Setelah Hujan Reda
Oleh :Ning Kurniati
Langit seperti menumpahkan air. Tanah bukan hanya basah tetapi berlumpur dan ada terbentuk genangan kecil di lubang-lubang jalan. Mula-mula air itu hanya keruh kemudian mencokelat. Lalu penuh, meluap, mengalir bercampur dengan air dari genangan lain. Terbentuk aliran yang panjang dan berkelok-kelok sampai akhirnya jatuh ke selokan alami yang hilirnya ke sungai.
Kalea yang tepekur mengamati itu bernapas dengan berat. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lalu pandangan dialihkannya pada pohon mangga yang ada di seberang jalan. Diamatinya kanopi pohon itu yang lebar, tampak segar, dan entah kenapa dia lalu tersenyum. Senyuman yang mencibir.
Sekali-kali hujan reda tetapi hanya sebentar lalu kembali menderas. Saking derasnya, tidak satu pun tetangga Kalea yang terlihat. Kalea yakin betul, sebab hampir sepanjang hari kerjanya hanya duduk di ruang depan.
Mungkin orang-orang sedang terlelap dibuai bunyi air yang mengentak-entak atap rumah.
Kalea juga ingin seperti itu, berkali-kali dia mencoba terlelap, tetapi hasil akhirnya dia selalu terjaga dengan gelisah dengan kepala yang berat. Hujan ini musibah. Dia tidak akan bisa memanjat pohon kelapa, artinya dia tidak akan mendapatkan uang untuk membayar hutangnya besok pagi.
Kalea menggeser posisi duduknya ke belakang. Dia merasakan kursi plastik itu: bagaimana punggungnya sekarang bersandar dan kaki yang bisa diayungkan. Lalu dia mengetuk-ngetukkan telunjuk ke tangan kursi. Berikutnya, dia bersenandung, senandung yang ditenggelamkan bunyi air.
Lelaki kurus itu mengedarkan pandangan. Empat buah kursi dengan meja persegi di tengah-tengahnya. Ini memang memberikan kesan yang berbeda, dia membatin. Merah muda, warna yang mencolok dari warna cokelat dinding ruangan dan gorden pembatas kamar yang abu-abu. Diam-diam dia memuji warna kesukaan Fitrah—putri sekaligus teman hidup satu-satunya.
Satu-satunya, sebab ibu anak itu minggat tepat ketika si anak berumur 1 tahun 2 bulan.
Perkara itu dia sudah tidak ingat lagi. Yang selalu diingatnya bagaimana membesarkan Fitrah. Keinginan anak-anak ternyata sangat banyak dan tidak bisa dia duga. Mengingat itu, Kalea menggaruk lagi kepalanya dan semakin gelisah di tempatnya. Udara seolah memiliki massa yang berat untuk dihirup.
Dia kembali teringat bagaimana Fitrah dengan kepolosan khas anak-anak menunjuk kursi Rappe ketika mereka sedang melintas di batas dusun. Kalea mengira anak itu hanya ingin sekadar melihat. Namun yang terjadi kemudian, Fitrah serta-merta duduk. Tanpa ragu, tanpa permisi, tepat ketika Rappe sedang berwajah putus asa karena ibu-ibu yang ditawari pada bubar. Fitrah tersenyum kepadanya, membikin dirinya seperti seketika tertimpa kabut di siang bolong. Dan senyuman itu semakin lebar, tampak cerah seperti mengajak mengiyakan bahwa kursi itu cantik dan aku ingin memilikinya.
Kalea tidak bisa membalas senyum Fitrah tetapi dia tidak juga marah. Wajahnya datar, tidak megekspresikan apa-apa sampai dia berpaling ke Rappe, dan di wajah itu dia melihat senyum yang amat ganjil. Sebuah senyuman harapan. Harapan yang berbeda di wajah putrinya, tetapi harapan itu terwujud atau tidak sama-sama bergantung pada dirinya.
Sungguh suatu tindakan yang mulia sebab mendatangan kebahagian bagi orang, kecamuk dalam kepalanya. Tetapi tidak, perilaku Fitrah itu perilaku yang mendatangkan beban baru. Meski tak dapat dia pungkiri, di dalam lubuk hatinya dia setuju. Mereka memang belum memiliki kursi dan meja.
Dan dia mau membahagiakan si anak. Apa pun pintanya, seandainya semua permintaan bisa diiyakan, akan dia iyakan. Itu sebuah kehormatan bagi seorang bapak dan merupakan satu bentuk kebahagian yang sulit dia jelaskan dengan kata-kata saat ini.
Maka dengan senyum khasnya, setelah terdiam lama, lembut Kalea berkata, “Berapa harganya?”
“400 ribu. Tapi buat kau, kukurangi 50. Kau bayar 350 ribu. Seminggu lagi datanglah ke rumah. Aku mau berangkat hari itu,” kata Rappe, teman masa kecilnya yang sekarang kerjanya keliling menjual perabot rumah tangga.
Kalea tidak bersuara. Dia cuma mengangguk dan melihati senyum dua orang di hadapannya. Lalu, matanya yang sebulat mata sapi fokus ke tangan Rappe. Tangan itu sigap menyusun empat kursi jadi satu buat dia bawa pulang.
“Nah, biar Fitrah bisa duduk di kursi kalau belajar,” kata Rappe setelah menyusun kursi dan meja pada satu ikatan lalu menyodorkannya.
“Mejanya tidak tinggi. Punggungnya akan bungkuk.”
“Belikan dia meja yang tinggi.”
“Kau tahu uangku cuma berapa.”
“Kalau begitu kau bisa membuatkannya.”
“Aku juga bisa membuatkannya kursi.”
“Lihat anakmu!” Kata Rappe lalu menaiki mobil pikapnya. Temannya itu berlalu.
“Kau senang, Nak?”
Fitrah mengangguk, senyumnya girang sekali.
*
Hujan masih terus mengguyur kampung itu, tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Derasnya masih mengentak-entak sen rumah Kalea. Membikin dirinya semakin gamang dan kepalanya terasa semakin berat.
50 ribu lagi, dan itu bisa dia dapatkan dengan memanjat kelapa milik Pak Burhan. Dan jika pohon-pohon itu berbuah semua, maka dia bisa dapat dua kali lipat, 100 ribu. Total pohon di sana ada 20 pokok. Setiap pokok dihargai 5 ribu. Tetapi itu bila buahnya sudah tua semua.
“Bapak,” panggil Fitrah. Anak itu tertidur sejam yang lalu. Pasti sekarang sedang lapar, pikir Kalea.
“Mi enak ya, Pak.”
“Iya pasti enak. Bapak juga mau. Sekarang kamu ke Bibi Mina, beli mi yang harganya seribu.”
“Dua ribu, mana uangnya?”
“Bilang dulu ke Bibi Mina, diutang, ya.”
“Ooh.”
Fitrah patuh. Anak itu segera berlari mengambil payung lalu keluar menembus hujan. Tanpa tahu di belakangnya, Kalea mengawasi dan berguman, betapa tubuh anak itu ceking. Ya, bagaimana bisa berisi sedang yang dimakannya kalau mi ya mi saja tanpa ada campuran protein. Kalaupun ada ikan atau ayam, seringnya mereka memakannya sedikit-sedikit. Biar ada lauk untuk waktu makan selanjutnya.
*
Anaknya tak terlihat lagi, Kalea ke belakang dan mulai menyalakan kayu api. Dia memperkirakan ketika anak itu kembali, air sudah mendidih, dan mi bisa langsung dicelupkan. Lalu, Fitrah yang akan merobek bumbu dan dia akan menunggu anak itu mengaduk sebentar. Setelahnya Fitrah akan berkata, minta nasi Pak, Kalea mengkhayal.
Dia tampak sabar dan tekun. Di hadapannya asap mengepul sedikit. Sabuk kelapa yang dibakarnya hanya memunculkan percikan api, tidak ada nyala seperti yang dia harapkan. Ini salahnya, sebab dia lupa menyimpan sabuk kelapa dan kayu bakarnya di tempat yang aman. Akibatnya sekarang, api susah dinyalakan.
Kini didengarnya Fitrah sudah kembali. Suara anak itu jelas memanggil dari depan rumah. Tak berselang lama Fitrah muncul dengan membawa sebungkus mi. Hanya sebungkus. Kalea memindai.
“Mi yang harga seribu sudah habis, Pak. Yang ada cuma ini.” Fitrah menyodorkan mi yang pernah dilihatnya di TV.
“Tidak apa-apa, berarti hari ini kita makan mi yang enak,” Kalea menjawab sembari mengambil bungkusan itu lalu membukanya.
“Tapi utang kita jadi 3500, Pak.”
“Tidak apa-apa. Nanti kan kita bayar.”
Jam empat lewat sedikit, Kalea dan Fitrah selesai makan. Bersamaan dengan itu hujan berhenti. Benar-benar berhenti tanpa ada rintik. Lalu, terdengar kicau burung seolah menyambut matahari yang kembali menyinarkan sinar sorenya. Orang-orang ke luar rumah. Tak ketinggalan Kalea juga. Di sisinya berjalan, ada Fitrah dengan rambut yang berantakan, sama berantakannya dengan pakaian keduanya. Namun meski berantakan begitu, tetap ada senyum pada wajah mereka. Terlebih Kalea, senyumnya kali ini lebih lebar dari Fitrah. Insya Allah, dia bisa membayar utangnya pada Rappe besok pagi.
25 Oktober 2020
Ning Kurniati, Penulis Pemula