Setelah Delapan Belas Tahun

Setelah Delapan Belas Tahun

Setelah Delapan Belas Tahun
Oleh : Nuke Soeprijono

“Jika ada seorang anak yang sengaja durhaka pada ayahnya di dunia ini, kemungkinan besar itu adalah aku. Jika ada anak yang mungkin tidak menghargai ‘jerih payah’ seorang Ayah selama masa hidupnya, bisa dipastikan itu juga aku. Namun, jika aku harus ikhlas menerima Ayah kembali, maaf … itu bukan aku.”

 -Millen-

 

Aku masih ingat sampai detik ini, waktu Ayah pergi meninggalkan kami. Aku berjarak kira-kira sepuluh langkah di belakang Ibu saat Ibu berhenti berlari mengejar Ayah. Ibu mengejar mulai dari dalam rumah hingga keluar ke pinggir jalan. Di depan kedai nasi kucing, sebelah sisi kiri gang, Ibu mengusap wajahnya yang basah oleh air mata dan keringat. Untung saja jalanan tidak begitu ramai. Jadi, Ibu tidak sampai dibuat bahan tontonan. Saat itu hari telah surut menjelang maghrib dan Ayah tidak acuh sedikit pun—terus melesat dengan sepeda motornya—meski Ibu terus berteriak memanggil-manggil.

Umurku memang masih delapan tahun waktu itu, tetapi aku sudah bisa merekam dengan baik banyak kejadian yang tak baik antara Ayah dan Ibu. Aku bahkan masih ingat betul, saat mereka selesai bertengkar—yang entah apa pemicunya—di suatu malam. Dengan beringasnya Ayah membakar semua arsip dan dokumen penting keluarga kami. Ibu panik! Berteriak-teriak histeris sambil berusaha menyelamatkan arsip serta dokumen itu dengan cara mengambil satu ember air. 

“Kamu gila, Mas! Sinting! Setan mana yang telah merasukimu?! Kenapa bukan otakmu saja yang kau bakar?!” Ibu terus memaki-maki setelah menyiramkan air ke kobaran api yang melahap kertas-kertas itu dengan rakus. Akhirnya api itu bisa dipadamkan. Akan tetapi, berlembar-lembar kertas penting itu banyak yang sudah tak bisa terbaca lagi, hangus tak berbentuk, hanya menyisakan sedikit saja angka dan huruf di beberapa bagiannya. Ayah hanya tertawa menyeringai tanpa peduli. Akal sehatnya mungkin telah mati. Mungkin Ibu benar, Ayah memang sinting!

Aku hanya diam termangu saat itu. Sepenuhnya belum menyadari seberapa penting dan berharganya nilai kertas itu hingga Ibu bisa marah sedemikian rupa. Padahal, boleh dibilang, Ibu termasuk wanita penyabar—setidaknya menurutku. Selama ini Ibu selalu sabar menghadapi segala tabiat buruk Ayah. Sebentar, apakah benar tabiat Ayah buruk? Ah, aku bahkan sampai sempat berpikir bahwa apa yang dilakukan Ayah terhadap Ibu itu wajar; selalu berkata kasar dan membentak. Belum cukup sampai di situ saja, Ayah juga ringan tangan, suka main pukul kepada Ibu dan aku. Hampir setiap hari. 

Aku masih ingat sampai detik ini, kerja keras Ibu untuk bisa terus membiayai sekolahku. Sebenarnya Ibu bukan perempuan yang berpendidikan tinggi. Akan tetapi beliau mempunyai keahlian membuat kue-kue jajanan pasar dan dijual dengan cara dititipkan ke beberapa toko. Tak jarang pula Ibu menerima pesanan dari tetangga yang meminta dibuatkan kue-kue untuk acara khusus mereka. Itu yang dikerjakan sehari-hari oleh Ibu demi melihat anaknya menyelesaikan kuliah.

Pasti kalian berpikir, apakah ayahku tidak bekerja? Sebagai buruh di sebuah pabrik sepatu, tentu saja dia bekerja. Akan tetapi, dia bekerja seolah-olah tidak menghasilkan apa-apa. Upah yang seharusnya dia terima setiap minggu, entah raib ke mana tanpa sempat diberikan kepada Ibu terlebih dulu. Kata Ibu, hal itu terus berulang sejak aku berumur lima tahun.

Di kali lain, Ayah juga pernah tepergok olehku sedang bersama Tante Maya, tetangga kami. Mereka sedang duduk berdua-duaan di dalam kedai nasi kucing. Aku yang saat itu belum makan—padahal di rumah sudah Ibu siapkan—melihat mereka saling suap sate telur, langsung mendekat, bermaksud hendak meminta, atau setidaknya menegur mereka. Akan tetapi, Ayah malah menghardikku.

“Hei, anak sialan! Siapa yang menyuruhmu kemari, hah? Bikin malu saja! Sudah sana, pulang!” Ayah seolah-olah mengusir seekor kucing liar yang bertemu di pinggir jalan. Mungkin seumur hidupku itu adalah hal paling bodoh yang aku lakukan di hadapan Ayah. Dan aku masih ingat sampai detik ini.

Setelah drama pembakaran arsip dan dokumen penting malam itu, kami tidak punya jejak bukti apa-apa lagi. Mulai dari akta kelahiranku, surat-surat penting, hingga sertifikat rumah. Sampai akhirnya Pak RT mengantar kami untuk mengurus ulang arsip dan dokumen itu ke kantor polisi dan kantor administrasi negara agar dibuatkan duplikatnya. Beruntungnya kami masih ada orang-orang yang peduli. Jadi untuk melanjutkan sekolah, aku hampir tidak menemukan hambatan yang berarti. 

Suatu hari pernah aku berkata pada Ibu, apa tidak sebaiknya Ibu mengurus perceraian saja. Toh Ayah sudah tidak pernah berkabar lagi selama belasan tahun. Itu sudah sangat cukup untuk dijadikan alasan bercerai di mata hukum. Saat itu Ibu hanya diam. Tidak menjawab bersedia atau tidak. Mungkin juga Ibu sudah menganggap Ayah mati, sama seperti anggapanku.  

Aku sedang menyibukkan diri di kantor percetakan milikku yang letaknya bersebelahan dengan rumah Ibu. Usaha ini kurintis sejak aku masih kuliah dan akhirnya berkembang cukup baik hingga kini. Sejak arsip dan dokumen kami hangus terbakar waktu itu, aku pernah mengkhayal bisa membuat kertas cetak yang antiapi. Haha! Sebuah khayalan yang sangat ingin aku wujudkan. Agar tak ada lagi orang-orang yang mengalami kejadian seperti kami. 

Dan pagi ini aku dikejutkan dengan sosok kumal tengah berdiri di depan kantor, di bawah papan nama percetakanku, “Millen Karya Offset”. Aku perhatikan ciri-cirinya, orang itu sangat mirip Ayah. Hanya saja jauh terlihat tua, badannya lebih kurus dibandingkan dulu ketika dia dengan pongahnya mengusirku di kedai nasi kucing. Terlintas di pikiranku, setelah delapan belas tahun berlalu, apa mungkin Ayah kembali? Apa benar dia masih hidup setelah lama kuanggap mati? Ah, betapa beruntungnya Ayah, jika memang benar sosok di depan itu adalah dia. 

Aku terus memperhatikan orang itu dari balik ruang kerjaku. Dia masih berdiri di sana sambil memeluk kantong keresek besar. Badan dan pakaiannya kotor, kulitnya amat kusam, dan wajahnya berkerut-kerut. Sedangkan sorot matanya sayu, seperti menyimpan penyesalan yang dalam. Dia masih berdiri di sana sambil terus menatap ke arah rumah Ibu sebelum akhirnya melangkah pergi.

 

Tgr, 27 Agustus ‘20

Nuke Soeprijono, si Alter ego yang baru belajar menulis.

Editor: Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata