Setengah Utuh
Oleh: Eni Ernawati
Terbaik ke-16 Tantangan Lokit 7
Pandanganku samar saat melihat seorang lelaki memasukkan sebuah cinçin permata ke jari perempuan yang mengenakan gamis berwarna biru laut tersebut. Seperti orang di hadapannya, wajahnya tampak semringah tanpa menyimpan satu penyesalan apa pun. Wajar saja, pasangan mana yang tidak bahagia di hari pertunangannya.
Seperti yang aku amati, di sana tidak ada tamu yang tidak turut bahagia. Pantas saja mereka memandangku dengan sorot keheranan sebab hanya aku yang memasang raut sedih. Bukan lagi sedih, bahkan bisa dibilang hancur. Barangkali mukaku sudah seperti tisu basah.
Lelaki yang sedang tunangan itu menatapku setelah menyematkan cincin. Kubiarkan air mata menuruni pipiku yang tirus agar lelaki tersebut melihatnya. Bukan apa, aku hanya ingin tahu bahwa aku tidak pernah mengikhlaskannya. Tidak pernah.
Satu jam kemudian acara yang seharusnya tidak terjadi itu akhirnya selesai juga. Aku bergegas meninggalkan ruangan yang bagiku sangat engap. Tidak ada udara yang berhasil menyejukkan lubuk hatiku.
“Tunggu.” Pemilik suara itu mengenggam lengan kiriku. Aku menghentikan langkah akan tetapi tidak menolehnya sedikit pun.
“Makasih kau sudah mau datang,” lanjutnya tanpa rasa bersalah.
Mendengar ucapannya hatiku terasa sesak. Tega sekali dia berucap seperti itu. Apa dia pikir dengan ucapan terima kasih lukaku bisa sembuh dengan sendirinya? Andai saja kau tahu, Tuan. Aku tidak akan hadir jika tidak ada seseorang yang memaksaku datang ke pestamu sebagai tanda kedewasaan dan berdamai dengan kenyataan.
***
Aku mengurung diri di kamar usai acara tadi siang. Ibu dan adikku tidak ada yang berhasil membujukku untuk bangkit dari ranjang. Andai pintu kamar yang terbuat dari kayu itu bisa menangis pasti ia sudah kehabisan air mata karena kesakitan sebab dipukuli hingga malam ini.
Beginilah aku, selalu menyendiri ketika mendapat sebuah masalah. Walaupun sebenarnya aku sendiri tahu jika itu tidaklah baik. Berbaur dengan orang lain akan membuat seseorang lupa akan masalahnya. Seperti itulah yang banyak orang katakan. Tapi tidak denganku. Aku tidak suka berpura-pura bahagia untuk menyembunyikan kesedihanku. Aku lebih senang berkumpul dengan siapa pun jika semuanya sudah baik-baik saja.
“Ibu boleh masuk, Ra,” ucap Ibu lembut.
Aku mencoba mengatur napas, kemudian mengangkat badan dari kasur yang rasanya lengket sekali. Kubiarkan Ibu masuk ke kamarku usai pintu bercat cokelat tua itu kubuka.
Tidak ada obrolan di antara kami. Seolah semua telah terwakilkan melalui pelukan. Bibirku melebar menatap Ibu, berharap perempuan di hadapanku tersebut tidak terlalu khawatir dengan keadaan putrinya.
“Rani,” panggilnya kemudian
Aku menoleh dengan tatapan penuh kasih. Di matanya aku menemukan cairan bening yang berusaha ia sembunyikan. Kalau boleh aku menebak, sebelum ia ke kamarku cairan itu sudah mengalir lebih dulu.
“Maafkan aku, Bu.”
“Kau tidak perlu meminta maaf, Nak. Kau tidak melakukan kesalahan apa pun.” Suaranya melemah di akhir kalimat yang ia ucapkan.
Seharusnya aku tidak perlu bersedih terlalu lama. Agar Ibu tidak merasakan hal yang sama.
***
Saat itu semilir angin membuatku betah berlama-lama di bawah pohon beringin di kampusku. Berteman laptop hadiah ulang tahun dari Ayah dan segelas es jeruk yang setia menemaniku saat mengerjakan tugas.
“Sendiri aja, Neng.” Lelaki berambut pirang itu tiba-tiba menghampiriku.
“Makasih,” titahku saat lelaki bernama Jio itu menyodorkan ice cream vanila kesukaanku.
Berduaan dengan Jio seperti itu sebenarnya membuatku risi. Bagaimana tidak, para Mahasiswa yang melewati kami pasti akan menerkam kami dengan sepasang matanya secara terang-terangan. Pasalnya aku dan Jio mendapat gelar pasangan paling romantis di kampus. Entahlah apa yang membuat mereka menyematkan gelar tersebut. Padahal seingatku Jio tidak pernah bersikap romantis padaku.
“Aku ke sini ingin mengatakan sesuatu padamu,” ucapnya dengan sorot mata tajam.
“Ada apa?”
Jio mulai merogoh saku celananya. Sejurus kemudian sebuah video ia putar dari ponsel yang baru dibelinya beberapa hari yang lalu. Jantungku seolah berhenti menyaksikan video paling tragis seumur hidupku.
“Katakan padaku jika ini editan, Jio.” Aku sangat berharap kekasihku itu meng-iya-kan pertanyaanku.
“Maaf, Ra. Aku tidak bermaksud membuatmu hancur.” Suara lelaki berkacamata itu melemah. “Tidak ada rekayasa dari apa yang baru saja kamu lihat.”
Spontan tubuhku berhambur ke pelukan Jio. Kekasihku itu mencoba menenangkanku. Tapi tak semudah saat ia membuatku menangis.
“Semua lelaki itu sama, Jio. Aku benci kamu.” Tanganku melepas pelukan yang sebenarnya sangatlah hangat.
“Percayalah padaku, Sayang. Aku tidak akan mengkhianatimu seperti apa yang telah ayahmu lakukan pada ibumu.” Dalam hati aku menyemogakan apa yang dikatakan oleh kekasihku itu.
***
Awalnya aku tidak berani mengatakan pada ibu jika ayah mempunyai perempuan lain. Seiring berjalannya waktu ibuku mengetahui dengan mata kepalanya sendiri. Dan itu bukanlah sekali. Akhirnya perpisahan adalah jalan yang mereka pilih.
“Inikah bukti dari perkataan ayah, yang katanya mencintai ibu dengan utuh?” batinku waktu itu. Saat sidang perceraian akan dimulai. (*)
Eni Ernawati, Gadis penyuka musik yang berasal dari Bumi Wali—Tuban.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata