Sesuatu yang Tumbuh Diam-diam

Sesuatu yang Tumbuh Diam-diam

Sesuatu yang Tumbuh Diam-diam
Oleh: Kartika Sari
Cerpen Terpilih ke-9 pada #Tantangan_Lokit_6

Pagi datang lagi, membangunkannya dengan kicauan burung dan mentari. Hari yang berbeda, waktu yang berbeda, tapi masih dengan perasaan yang sama sejak satu bulan lalu. Hati dan pikirannya masih sama tentang sebuah rasa yang tumbuh diam-diam.

Jantungnya berdebar-debar kala membayangkan senyuman idolanya saja. Jatuh cinta untuk pertama kali adalah sesuatu yang mengelitiki hati. Menggelikan.

Meylisa membuka mata perlahan sebelum akhirnya menggeliat, menguap dan menatap layar ponsel.

“Tuhan!” Dia berlari menyambar handuk dan beranjak ke kamar mandi.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, sementara sekolah cukup jauh dari tempat tinggalnya.

“Ibu pasti lupa bangunin aku!” Meylisa bersungut-sungut. “Kebiasaan!”

Padahal, hampir semua teman satu sekolahnya tahu, Meylisa itu susah bangun kalau sudah menempel pada bantal kesayangannya. Jelas-jelas sebelum berangkat ke pasar, ibunya berteriak mengeluarkan suara dengan volume paling tinggi. Tetap saja, gadis usia delapan belas tahun itu terlelap dengan cairan yang membentuk pulau-pulau. Menjijikkan.

“Mudah-mudahan tepat waktu.” Meylisa mengayuh sepedanya kuat-kuat di tengah sejuk udara pagi. “Kalau enggak … gue kagak bisa lihat wajah tampannya. Bisa-bisa otak macet pagi-pagi. Gawat!”

Meylisa tersenyum lebar membayangkan gigi gingsul dan lesung pipi seseorang. Laki-laki yang tiba-tiba memikat hatinya itu sering kali hadir dalam ingatan. Sering kali hadir dalam mimpi di setiap malamnya. Menyenangkan. Itu sebabnya, akhir-akhir ini ia sering kali kesiangan karena terlalu asyik bersenang-senang di dalam mimpi.

“Tunggu, tunggu!” Meylisa sampai di depan gerbang sekolah yang hampir ditutup rapat-rapat. “Izinin saya masuk, ya, Pak?”

Ia memelas dan memohon-mohon agar bapak tua penjaga sekolah itu membuka kembali pintu gerbangnya.

“Kesiangan mulu, Neng?” Bapak tua itu sedikit membuka gerbang dan membiarkan Meylisa masuk.

Setelah berterima kasih, Meylisa buru-buru mengayuh sepedanya kembali menuju ke parkiran.

“Akhirnya sampai juga!” Dia turun setelah sampai di bawah pohon, tempat biasa menyimpan sepedanya.

Detik kemudian, matanya seakan berpencar mencari sosok tampan di setiap penjuru sekolah. Biasanya Faris masih berkeliaran, tapi kali ini matanya tidak menangkap keberadaan sang idola. Meylisa memonyongkan bibir, bersungut-sungut sambil berjalan menyusuri lapangan. Ia harap, laki-laki itu akan ada di tempat lain.

Kepalanya tertunduk lesu, otaknya benar-benar macet, tidak berfungsi karena tidak berhasil menemukan sosok yang menjadi penyemangat setiap hari. Laki-laki itu terlanjur masuk ke dalam kelas, setahu yang ia tahu.

“Eh!” Seseorang tak sengaja menubruknya dari belakang. “Maaf, maaf!”

Meylisa menoleh. “Kak Faris?”

“Iya?” Faris kebingungan melihat ekspresi wajah Meylisa yang sama sekali tidak ia kenali. “Maaf, ya.”

Hening. Meylisa diam saja tanpa seucap kata pun dari mulutnya. Nyengir, melongo, matanya berhenti berkedip dalam waktu yang cukup lama.

“Hei!” Faris menjentikkan jarinya tepat di depan Meylisa. “Kamu nggak apa-apa?”

“Eh … iya, iya. Aku nggak apa-apa, Kak.”

Faris mengernyitkan dahinya, heran. “Oh. Ya, sudah kalau gitu.”

Remaja yang diidam-idamkan hampir semua siswi di sekolah Bakti Jaya itu melengos, menyamping melewati Meylisa begitu saja.

“I—Iya, Kak,” ia menjawab dengan gagap.

Tak lama kemudian, Meylisa berlari dengan cepat memasuki ruang belajarnya. Setelah berhasil beradu tatap dengan Faris, sang idola, otaknya kembali berfungsi dengan baik. Pikirannya berjalan dengan lancar.

Meylisa terengah-engah mendaratkan pantatnya di atas kursi, bersandar menatap langit-langit. Tersenyum bersama wajah kian merona. Berseri-seri.

Dalam cinta, orang pintar menjadi bodoh, orang bodoh semakin bodoh. Itu adalah hal yang wajar saat semuanya tidak terkontrol dengan baik. Bahkan, sebagian orang di luar sana rela melakukan apa saja demi sesuatu yang bernama cinta. Padahal, cinta itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Cinta itu tulus, cinta itu tidak egois.

Pun dengan Meylisa. Saat cinta pertama jatuh pada seseorang yang jauh di atas segalanya, ia memilih diam dan memandanginya saja agar terbebas dari rasa sesak. Tidak mengumbar, tidak juga memaksakan diri.

Ia tidak peduli saat seseorang mengatainya bodoh. Ia tidak peduli saat orang lain berkata buruk tentang pemikirannya. Karena sejauh yang ia tahu, orang bodoh itu adalah yang memaksakan diri. Adalah orang yang tidak tahu diri.

Tentu saja, sebuah rasa atas nama cinta memang butuh pengorbanan. Meylisa tahu betul soal itu dari film-film yang sering kali ia tonton. Tapi, pengorbanan tidak selalu menjamin sebuah kepastian. Pengorbanan tidak selalu berujung bahagia. Tetap saja, semuanya akan terasa sakit saat pengorbanan itu tiada arti.

Jadi, jawaban yang tepat menurut Meylisa adalah waktu. Karena jika mereka jodoh … kalaupun tidak hari ini, tidak di tempat ini, tapi suatu saat waktu akan mempertemukan mereka dengan cara yang unik. Waktu akan menunjukkan dan membawanya pada cinta pertama yang sesungguhnya. (*)

Cianjur 06 September 2018

Kartika Sari, emak somplak bin sengklek yang cinta literasi. FB: Kartika Sari

Tantangan Lokit 6 adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata