Seseorang yang Ditumbuhi Higanbana di Kepalanya
Oleh: Fitri Hana
Celine berlari-lari kecil. Sesekali ia melompat-lompat kegirangan. Senyum yang terulas ketika ia duduk di sampingku tadi masih melekat di wajahnya. Satu bunga mawar kemerahan merekah di atas kepalanya.
“Aku ditembak Jack, Bella. Kau tahu aku juga sudah lama memendam cintaku padanya.” Begitu kalimat pembuka dari cerita setengah jam yang ia urai padaku sebelum ia beranjak tadi. Mata berbinar dan senyum yang terus terlukis saat ia berulang kali mengucap “Jack, Jack, dan Jack.”
Kututup buku sketsaku yang tak kunjung usai. Karena jadwal kuliah yang kosong aku sengaja minta ijin pengurus kamar untuk tetap berangkat pagi-pagi lalu duduk di kursi taman kampus, berharap sketsaku segera rampung.
Kuteguk perlahan es cokelat yang tadi kubeli di kantin, berharap mengembalikan kesejukan dari panasnya jam sepuluh pagi di cuaca panas ini.
“Loh, udah beli minum, ya, Bell? Aku telanjur beli dua ini,” ucap Sasha begitu datang dan menempati jejak duduk Celine.
“Iya. Niatnya mau menyepi tadi. Mau menyelesaikan sketsaku, Sha.” Aku suka melihat Sasha. Di kepalanya tumbuh bunga lily berwarna putih. Bukan satu, melainkan banyak. Hampir mirip mahkota. Ditambah rambutnya yang pirang membuatnya semakin terlihat cantik.
Sasha adalah sahabatku. Tidak seperti teman lain yang datang hanya untuk bercerita, Sasha datang untuk berteman. Ia akan menemaniku menghirup udara pagi di tengah taman. Menemaniku berlari sore hari mengitari taman. Atau bahkan menemaniku mencicipi kudapan baru yang dijajakan di pinggir taman kota.
“Sudah ada kemajuan gitu, kok, Bell,” ucap Sasha saat membuka kertas sketsaku. “Rambutnya hitam, seperti rambutmu. Ia pasti sama cantiknya denganmu.” Ucapannya spontan membuatku tersenyum.
“Hai.” Kane datang. Kepalanya ditumbuhi setangkai bunga aster.
“Oh, aku tahu.” Kuambil satu gelas es cokelat yang tadi dibawa Sasha lalu kuberikan kepada Kane. “Minumlah, Kane. Sepertinya Sasha tahu betul kamu akan datang,” ucapku menggodanya.
“Apaan, sih, Bell.” Sasha melengos tapi tetap saja rona di pipinya tidak bisa disembunyikan.
Aku suka sekali melihat bunga-bunga tumbuh dari kepala orang-orang yang mengobrol denganku. Kadang, setangkai bunga tumbuh menguncup. Kadang langsung merekah. Kadang tumbuh banyak, seperti punya Sasha.
Tak kalah serunya melihat mawar-mawar tumbuh di kepala seseorang dengan pipi yang merona juga langkah-langkah kegirangan, seperti Celine tadi.
“Sha, temenin ke perpus bentar, yuk!” ajak Kane yang setiap kali tersenyum, lesung pipinya kelihatan.
“Iya, sana, Sha. Jangan ganggu aku. Aku mau nyelesain sketsaku, nih,” ucapku sambil mendorong bahunya, membantu bunga asternya Kane berubah menjadi mawar. “Sana, sana, sana ….”
Walau dengan muka yang pura-pura ditekuk, Sasha beranjak juga. Mereka berlalu menuju gedung di depan taman dengan pintu selebar tiga meter yang selalu dibuka lebar.
“Hai, Bella. Dengarkan aku sebentar.” Kali ini giliran Rosalie yang merapat di sampingku. Entah dari arah mana dia datang. Di atas kepalanya merekah sebuah mawar berwarna merah. “Kellan … mmm, ceritaku kemarin itu ….” Aku mengingat lagi cerita tentang lelaki yang baru tiga bulan ini menjadi kekasihnya. “Kellan … ia tidak menginginkan janin ini.” Kaca-kaca muncul di mata Rosalie. Kuusap lengannya agar ia merasa baikan. “Aku ingin memilikinya, Bell, aku ingin membesarkannya.” Ia sedikit terisak lalu menarik napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. “Tapi aku juga tidak mau putus dari Kellan.” Kukeluarkan tisu dari dalam tasku lalu kuberikan padanya. Kaca-kaca di matanya tumpah sudah.
Mawar di atas kepala Rosalie merekah semakin lebar. Tetapi warna merahnya berubah menjadi gelap, merah kehitaman. Rosalie mendongak lalu menghentikan tangisannya saat melihat Kellan berjalan ke arah kami. “Aku akan aborsi,” bisiknya di telingaku sebelum ia berlalu, menghampiri Kellan lalu menggenggam tangannya. Mereka berjalan menuju parkiran.
Aku sempat heran mengapa orang-orang yang mengobrol denganku tiba-tiba ditumbuhi bunga di atas kepalanya. Kejadian ini baru berlangsung dua tahun terakhir. Semenjak aku bermimpi seseorang meninggalkan bayinya di depan pintu panti asuhan.
Ia menangis, mendongak, mengusap air mata, tapi menangis lagi. Ia mengetuk pintu lalu berlari di bawah guyuran hujan malam itu. Ia berdiri di balik pohon di seberang jalan.
Setelah seseorang membuka pintu, mengambil bayi yang ia tinggalkan, ia merosot ke tanah. Ia menangis sejadi-jadinya.
Setelah mimpi itu aku berusaha menggambar sketsanya. Rambut hitam bergelombang terurai sepanjang dada dengan muka oval. Namun aku tidak bisa menggambar mukanya. Aku tidak ingat bagaimana wajahnya. Bagaimana bibirnya, matanya, hidungnya, tanganku selalu gemetar. Andaikan bisa kulukis, pasti penghapus lebih leluasa menghapusnya. Aku hanya ingat, di kepalanya ditumbuhi bunga higanbana.
Tamat.
Klaten, 07 Februari 2022
Fitri Hana, seorang ibu yang memaksakan diri untuk menulis. Mengurai benang kusut di kepalanya. Kadang-kadang ia suka kopi. Kadang-kadang ia suka cokelat panas. Kadang-kadang ia tak suka keduanya.
Editor: Lutfi Rosidah