Seribu Tahun Baru

Seribu Tahun Baru

Seribu Tahun Baru

Oleh: Dyah Diputri

Terdengar decak suara seseorang dari sound system berukuran sedang di samping rumahku. Ia seorang pria yang sedang mengetes pelantang suara dengan cara tak wajar. Bukan melafalkan ‘tes-tes, satu-dua-tiga’, melainkan memanggil-manggil nama Rahayu berkali-kali. Kelihatan sekali keisengan dan kekurangwarasannya.

Rahayu itu namaku. Jelas sekali, Bayu–tetangga sebelah itu–sedang mencoba membangkitkan gelombang api berkekuatan hebat dari dalam diri ini. Ia tahu benar jika cara konyolnya akan berhasil membuat aku bagaikan banteng yang disodori secarik kain merah. Panas telinga, merah padam muka, lengkap berpadu dengan gejolak dalam dadaku.

Tak cukup sampai di situ, Bayu melanjutkan pancingan emosi yang kedua. Bunyi terompet–yang entah berbahan dasar apa–terdengar melengking dan intens. Ia mencoba membuat nada-nada simfoni lagu We Wish You Are Merry Christmas, tapi jadinya malah terkesan seperti dengungan tawon yang berpadu dengan teriakan ribut manusia-manusia di pasar kala pagi hari. Bikin sumpek telinga.

Siapa lagi yang bisa mengampuni pria jomlo itu? Bergegas aku pergi ke teras. Awas saja kau, Bayu! Tak ada maaf untukmu!

“Berhenti, nggak? Berisik tahu! Siang-siang bolong bikin gedeg!” teriakku kencang tanpa keluar dari pagar rumah.

Rumah kami memang berdempetan. Hanya dibatasi tembok teras setinggi satu meter. Keluargaku dan keluarga Bayu bertetangga baik. Tidak pernah ada masalah, tidak pernah bersitegang. Hanya, aku orang yang sensitif dengan keramaian akhir-akhir ini. Hampir semua orang di sekitarku tahu, termasuk keluarga Bayu. Terkecuali Bayu. Pria 24 tahun itu sepertinya terbuat dari komposisi racun bengal dosis tinggi ditambah bakteri tidak bisa diam yang hobi membelah diri. Semakin ia bertingkah menyebalkan, semakin hebat pula efek yang ditimbulkan untukku.

“Bayu! Hentikan, sekarang!” Aku menjerit kembali saat himbauan pertama tak diacuhkan olehnya. Bukannya berhenti, ia malah menyebut-nyebut aku wanita galak dengan pelantang suara.

Masa bodoh! Bisa gila jika menuruti emosiku sendiri dalam menghadapi Bayu. Satu-dua gertakan selalu hanya lewat kuping kanan-keluar kuping kiri. Ia bukan siapa-siapa, hanya tetangga abnormal yang tidak waras jika melihatku gembira.

Aku kembali masuk ke rumah. Bola mata kuputar perlahan sembari menarik napas dalam-dalam. Semoga stok kesabaran masih banyak, tapi harus kusimpan untuk momen-momen nggak banget selanjutnya. Tepat saat itu, Mama muncul dari arah dapur, membawa satu penghangat nasi ukuran jumbo berwarna hijau. Di tangan yang satunya ia membawa sekantung plastik besar kerupuk udang yang tadi digorengnya. Senyum tak pernah luput membingkai wajahnya. Meski usianya sudah mendekati kepala lima, tapi Mama masih terlihat cantik dan anggun.

“Kenapa, Yu, marah-marah terus? Bentar lagi tahun baru, lo. Harus happy.” Mama berhenti sejenak untuk menyapaku.

Bibir ini belum kembali ke tempat semula. Masih betah bermonyong ria sebab suara Bayu yang cempreng makin membahana. ‘Rahayu, Rahayu, ayo pesta tahun baru.’

“Aku nggak suka tahun baru!” tegasku.

Mama baru mengangkat alis, tapi aku sudah buru-buru masuk ke kamar. Beliau berusaha menyusul sambil memanggil, tapi pintu kamar sudah terkunci.

Aku benci tahun baru dan tidak akan pernah menikmati pestanya. Beberapa orang bilang kalau perayaan semacam itu adalah hal yang sia-sia. Untuk apa membuat keriuhan hanya demi menyambut hari yang sama seperti sebelumnya? Memangnya dunia akan berubah hanya dengan acara makan-makan bersama, gemerlap kembang api, juga semarak tiupan terompet? Tidak. Bahkan mustahil bagiku.

Sesaat mata terpejam, kugali-gali ketenangan yang terkubur dalam di sanubari. Alunan lagu Tegar milik Rossa cukup membantuku meloloskan udara yang bertumpuk dan pengap di dada. Terserah saja kalau mereka mau keroyokan membuat acara malam tahun baru, toh aku tidak termasuk di dalamnya.

“Yu, Rahayu. Aku mau minta maaf.”

Samar-samar terdengar suara. Kulepas earphone untuk memastikan, apa aku bermimpi atau memang kenyataan. Mana mungkin seorang Bayu meminta maaf padaku?

“Ayolah, Yu. Buka pintunya. Ngobrol, yuk!”

Benar. Bayu memanggil, lantas mengetuk pintu berkali-kali dengan ritme pelan dan teratur. Sama sekali bukan tipenya, sebab biasanya ia grusa-grusu, urakan, dan berisik.

Entah kesambet malaikat dari mana, kubukakan pintu untuknya. Padahal aku enggan untuk bicara dengannya.

“Maaf, ya, Rahayu. Selama ini aku banyak salah sama kamu.” Bayu mengulangi kata maaf. Pintu kamar ia biarkan terbuka lebar dan ia duduk di tepi ranjang. Sementara aku memilih mengalihkan pandang ke jendela.

“Buat apa minta maaf. Toh, besok-besok kamu selalu berulah. Itu pun cuma sama aku. Edan!” Kubuka jendela kamar lebih lebar. Kehadiran Bayu membuat kegerahan tersendiri di dalam kamar ini. Bodinya yang tinggi besar seolah-olah memenuhi ruangan kamar yang kecil. “Lagian ini bukan lebaran,” lanjutku.

“Ya, kan mau ganti tahun, Yu. Ke depannya aku harus jadi manusia yang lebih baik.” Bayu menyanggah.

“Harusnya kamu paham itu. Namanya tahun baru itu umur semakin sempit. Mendekati kematian. Banyakin ibadah, perbaiki diri. Bukannya pesta nggak penting!”

“Ya, aku paham. Tapi memperbaiki diri di tahun yang akan datang bukan berarti kita melupakan rasa syukur atas tahun yang sudah terlewati. Rasa syukur itu yang kamu nggak punya,” ujar Bayu spontan.

Kontan, aku menoleh. Dahiku berkerut, tajam mata tegas menyelidik. Emosi yang tadi sudah surut, mendadak meluap lagi.

“Jadi, kamu ke sini cuma mau bilang kalau aku pasrah, menyerah?” Suaraku melengking tinggi.

Bayu berdiri menghampiri. Tampak dari wajahnya tidak ada tanda-tanda rasa bersalah. Padahal, ia sudah membuat amarahku hampir meletup di ubun-ubun. “Bukan aku, lo, yang bilang begitu. Kamu yang merasa.” Masih saja membela diri.

Ingin sekali aku berdiri dan menamparnya. Kalau saja kursi roda ini tidak menghalangi ….

“Kalau kamu mau bersemangat–sedikit saja–tentu mamamu tidak akan menyuruhku untuk mengerjaimu setiap hari. Kamu nggak tahu, seberapa besar penyesalan orang tua yang pernah mengizinkanmu pergi menjelang tahun baru lalu. Saat kamu mengalami kecelakaan itu, dunia mereka juga hancur. Ayahmu bahkan jarang pulang dari luar kota karena tidak tega melihatmu.”

Layaknya titik-titik embun di dedaunan melati yang disinari fajar, kemarahanku menguap seketika. Bagaimana Bayu bisa tahu hal itu? Lalu, kenapa aku tidak?

“Kamu merasa paling hancur atas keadaan kamu, sampai-sampai lupa bahwa keluargamu juga merasakan keterpurukan itu. Lebih-lebih kamu jadi introver seperti ini. Padahal dokter sudah bilang, dengan beberapa kali fisioteraphy saja, kamu pasti bisa jalan. Asal kamu semangat, Yu. Nggak guna juga kamu membenci masa lalu hingga lupa cara mensyukuri apa yang masih kamu punya. Seribu tahun yang akan datang pun tidak akan cukup untuk membuktikan kalau kamu ingin memperbaiki diri.”

Bayu terengah-engah menuntaskan kalimatnya. Kemudian, ia beranjak meninggalkanku. Meninggalkan aku yang terluka dan telah membuat luka baru. Luka di hati Papa dan Mama.

Bayu benar. Sangat benar sampai aku tak punya celah untuk menyela maupun membela diri. Sepenuhnya, keegoisan serta amarah akan keadaan telah merenggut semangat dan rasa syukur dalam diri. Lantas, pelita dalam hidup–yang seharusnya kunyalakan sendiri–padam dengan sendirinya. Meskipun seribu tahun baru kulewati, perubahan tak pernah bisa ada di genggaman.

Cepat, kulajukan kursi roda. Kupanggil Bayu, sebelum ia meniup terompetnya kembali di sebelah rumah.

Bayu menoleh, hampir saja ia membuka pagar rumahku. Ia berbalik, lalu tiba-tiba nyengir kuda. “Apa? Kurang marah-marahnya?”

Hmm, malah mengejek. Belum lima menit berlalu, sosok yang ceramah sok bijak tadi berubah seperti monster lagi. Menyebalkan.

“Besok, antar aku fisio. Mau, nggak?” ungkapku malu-malu.

Bayu tergelak. Tangan berkacak pinggang, sesekali menangkup mulut karena tawa yang lebar macam kuda nil. “Ya. Ada syaratnya, Rahayu! Malem ini kamu harus karaoke dulu. Tapi, jangan lagu Tegar!” Kembali ia tergelak.

Sialan! Bayu memang sialan! Membuatku bersemangat mengejarnya. Saat ini dengan kursi roda, awas saja nanti!


Malang, 26 Desember 2019

Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Sumber gambar: https//www.pinterest.com

 

Leave a Reply