”
—
Hujan deras mengguyur Kota Yogjakarta. Padahal hampir sampai di desa tempat Neema tinggal, tetapi tiba-tiba mobilku mogok di areal persawahan.
Sial!
Aku berlari menerobos hujan. Malam begitu pekat tanpa satu pun pencahayaan di jalan. Terpaksa, kunyalakan senter handphone dari balik jaket untuk mencari jalan.
Lama aku berjalan, hingga akhirnya sampai di depan gapura desa. Sebuah pos ronda menjadi tujuan sementara untuk berteduh malam ini sambil berpikir bagaimana sikap yang tepat untuk meminta maaf pada Neema dan ibunya.
Pagi hari, aroma embun basah begitu melegakan tercium olehku. Aku sempat merutuki setiap tetes hujan yang turun sepeninggal Neema, tetapi saat ini justru aku menikmati indahnya kaca-kaca bulat bening di atas dedaunan saat perlahan sinar matahari menimpanya. Luruh. Seperti hatiku yang tidak mencintai tapi merasakan kasihnya.
“Aku Awan. Kau masih ingat padaku?”
Seorang wanita dengan rambut disanggul simpel menghampiriku. Ditaruhnya bayi berusia sekitar sembilan bulan di baby walker. Kemudian ia dengan takjub memandangku.
“A … wan,” lirihnya terbata-bata mengucap namaku.
“Maaf, aku terlambat datang ke sini. Di mana ibumu?”
“Me … ing … gal.”
Aku tahu maksudnya: meninggal. Dadaku sesak mendengarnya. Baik Neema dan ibunya tak pernah bahagia semenjak mengenal ayahku. Dan sepanjang hidupkulah yang terbebankan kata maaf titipan Ayah.
“Maaf, Neema. Aku baru tahu kalau kau—”
Belum sempat aku menuntaskan kalimatku. Neema memelukku. Erat sekali, dengan derai air mata hingga membasahi kemejaku.
Aku pun menangis. Merelakan semua yang terasa berat mengganjal hati ini. Tentang Neema, tentang rasa, tentang hujan dan tentang rasaku sendiri. Sedang sedari kecil Neema sudah tahu jika aku adalah kakaknya.
“Itu anakmu?” tanyaku sembari mengelus puncak kepala bayi perempuan itu.
Neema mengangguk. Semringah. Kemudian ia mengambil sebuah buku dan menuliskan sesuatu.
AWAN, TERIMA KASIH. SUDAH MENCARIKU. KAU KAKAK YANG BAIK. TAPI KITA SUDAH TIDAK BISA BERMAIN HUJAN.
Purna aku membaca itu, kulihat Neema menangkupkan kedua tangan di depan dada. “Ma … af,” ucapnya tulus.
“Ya, kumaafkan.”
Malang, 18 Februari 2019.
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna. Fb: Dyah Maya Diputri. Email: dyahdiputri@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata