Setan Antik

Setan Antik

Setan Antik
Oleh: Sukmawati a.k.a Savana

Kembali ditinggal sendiran di rumah, aku memanggil Caca untuk menemaniku malam ini. Kugelar karpet di belakang rumah sesuai pinta gadis itu. Dia ingin sekali merasakan tidur di alam terbuka.

Ya … biarlah, setidaknya aku tidak sendirian.

Pukul 10 malam, rasa ngantuk belum juga menghampiri. Caca masih asyik memainkan gawainya tanpa bersua. Hanya suara binatang malam yang saling bersahutan, memecah keheningan.

“Dara, kamu takut, nggak, sama hantu?” ujar Caca meletakkan gawainya.

“Takut itu sama Tuhan, kalo sama hantu, namanya musyrik.”

Mendengar jawabanku, gadis itu spontan mengusap wajahku dengan kasar.

“Ish! Itu, kan, bekas ngupil!”

“Eh … sorry.” Caca nyengir, lalu kembali melanjutkan aksi ngupilnya.

“Terlalu munafik kalo aku bilang nggak takut,” ucapku, yang malah membuat Caca tertawa mengejek.

“Kalo Caca, nggak takut.” Caca tersenyum memandang lurus ke depan. “Apalagi, kalo hantunya mirip Aliando Syarief.”

“Ye … ngarep!” pekikku mendorong tubuh Caca.

Caca bangun dan merogoh tas miliknya. Kulihat gadis itu mengeluarkan beberapa buku, terasi, bunga melati, kemenyan dan korek api.

Aku menatapnya penuh tanda tanya, apa yang akan dilakukan manusia yang pintarnya luar biasa itu.

“Tes rumor cara ngundang setan, yuk ….”

Segera aku bangun dan melimpahinya tatapan tajam.

“Gila!” teriakku, mencoba berdiri dan memasuki rumah. Namun, Caca mencekal pergelangan tanganku.

“Ayolah … coba uji nyali.” Gadis itu memberi tatapan memohon.

Ah … sial! Dia sangat pandai membuatku tak bisa berkutik.

Setelah mendapat anggukanku, Caca terlihat mulai merobek beberapa buku, membakar dan memasukkan terasi, kemenyan, dan bunga melati ke dalamnya.

Menyengat. Bau kemenyan itu sangat tajam. Tercampur dengan bakaran melati dan terasi yang semakin memperburuk penciuman.

“Kun rabbuna nuril jakim,” ucapnya berulangkali.

Kupeluk lengan Caca erat, lolongan anjing mulai menggema panjang. Angin berembus kencang menerbangkan dedaunan kering. Malam semakin mencekam, bulan dan bintang bersembunyi di balik awan hitam yang menyelimuti.

“Aaa …” teriakku.

Terdengar cekikikan nyaring yang kutebak suara wanita. Suaranya serasa jauh. Namun, terdengar jelas.

Kita berdua mendongak saat merasakan sebuah bayangan melintas. Di sana terdapat kuntilanak tertawa menyeringai, tubuhnya melayang, mengepakkan long dress putih lusuh.

Untung pake legging, jadi gak keliatan anunya.

Kami semakin histeris, menutup mata rapat saat merasakan ada yang mengitari. Namun, larinya secepat kilat hingga tidak terlihat oleh netra.

Mataku perlahan mengerjap, terbuka. Kembali jeritan ketakutan keluar dari mulutku saat melihat sosok mahluk yang berdiri di hadapan. Tubuhnya yang kecil dengan wajah pucat pasi, dan kepalanya mengilap tanpa sehelai rambut pun.

“Hua …. Om Tuyul jangan makan Caca. Caca belum nikah, hua ….” Caca menunduk sambil menangkupkan kedua tangannya di kening.

Aku sejenak melotot. Ambigu, antara ketawa dan teriak.

Tuyul itu semakin menyeringai, dan memperlihatkan giginya yang tinggal empat.

“Hua … daging Caca keras, Om. Nggak bakal lunak sama gigi reong itu,” teriak Caca histeris.

“Eh … tuyul makan orang, ya?” tanya Caca sedetik kemudian.

Aku pun berpikir-pikir sejenak. “Setahuku, tuyul cuma nyolong uang.”

Aku dan Caca berdiri—seakan ada keberanian yang mendatangi. Menunduk, kemudian menatap tuyul yang tingginya hanya sepinggang orang dewasa.

“Kecil-kecil nggak boleh nyolong!” teriakku.

Caca meraih dan melemparkan beberapa ranting pohon hingga membuat tuyul itu lari terbirit-birit.

“Sini Caca jitak! Muka modal bedak baby aja mau bikin Caca takut.”

“Ca, dia itu botak,” tuturku.

Caca langsung cengengesan seraya memukul keningnya.

Bone, 20 Januari 2020

*Cerita di atas merupakan salah satu cerita yang terpilih di event Horor-Komedi Lokit beberapa waktu lalu.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply