Sesal
Oleh: Lilik Eka
Seperti permainan petak umpet yang kita mainkan kala remaja. Kita saling mencari. Aku sembunyi, kau mencariku; kau ganti menghilang dan aku sekuat tenaga mencarimu.
Apa kau ingat? Sore itu, Mei 1993, ketika aku pulang dari sekolah saat kita bertemu di perbatasan desa, kau sendiri duduk di bangku, di bawah pohon randu. Kau menyapa dan memintaku berhenti sebentar. Dengan malu-malu aku duduk di ujung bangku dan kau berada di ujung yang lain.
Semenit, dua menit, tidak ada yang membuka percakapan. Aku begitu malu untuk memulai dan hanya menunggu kau memulainya. Lagi pula, bukankah kau juga yang memintaku berhenti? Jadi, aku hanya menunggu.
Beberapa menit kemudian, akhirnya kau memecahkan kesunyian. “Kamu rencana lanjut ke mana?” tanyamu pelan, bahkan tanpa mengalihkan pandanganmu dari padi yang telah menguning di seberang jalan tempat kita duduk.
Aku menarik napas setelah mendengar pertanyaanmu. Aku menjadi bimbang untuk menjawabnya. Sebenarnya, aku berharap kita akan melanjutkan sekolah di kota yang sama meskipun berbeda jurusan. Sedetik kemudian, aku menjawab, “Malang. A-aku keterima di IKIP jalur PMDK.”
Sambil menjawab, ingin rasanya kutatap wajahmu lama-lama. Aku ingin bertanya banyak hal, tetapi tidak tahu dari mana memulainya. Aku juga bertanya-tanya mengapa kau menungguku jika hanya diam. Sementara selama rentang waktu dua belas tahun kita berteman, baru kali ini duduk berdua di tempat yang sepi.
“Kalau kamu? Bener mau ikut papamu ke Jakarta?” Akhirnya, kuberanikan diri untuk bertanya. Aku melirikmu. Aku penasaran bagaimana mimik wajahmu setelah mendengar pertanyaanku, tapi entah mengapa pandanganku kala itu hanya berpusat pada hidung dan rambut ikalmu.
“Belum pasti. Papa ingin aku nyoba ikut tes di UI, tapi Ibu pengen aku di ITS. Kalau aku di Jakarta … akan jarang pulang.”
Jawabanmu itu, membuat jantungku berdebar, dada terasa panas dan mata sedikit perih. Aku tidak tahu mengapa, tetapi debar itu masih ada hingga kini ketika kusebut namamu. Pertemuan sore itu adalah pertemuan terakhir bagi kita.
Kita berpisah begitu saja. Tiba-tiba, kau berdiri tanpa menoleh padaku. Kau ucap salam dan mengambil sepeda lalu menaiki dan mengayuhnya. Dari tempatku duduk, kulihat punggungmu juga rambut ikalmu yang tertiup angin. Kau mengayuh sepeda balap milikmu melewati jalan berbatu di bawah pohon randu dan jati. Perlahan punggungmu terlihat mengecil seiring dengan jauhnya jarak kita. Dan pada akhirnya, aku tak lagi bisa melihat setelah kau berbelok di jalan yang mengarah ke desamu.
Apa kau tahu? Sore itu, aku berlama-lama duduk di sana dan melihat jalan menuju desamu meskipun kau sudah tak terlihat.
Seminggu kemudian, aku berangkat ke Malang diantar orang tuaku.
Aku melupakanmu karena terlalu sibuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Gadis desa yang tiba-tiba harus hidup sendirian di kota besar. Aku berusaha keras melewati bulan demi bulan sendirian di sana.
Di hari lebaran, setahun setelah kelulusan kita, aku mendatangi tempat itu. Tempat terakhir kita bertemu dan berbincang singkat. Selama di desa, setiap hari, aku mendatangi tempat itu. Semuanya masih sama, bangku yang terbuat dari akar bambu dan kayu jati juga masih kokoh berdiri dan masih sanggup menopangku. Padi di seberang jalan–tempat bangku itu berdiri—juga mulai menguning, yang berbeda hanyalah pohon randu dan jati yang makin tinggi.
Goresan nama di setiap lembar papan bertambah banyak, pada tiang penyangga juga tak luput dari keisengan orang-orang yang duduk dan berteduh di sana. Banyak nama berhiaskan bunga atau gambar hati yang menarik perhatianku. Aku mengambil bolpoin dari dalam tas, berjongkok dan mencari sisi tiang yang masih kosong. Aku menulis namamu dan pesan bahwa aku akan menunggumu di sini di setiap lebaran. Aku berharap kau singgah di sini dan membacanya atau ada seseorang yang mengenalmu membacanya, lalu menyampaikannya padamu.
Aku kembali ke Malang dengan perasaan kecewa. Aku sama sekali tidak mendengar kabarmu dan itu sungguh menyakitkan. Beruntung kesibukan bisa menjadi pengobat kecewaku meskipun sesekali ingatan tentangmu masih mengganggu. Bahkan, saat banyak nama yang berusaha masuk dan singgah dalam hidupku. Entah mengapa aku sama sekali tidak tertarik untuk membuka hati.
Tiga tahun terlewati, tiga kali pula aku datang dan menunggumu di tempat itu. Bangku kayu tempat kita duduk sudah mulai kusam, pohon-pohon di pinggir jalan makin tinggi. Satu yang berbeda, padi di seberang jalan masih hijau dan belum berbulir.
Aku kembali menulis pesan untukmu di salah satu ujung bangku itu. Aku menulis tentang kelulusanku dan akan pindah ke Surabaya. Meskipun tidak yakin pesan itu kau baca, setidaknya hatiku menjadi sedikit lega.
Waktu terus bergulir. Di tempat tinggal baru aku berusaha keras melupakanmu. Aku bisa melupakanmu di siang hari. Akan tetapi, di malam hari ingatan tentangmu sering menggangguku.
Tahun keempat dan kelima, telah terlewati. Di tahun keenam, aku datang lagi ke tempat itu untuk menunggumu. Aku melihat jalan menuju desamu, berharap kau datang dari sana dengan mengayuh sepeda di jalan yang sekarang sudah beraspal. Cukup lama aku menunggumu, tetapi kau tidak juga terlihat.
Aku kecewa. Tidak hanya tentang kau yang tak pernah datang, tetapi juga tentang tempat kita berjumpa untuk terakhir kali. Bangku bertiang bambu dan papan jati itu sudah tidak ada di sana. Bangku itu telah berganti dengan bangunan semen dan bercat hitam putih. Aku masih bisa duduk di sana, tetapi pesanku telah hilang.
Semua berubah. Jalanan yang sering kita lewati kini telah halus beraspal, pohon randu itu kini sudah berbuah bahkan buahnya yang tua dan terbuka menebarkan kapas putih di sepanjang jalan. Pohon jati kini sudah rindang dan jalanan menjadi teduh.
Kau tahu? Hari itu aku pulang dengan hati hampa dan menangis di sepanjang jalan. Beruntung hujan yang tiba-tiba turun mampu menyamarkan air mata yang terus mengalir.
Sejak sore itu, harapanku bertemu denganmu telah lenyap, meskipun namamu masih terselip di sudut hatiku. Dua puluh delapan tahun telah berlalu dan yang kuingat darimu hanyalah punggung dan rambut ikalmu yang tertiup angin saat mengayuh sepeda menjauh dariku. Sore itu di saat aku mendengar cerita tentangmu dari seorang teman. Saat itu aku sungguh menyesal mengapa aku tidak bertahan lebih lama untuk menunggumu.
Balikpapan, 25 Maret 2022
Lilik Eka adalah penulis pemula yang ingin memberi contoh pada anaknya bahwa belajar itu tidak mengenal usia.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay