Seragam Merah Putih
Oleh: Susi Lawati
Terbaik ke-15 Lomba “Menulis cerpen berdasarkan setting ‘Pada Hari Kemerdekaan’”
Hari ini, Kamis, tanggal 17 Agustus 2024 adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh Hadi. Bagaimana tidak, dia selalu bersemangat untuk mengikuti upacara pengibaran bendera merah putih di lapang dekat sekolahnya. Selain itu, dia ingin sekali mengikuti berbagai perlombaan yang akan diadakan setelah upacara selesai.
Anak lelaki yang baru duduk di kelas 5 itu sudah memiliki serangkaian acara untuk hari ini. Pukul tiga pagi, ketika anak seusianya masih tidur nyenyak di atas kasur empuk berselimut lembut, dia sudah bangun guna membantu ibunya menyiapkan makanan yang akan didagangkan di lapang tempat upacara bendera berlangsung.
Matanya masih berat untuk dibuka, tetapi dia berusaha untuk menyingkirkan rasa kantuknya dan bergegas ke arah kamar mandi untuk mencuci muka dan menyikat gigi. Setelah selesai, Hadi menghampiri ibunya. “Ibu, aku mau bantuin Ibu,” ucapnya.
“Nggak usah, Nak! Kamu tidur saja, nanti kalau sudah azan Subuh Ibu akan bangunkan kamu. Jika kamu bantuin Ibu, nanti saat upacara malah mengantuk,” jawab Ibu.
“Aku janji nggak bakalan mengantuk saat upacara. Boleh kan, Bu, aku bantuin?” tanya Hadi masih bersikeras dengan kemauannya.
“Ya udah sini!” ajak ibu.
Hadi mulai membantu memotong sayuran berupa kol dan wortel untuk membuat bakwan, sedangkan ibunya membuat bumbu kacang untuk bumbu cilok.
Setiap hari ibu Hadi berjualan keliling untuk menyambung hidupnya dan juga anak semata wayangnya itu. Dia menjual berbagai macam gorengan seperti bakwan, gehu, dan goreng tempe, juga cilok. Cilok bumbu kacang buatannya sudah terkenal enak di kampung tersebut.
Akan tetapi, khusus untuk hari kemerdekaan kali ini, ibu Hadi akan menambah menu dagangannya dengan berbagai macam camilan tradisional yang terbuat dari singkong seperti getuk, cenil, comro, dan misro.
Tak terasa azan berkumandang begitu merdunya, memanggil semua umat muslim untuk menunaikan kewajibannya kepada Sang Pencipta. Hadi bergegas ke kamar mandi untuk mandi dan berwudu. Ibunya selalu mengajarkannya untuk tidak meninggalkan salat walau dalam keadaan apa pun. Dia selalu ingat pesan ibunya bahwa salat adalah tiangnya agama.
Hadi melakukan salat Subuh berjamaah bersama ibunya. Setelah selesai menunaikan kewajibannya, dia tidak pernah lupa berdoa untuk ibu dan almarhum bapaknya.
“Allahumma firlii wa liwaa lidhayya warham humaa kamaa rabbayaa nii shaghiraa. Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku waktu aku kecil.”
Setelah selesai dia segera membereskan barang-barang dan dagangan yang akan dibawa ibunya ke lapang.
“Biar Ibu saja yang beresin sisanya, kamu ganti baju,” suruh ibunya.
Hadi mengangguk dan mengganti pakaiannya dengan pakaian seragam merah putih. Meski sudah terlihat lusuh dan warnanya pun sudah pudar, tetapi semangat Hadi tidak akan pernah pudar. Selain warnanya, banyak jahitan di baju dan juga celananya. Itu adalah seragam saat dirinya naik kelas 3, ia tak pernah malu ataupun mengeluh dengan keadaan karena dirinya sudah berjanji kepada ibu dan almarhum bapaknya akan semangat sekolah dan menggapai cita-citanya yaitu menjadi guru.
Tepat pukul 06.00 WIB, dia berangkat ke lapang bersama ibunya. Tak lupa dia membantu membawa makanan yang akan dijual. Karena dagangannya terlalu banyak, Hadi dan ibunya harus bolak-balik ke rumah untuk mengangkutnya. Untung saja, jarak rumah dan lapangannya tidak terlalu jauh.
Sebuah tenda untuk berjualan sudah ibunya sewa dari panitia 17 Agustus. Harganya tidak terlalu mahal, apalagi mengingat ibunya berjuang membesarkan Hadi seorang diri, panitia memberi potongan harga 50% jadi dia hanya membayar setengahnya saja. Hadi sangat bersyukur karena dikelilingi orang-orang baik. Kini semua dagangan ibunya sudah ditata di atas meja yang dia bawa dari rumah.
Pengunjung sudah mulai berdatangan, mulai dari anak-anak sekolah, guru, panitia 17 Agustus, aparat desa, hingga tokoh-tokoh masyarakat dan para warga. Mereka semua sangat antusias merayakan kemerdekaan negeri tercinta ini.
Hadi pun berpamitan kepada ibunya untuk mengikuti upacara pengibaran bendera merah putih. Tepat pukul 07.00 WIB upacara dimulai. Semua orang begitu disiplin mengikuti setiap rangkaian acara dari awal sampai akhir.
Setelah upacara selesai, semua anak-anak mengikuti perlombaan yang diadakan oleh panitia. Hadi pulang terlebih dahulu untuk mengganti pakaian karena dia akan memulai perjuangannya.
Setiap anak hanya boleh mengikuti dua perlombaan. Hadi memilih mengikuti lomba balap karung dan lomba makan kerupuk. Sedangkan untuk lomba panjat pinang mereka dibagi menjadi 4 kelompok dengan jumlah peserta enam orang dalam satu kelompok.
Ketika lomba balap karung dia fokus melihat ke depan dan melompat secepatnya hingga Hadi memenangkan perlombaan. Akan tetapi, dia kecewa karena harus kalah dalam lomba makan kerupuk. Meski hadiahnya tidak seberapa, tapi hadiah itu sangat penting untuk dirinya.
Lomba panjat pinang sudah dimulai. Anak-anak begitu semangat mengawali perlombaan itu, termasuk Hadi. Tekadnya sudah bulat, kelompoknya harus menang. Semua kelompok mengerahkan tenaga, tapi tidak dengan kelompok Hadi. Mereka memilih bersantai. Dan saat kelompok lain sudah lelah, barulah kelompoknya memulai dengan penuh semangat, sampai akhirnya Hadi berhasil memanjat hingga ke puncak dan berhasil memenangkan semua hadiah.
Riuh tepuk tangan penonton membuat Hadi bahagia. Kebahagiaannya bertambah ketika dia berhasil sampai ke puncak dan mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan yaitu seragam merah putih.
“Ibu, aku berhasil mendapat seragam merah putih!” teriak Hadi.
“Terima kasih, ya Allah! Merdeka! Merdeka! Merdeka!” teriaknya kembali.
Bandung barat, 23 Agustus 2024
Susi Lawati.
Komentar, Inu Yana:
Cerita sederhana dengan konflik yang sederhana pula. Namun, meski sederhana ceritanya meninggalkan kesan di benak pembaca.