Serpihan Jiwa Genara
Oleh: Amara Senja
Derap langkah Genara semakin lebar. Lari, intuisi hati tanda bahaya memerintah Genara terus mempercepat langkah. Tanpa memedulikan kaki yang semakin tak tahu arah, Genara menyeret penopang tubuhnya itu agar terus bergerak.
Deretan pepohonan semakin rapat, pendar sinar senja semakin samar. Menandakan bahwa Genara semakin dalam masuk ke hutan. Dalam langkah yang dipaksa, Genara terisak membayangkan akhir hidupnya. Kelebatan bayangan akan dirampok atau mungkin kejadian yang lebih buruk lagi berjejalan di depan mata. Dia merutuki keputusannya yang lari dari rumah. Seharusnya dia menginap sementara ke tempat Adreena, sahabatnya, karena petang menjelang.
“Oh, Tuhan. Apakah balasan untukku karena tidak menuruti kata Mama,” ratap sedih Genara dalam hati.
Genara berlari dan terus berlari, berusaha sejauh mungkin dari sesuatu yang mengejar. Anak rambut yang menempel pada dahi melekat sempurna oleh peluh yang bercucuran di wajah cantiknya. Berpuluh doa dia ucapkan, untuk meminta pertolongan Tuhan.
Krak!
Kakinya tersangkut akar pohon yang menjulang dari tanah. Tubuhnya limbung menabrak serakan ranting pohon kering. Perih, lengannya tergores panjang. Darah segar merembes di kemeja kuning Genara. Memberanikan mengedarkan pandangan, Genara mencari siapa yang mengejarnya, meski langkah kakinya tak terdengar. Tapi dia yakin ada yang membuntuti bahkan mengejarnya.
“Si-siapa di sana?”
“Siapa? Jangan menakutiku! Kumohon ….”
Hening. Desir angin menerpa tubuh gadis bermata cokelat itu. Meski awalnya tidak ada yang terlihat. Tapi Genara merasakan ada sesuatu tak jauh darinya. Samar, terlihat bayangan seseorang. Melayang.
Deg! Genara bergidik ngeri. Tubuhnya menggigil tak karuan, dadanya sesak, napasnya tercekat, membuat air mata itu lolos dari pelupuk mata.
“Tolong, menjauhlah. Aku tidak menggangumu, kenapa kau menggangguku?” Genara berkata pada sosok yang dia yakini hantu penunggu hutan, disela isak tangis yang tertahan. Berusaha menekan ketakutan yang mencekam raga.
Sosok yang dikelilingi pendar cahaya putih itu menjulang di atasnya. Kini bayangan samar tadi terlihat lebih jelas. Sepasang benda putih transparan mengepak pelan di balik punggung.
“Tak mungkin dia hantu. Hantu selalu identik dengan hal yang mengerikan,” pikiran Genara menerawang.
Sesosok lelaki rupawan berkulit putih, dengan rambut panjang keperakan terlihat di mata Genara. Semacam tato akar berwarna emas melilit memenuhi lengannya yang tak tertutupi seragam hitam. Wajah itu sempurna, alis mata tebal, hidung mancung serta iris biru seakan menghipnotis siapa saja yang memandang. Telinga yang sedikit runcing keatas menambah pesona sang Mahakarya.
“Apakah malaikat yang di depannya?” kembali pikiran Genari menebak. Dia begitu terpesona seakan lupa bahwa dirinya sekarang mungkin dalam keadaan bahaya.
“Sampai kapan kau akan melihatku, manusia?”
Tersadar dari lamunan, Genara merutuki kebodohannya. Sambil membungkuk, Genara memohon.
“Ampuni aku, Malaikat. Jangan cabut nyawaku. Aku belum siap mati. Aku belum pernah merasakan cinta.”
“Sepicik itukah pemikiranmu?” ucapnya. “Aku tak akan mencabut nyawamu. Sekarang, serahkan benda berhargamu?”
“Tidaakkk! Kau ingin mengambil kesucianku? Kumohon. Jangan. Suamiku kelak akan marah kepadaku.”
Apakah kaum manusia sebodoh ini? Jika bukan perintah Ratu Ederna, aku tidak akan masuk ke dunia manusia. Entah, mungkin ada kesalahan ramalan tetua kerajaan, pikir Xavier, si lelaki bersayap.
“Cepat buka!”
“Tidak! Kau jangan macam-macam. Perbuatanmu dilarang Tuhan.”
“Hentikan pikiran kotormu. Aku hanya akan mengambil ….”
Crashhh.
Kata itu mendadak terhenti karena pedang cahaya melukai tepat di punggung Xavier. Menghentikan tangannya yang terulur ke Genara. Namun, seakan tak berarti, luka itu tertutup kembali. Tak menampilkan bahwa beberapa detik yang lalu, di tempat yang begitu jelas menganga mengeluarkan cairan merah pekat. Tempat bekas luka itu sesaat menampilkan pendar cahaya hijau sebelum kembali ke sedia kala. Sungguh mengagumkan. Xavier tersenyum lega, meski kekuatannya melemah akibat luka pertarungan dengan Bangsa Peri, terbukti dia tidak bisa merasakan kedatangan Lucian, tetapi daya sembuhnya masih bisa diandalkan.
Di sisi lain, Genara merasa terselamatkan akan kedatangan pria yang kedua. Dia segera berlari menyembunyikan dirinya di balik pohon besar. Berharap dia memiliki waktu sebentar untuk meredakan degub jantung yang bertalu tak karuan serta mencoba melonggarkan napas yang tercekat.
Genara mengamati penolongnya. Sosok itu hampir sama dengan lelaki yang pertama, hanya saja sayapnya bewarna jingga. Rambut hitamnya tergerai indah dengan sorot mata sehitam durga yang membuat auranya begitu kelam.
“Oh, Xavi, kau membuatnya ketakutan,” ejek pemuda yang memegang pedang cahaya.
“Sial. Kenapa kau selalu menggaguku, Lucian?”
Tak dapat dihindari, pertarungan itupun terjadi. Xavier dan Lucian bertarung mengeluarkan kemampuan terbaik mereka. Jika memandang melalui mata manusia, pertarungan itu bagai loncatan cahaya putih dan jingga yang saling bertabrakan serta diiringi suara nyaring dari pedang yang saling beradu. Kecepatan mereka sungguh mengagumkan.
Padahal dahulu, Xavier dan Lucian adalah sahabat bak saudara. Mereka dari kecil hidup bersama, seperti kakak beradik, di mana ada Xavier pasti akan ada Lucian. Xavier yang berusia 2 tahun di atasnya, berusaha melindungi Lucian di mana pun mereka berada. Kegetiran hidup yang membuat hubungan mereka dekat, senasib sepejuangan, sama-sama ditinggal sang Ayah dan berjuang hidup dengan seorang ibu. Tetapi kejadian di teluk Amarta, mengubah segalanya, sorot kebencian tergambar jelas di kedua mata mereka. Tak ada rasa saudara, yang tersisa hanya dendam yang harus terbalaskan.
Ditengah kecamuk pertarungan, Genara hendak melangkah pergi. Memusatkan tenaga di kaki, berharap dia bisa berlari, berpikir mungkin mereka tak akan menyadari. Akan tetapi urung melangkah, seberkas cahaya menghantam Genara, membuat kesadarannya hilang seketika. Cahaya hijau yang menyilaukan itu melahap dan membawa Genara lenyap bersamanya.
Kediri, 06 September 2021
Amara Senja,
Editor: Evamuzy
Sumber gambar: pinterest.com