Seruni

Seruni

Seruni

Oleh: Yuliawanti Dewi

Gadis berambut hitam sepinggang itu adalah adikku. Gadis yang selalu tersenyum walau pandangan matanya tetap sama. Kosong. Tak ada warna. Tak ada cahaya. Seperti kehidupannya.

Seruni namanya. Ia terlahir sebagai gadis tuna netra. Sejak kelahiran pertamanya ke dunia, ia tidak mengeluarkan suara seperti bayi pada umumnya. Hanya tangan dan kakinya yang bergerak seolah ingin menggapai sesuatu. Sampai usianya yang keenam belas pun, belum pernah aku melihatnya menangis.

Begitulah Seruni. Ia tidak pernah tertawa tetapi selalu tersenyum. Ia tidak pernah menyesali kehidupannya. Ia sangat menghargai apa yang telah Tuhan berikan padanya. Karena seperti itulah yang seharusnya manusia lakukan, ucapnya waktu itu.

Seruni tidak pernah marah kala banyak orang yang mengejeknya karena tidak bisa melihat dunia yang indah ini. Ia hanya tersenyum. Dan menerima setiap perkataan mutiara dari mulut mereka.

“Aku memang tidak bisa melihat indahnya dunia ini. Tapi, aku tahu dunia ini memang indah seperti yang mereka katakan.”

Seruni adalah gadis penyabar. Tak sedikit pun hal negatif menguasai pikirannya. Ia hidup dengan aura positif dan kedamaian. Ia bagaikan angin lembut di atas bukit. Menenangkan, mendamaikan. Seruni pernah bercerita padaku, tentang seorang gadis yang menangis atas kepergian sang kekasih. Kala itu, Seruni sedang menikmati suasana alam taman kota.

Ia duduk dengan tatapan kosong ke depan. Seruni memang tak bisa melihat, tapi ia mampu merasakan semuanya. Ia bisa merasakan emosi orang yang marah, sedih, bahagia, atau juga suasana alam di pagi hari, siang ataupun malam. Mungkin hal tersebut bisa disebut kelebihan.

Kembali ke cerita Seruni. Gadis itu duduk di sampingnya dengan tangisan pilu. Seruni yang sedang duduk merenung, terenyuh jiwanya mendengar tangisan pilu itu. Ia tahu gadis itu sedang bersedih, namun tidak tahu penyebabnya. Sampai gadis itu mulai berbicara dengan nada penuh emosi.

“Kenapa dia lebih memilihnya daripada aku? Kenapa dia meninggalkanku? Padahal aku sudah memberikan apa yang dia inginkan.”

Seruni tak menjawab. Ia tetap bisu.

“Aku benci lelaki! Sudah sekian kali aku ditipu oleh kaum mereka! Aku… aku tidak terima bila hidupku terus seperti ini. Lebih baik aku mati saja! Mati! Mati!” Gadis itu kembali menangis. Seruni tetap diam. Ia tidak bergerak. Tetap memandang ke depan. Gadis yang berada di sampingnya tersebut merasa aneh, akhirnya ia memberanikan diri untuk menyapa.

“Hei…”

Seruni tak menjawab.

“Apa yang kau lakukan di sini?”

“Duduk”

“Duduk?”

“Ya. Duduk di kursi taman kota.”

Gadis itu keheranan. Ia menatap Seruni lekat. Lalu melambaikan tangannya di depan wajah Seruni.

“K—kau,” gadis itu menutup mulutnya.

“Ya. Aku tidak bisa melihat.” balas Seruni tenang. Kemudian ia tersenyum dan melanjutkan perkataannya. “Aku juga tidak bisa melihat wajah cantikmu yang ternodai oleh air mata kepedihan”

“Kau beruntung tidak bisa melihat. Aku ingin sepertimu juga,” ucap gadis itu lirih.

“Kenapa?”

“Karena kau tidak perlu melihat kejamnya dunia. Tidak perlu melihat para penipu ulung. Kau tidak akan pernah tahu sisi buruk dunia. Kau tidak akan merasakan resah. Kau tidak…”

“Hei,” Seruni segera memotong pembicaraan gadis itu. “Kau tahu? Duniaku lebih kejam dari dunia yang kau lihat ini. Duniaku tanpa warna. Gelap. Hanya gelap. Sedangkan dunia yang kau ceritakan tersebut memiliki aneka warna, bukan? Kakakku pernah berkata, bahwa pelangi itu indah. Terdiri dari aneka warna. Tetapi, aku tidak bisa membayangkannya. Aku tidak tahu, merah itu seperti apa, orang bilang merah itu warna darah. Biru adalah warna langit. Merah muda adalah warna cinta, tetapi aku tidak bisa membayangkannya. Aku hanya punya satu warna. Hitam. Itu saja. Duniaku berwarna hitam. Seharusnya kau bersyukur, memiliki mata yang mampu melihat aneka warna. Tapi, kau malah ingin sepertiku. Lucu sekali.”

Seruni diam sejenak. Ia menunggu respons gadis di sampingnya. Namun, sampai beberapa jam berlalu, gadis tersebut tak pernah merespons jua. Mungkinkah dia meninggalkan Seruni sendiri?

Sebenarnya aku kesal saat Seruni menceritakan itu padaku. Aku kesal kepada gadis itu. Gadis yang meninggalkan Seruni di kala dirinya sedang bicara. Sejatinya, meninggalkan orang yang sedang berbicara itu merupakan tindakan yang tidak sopan. Tetapi, lagi-lagi Seruni hanya tersenyum.

“Gadis itu mungkin tersadar atas perkataannya. Aku yakin dia mendengarkanku walau hanya sekilas.”

Seruni, selalu saja kau berpikir positif. Hanya sedikit orang yang memiliki pikiran sepertimu. Kau memiliki kekurangan. Kau tidak bisa melihat warna dunia. Tapi, kau tidak merutukinya. Justru kau bersyukur. Kau tidak pernah mengeluh atas kehidupan yang kau miliki. Seruni, kau adalah adik terhebat.

Aku menyeka air mataku dan tersenyum. Menatap Seruni yang tersenyum dengan tatapan kosong dalam bingkaian foto berwarna cokelat. Seruni, ia telah pergi seminggu yang lalu. Ia telah tenang di sana. Mungkin saja sekarang ia sedang bermain di taman surga. Dan mungkin saja, sekarang ia mengetahui warna dari pelangi sehingga tatapan matanya tidak kosong lagi. Aku yakin itu.

***

Seminggu yang lalu…

Seperti apakah pelangi?

Kakak berkata, pelangi adalah kumpulan dari berbagai warna berbentuk garis melengkung yang menghiasi langit setelah hujan. Aku bertanya, apa itu warna? Seperti apa warna itu? Apakah warna sangat indah?

Kakak menjelaskan, bahwa benar warna sangat indah. Kakakku juga berkata, warna itu banyak ragamnya. Ada warna biru, jingga, putih, kuning, hijau, merah, nila, ungu, dan warna lainnya. Tapi, sedikit pun aku tidak mengerti apa yang Kakak katakan. Aku tidak bisa membayangkannya karena aku tidak mempunyai pengalaman melihat apa pun kecuali gelap. Warna gelap. Katanya, ini warna hitam.

Kakak tidak menyahut lagi. Yah, kurasa dia kehabisan kata untuk menghiburku. Sebenarnya, aku tidak menyesal atas hidupku yang tanpa warna ini. Karena aku masih bisa merasakan hal lain. Seperti, embusan angin di tempat favoritku. Bukit hijau belakang rumah, itu kata kakakku. Atau suasana damai saat senja tiba. Masih kata kakakku, senja itu warnanya jingga. Aku hanya mengangguk dan menyimpulkan bahwa jingga di waktu senja adalah warna kedamaian.

Hari ini, entah kenapa aku ingin duduk di taman kota. Duduk sendiri tanpa ditemani oleh Kakak. Aku duduk tegak. Pandanganku lurus ke depan. Aku duduk seperti patung. Tanpa tahu apa yang sedang kulihat. Beberapa menit kemudian, seseorang duduk di sampingku. Aku yakin itu bukan Kakak. Karena itu suara isakan seorang perempuan. Lantas siapa yang duduk di sampingku?

Aku tetap pada posisiku. Sampai orang disampingku tiba-tiba berkata dengan nada emosi. Kata-kata pilu yang membuat jantungku sesak. Ada apa dengan orang itu? Aku ingin sekali bertanya.

“Lebih baik aku mati saja! Mati!”

Deg.

Jantungku terasa berhenti berdetak. Apa yang terjadi dengan gadis tersebut? Andaikan tadi dirinya tidak merenung dan bisa merasakan kehadiran gadis tersebut, tentu saja ia akan segera menyapanya. Bertanya tentang keadaannya.

“Hei”

Ah, apakah dia menyerukan kalimat itu untukku?

“Sedang apa kau di sini?”

“Duduk,” aku menjawab spontan. Aku terlalu kaget oleh sapaannya yang tidak biasa.

“Duduk? Ia kembali bertanya. Aku tersenyum. Kali ini, aku sedikit bisa mengendalikan kegugupanku.

“Ya. Duduk di kursi taman kota,” ucapku tenang.

Aku merasakan angin kecil di depan mataku. Lalu sebuah ungkapan kaget kecil. Aku tersenyum dan membalasnya dengan tenang, “Ya. Aku tidak bisa melihat.” Gadis itu tidak merespons. Mungkin dia masih dikuasai rasa kaget. Maka, segera aku menyambung perkataanku. Setelah itu, baru gadis tersebut berkata dengan suara lirih.

Sungguh! Aku tidak percaya apa yang dikatakannya. Ia ingin sepertiku? Sepertiku yang hidup tanpa melihat warna dunia? Jelas itu mustahil. Manusia normal, tidak ingin hidupnya hanya dikuasai warna gelap, bukan?

Hal tersebut membuat mulutku terus berkata sampai aku tidak tahu bahwa gadis tersebut telah meninggalkanku sendiri. Aku terdiam. Masih tentang gadis itu. Ke mana dia pergi?

Aku mengambil tongkat yang selalu aku gunakan kala berjalan sendiri. Entah ke mana aku pergi. Aku hanya terus berjalan, sampai keajaiban itu terjadi. Aku melihat sinar terang masuk ke dalam mataku dan semua kembali gelap.

***

“Seruni, Seruni, kau baik-baik saja?”

Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Kepalaku pusing dan seluruh tubuhku tak mampu aku gerakan. Ah, keajaiban tadi. Sebenarnya apa yang terjadi? Aku ingin bertanya kepada Kakak. Tapi, aku tidak bisa melakukannya. Mulutku tiba-tiba terkunci rapat.

“Apa yang terjadi denganmu?”

“A—aku bertemu sseorang g—gadis di taman.”

Aku bisa bicara! Ah, senangnya. Walau tidak lancar. Aku tetap melanjutkan perkataanku. Menceritakan apa yang terjadi dengan si gadis sampai akhirnya ia meninggalkanku sendiri kala aku sedang berbicara. Kakak mengumpat kesal atas perlakuan gadis itu terhadapku. Aku hanya tersenyum.

Aku ingin melanjutkan cerita. Cerita tentang keajaiban yang menghampiriku saat aku berjalan untuk mencari si gadis. Saat aku melihat cahaya terang itu. Namun, mulutku tidak bisa melakukannya. Tiba-tiba dadaku sesak. Dan hei… aku melihat kembali cahaya terang itu. Kali ini lebih berwarna.

Aku ingin menceritakannya pada Kakak. Ingin sekali. Cahaya itu datang bersamaan dengan seorang wanita yang sangat cantik. Apakah itu yang disebut dengan bidadari? Ia menggapai tanganku dan tersenyum. Lalu membawaku pergi ke tempat yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Tempat yang sangat indah, penuh warna dan kedamaian.

Kuharap, Kakak bisa melihat hal ini juga.(*)

 

Yuliawanti Dewi, gadis kelahiran Sumedang, 17 Agustus 1998. Saat ini tengah menimba ilmu di salah satu Universitas di Bandung. Selain hobi menulis dan membaca, dia sangat menyukai anime dan drama-drama genre scifi, fantasy dan thriller. Bisa dihubungi melalui emailnya ydewi6656@gmail.com 

fb: Yuliawanti Dewi dan instagram: @yuliawantidewi

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita